Ikatan rumah dan pemiliknya begitu emosional. Banyak kisah cinta kasih dan kebahagiaan tercipta di rumah. Bisa pula berkembang menjadi hubungan tak sehat lagi merugikan.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Neli Triana, wartawan Kompas
Memiliki rumah masih menjadi salah satu target pencapaian hidup banyak orang. Membeli rumah seringkali menjadi transaksi terbesar dan terlama yang pernah dilakukan sepanjang hayat. Ikatan rumah dan pemiliknya dapat begitu emosional. Banyak kisah cinta kasih dan kebahagiaan tercipta di rumah. Bisa pula berkembang menjadi hubungan tak sehat lagi merugikan, bahkan mematikan.
Tinggal dan bekerja di kota besar lantas menggapai penghidupan layak diidamkan banyak orang. Saat tiga kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi, rasanya target hidup tercapai. Terlebih jika bicara soal papan atau tempat tinggal atau rumah. Bagi sebagian orang, apalagi di masa sekarang ketika harga properti melambung tinggi, dapat memiliki rumah layak di kota adalah pencapaian luar biasa.
Berbeda dengan makanan atau pakaian, kepemilikan rumah juga menjadi hal yang lebih personal dan emosional. Kala rumah yang bertahun-tahun ditinggali tiba-tiba harus ditinggalkan karena sesuatu hal, isu yang muncul bukan hanya nominal uang seharga bangunan tersebut. Memori, harapan, bahkan mimpi-mimpi individu juga keluarga bisa terdampak sampai rusak karenanya.
Scott Huettel, yang mendalami psikologi dan ilmu saraf di Duke University, di The New York Times menyatakan, banyak karya ilmiah telah dilakukan yang menghubungkan ingatan dengan ruang fisik. Nilai memori itu sangat signifikan dan melebihi apa pun yang bersifat moneter.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pameran desain rumah dan interior Homedec di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2019).
Meskipun tak selalu terjadi, tetapi nilai memori itu terkadang terhubung pula dengan gengsi dan harga diri. Di sebagian negara, The Atlantic menyebut budaya setempat turut meneguhkan rumah kita adalah kita sehingga sulit bahkan tidak bisa dipisahkan dari sosok seseorang.
Dalam kacamata ekonomi, rumah juga makin melekat menjadi jati diri karena proses memilikinya yang rata-rata tidak mudah. Rumah biasanya menjadi produk termahal yang pernah dibeli dalam kehidupan seseorang. Pembelian dengan kredit berarti ada masa panjang penantian sebelum menjadi hak milik. Jika itu rumah warisan, ada rasa memiliki dan upaya melindungi wasiat orang tua.
Di dunia, sudah berkali-kali terungkap orang-orang yang menunggu bertahun-tahun hingga pada titik tidak memiliki apa-apa lagi baru kemudian bersedia menjual rumah mereka. Mereka yang lantas pasrah dan memilih berdiam diri sampai akhirnya meninggal di rumahnya pun bukan kasus baru.
Sedikit banyak penjelasan itu membantu memahami bagaimana seseorang bahkan satu keluarga mati-matian bertahan di rumah mereka, padahal sudah tidak ada kemampuan untuk terus tinggal di sana. Kasus meninggalnya empat orang sekeluarga di rumah mereka di Kalideres, Jakarta Barat, November 2022 lalu, juga kasus terbaru ibu dan anak, Eny dan Tiko, di Cakung, Jakarta Timur bisa pula dilihat dari sisi ini.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi rumah dari Ibu Eny dan Tiko di bilangan Cakung, Jakarta Timur.
Di Jakarta, kasus serupa dengan kejadian Kalideres maupun Eny dan Tiko sudah beberapa kali terkuak.
Di Jalan Latuharhary di Menteng, Jakarta Pusat, pernah ada dua perempuan kakak beradik berusia di atas 80 tahun hidup di rumah mewah yang mangkrak dan tak lagi berlistrik. Atensi publik membludak ketika pada Agustus 2008, salah satu dari dua perempuan tua itu ditemukan telah membusuk di kolong tempat tidur. Saudaranya bertahan di kamarnya sendiri dalam kondisi lemah disinyalir karena tidak mendapat asupan makanan mencukupi selama berhari-hari.
Empat tahun kemudian, pada 2012, di salah satu rumah di Jalan Surabaya, Menteng, kejadian yang mirip terulang lagi. Seorang nenek berusia di atas 70 tahun terpaksa dua minggu tinggal bersama mayat adiknya. Ia tidak dapat melaporkan kondisi adiknya ke pengurus RT atau tetangga karena tak lagi dapat berjalan. Ia pasrah saja sampai orang lain mencium bau busuk mayat dan akhirnya menemukannya.
Pergeseran fungsi rumah turut digerus dengan konsepsi yang kian berkembang dewasa ini, yaitu rumah sebagai investasi.
Konsepsi rumah yang begitu terikat dengan pemiliknya secara emosional ini menjadi penyakit tersendiri dan memicu persoalan sosial. Rumah tak lagi sebagai papan, salah satu kebutuhan dasar manusia untuk melindungi diri.
Pergeseran fungsi rumah turut digerus dengan konsepsi yang kian berkembang dewasa ini, yaitu rumah sebagai investasi. Yang berpunya dapat memiliki rumah dengan luas lahan dan bangunan jauh dari kebutuhan riil mereka, bahkan bisa mempunyai lebih dari satu rumah. Akibatnya, harga rumah kerap dimainkan oleh para pemodal dan broker atas nama investasi, sementara yang benar-benar membutuhkan papan makin sulit menjangkau tempat tinggal layak.
Rumah yang tak melulu terkait fungsi utamanya itu menjadi perhatian Leilani Farha, pelapor khusus pada The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), badan khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2014-2020. Farha, sejak 2017 saat masih di OHCHR sampai sekarang, menginisiasi gerakan “Make the Shift #Right2housing” dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal layak.
Farha mengajak semua pihak ikut bergeser dan berubah untuk mengembalikan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dan mekanisme pemenuhannya harus dijauhkan dari bisnis properti. Kaum miskin, orang yang berpendapatan pas-pasan, kaum muda yang tengah memperjuangkan hidupnya, mereka yang berkebutuhan khusus, juga orang-orang tua yang tak lagi memiliki pekerjaan maupun pendapatan aktif menjadi subyek untuk dipenuhi haknya atas rumah layak.
Di perkotaan, isu perumahan layak menjadi makin penting dan gerakan “Make the Shift #Right2housing” butuh digelorakan agar menjadi perhatian serta kebijakan pemerintah. Hal ini karena jurang ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan papan memadai antara yang berpunya dan tidak berpunya telah menganga lebar.
Yang berpunya mulai belajar menyatakan cukup atas kehausannya berinvestasi dengan berbelanja rumah. Perlu pula belajar mengakui tak lagi sanggup merawat rumah yang biayanya di luar jangkauan dan mau berpindah ke rumah atau tempat tinggal yang sesuai. Romantisasi rumah sebagai gudang memori ataupun investasi untuk diri sendiri maupun anak dan keturunan butuh bertenggangrasa dengan kemampuan diri maupun kebutuhan orang lain.
Semua pihak perlu secara sadar menggeser ikatan kepemilikan rumah menjadi penalaran logis demi pemenuhan kebutuhan dasar yang berkeadilan.