Pemakaian dua kata untuk makna yang sama, yang keduanya terdapat di KBBI, kadang membingungkan, seperti ”pengujung” dan ”penghujung”. Untuk meminimalkan kebingungan, keajekan dalam aturan bahasa sangat diperlukan.
Oleh
Apolonius Lase
·4 menit baca
Setiap memasuki akhir tahun, terutama pada ”bulan -ber”, kita di Indonesia selalu mengalami apa yang disebut dengan musim hujan. Bulan -ber maksudnya bulan yang berakhir dengan suku kata -ber, yakni September, Oktober, November, dan Desember.
Hampir selalu pada bulan -ber kita disambangi hujan dengan intensitas tinggi. Masyarakat Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia waswas kala bulan -ber tiba. Ada ancaman banjir.
Bahkan, yang menarik, pada akhir 2022, kita sempat dibuat panik karena ada prakirawan cuaca dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menguar informasi yang berbeda bahwa akan ada badai besar yang melanda.
Namun, pada akhirnya informasi itu segera dikoreksi karena kenyataannya memang tidak seperti yang diprakirakan semula. Kita bersyukur karena prakiraan adanya badai tidak terbukti.
Namun, mohon pembaca mafhum, dalam artikel ini, kita tidak membahas cuaca. Kita hanya mengulas sisi kebahasaan. Agar tidak bikin panik, biarlah permasalahan cuaca diurus oleh lembaga yang kompeten saja.
Pada bulan -ber, selain kebanjiran air, kita juga dibanjiri dengan berbagai pernyataan yang membingungkan pengguna bahasa Indonesia. Sebagai contoh, mari kita simak beberapa judul tulisan atau berita yang dicuplik lewat mesin pencarian di internet berikut ini.
- Menjaga Kesehatan di Musim Hujan Penghujung Tahun
- Memasuki Musim Penghujan di Penghujung Tahun, DLHK Intensifkan Perompesan, DPUPR Maksimalkan Penanganan Titik Genangan
- Yudisium di Penghujung Tahun 2022
- Apel Sore Pengadilan Agama Depok di Penghujung Tahun 2022
- Kegiatan Bimluh Penghujung Tahun 2022 dan Awal 2023
- Lapas Brebes Laksanakan Apel Pagi di Penghujung Tahun 2022
Sekilas tidak ada yang salah pada beberapa cuplikan judul artikel di atas. Sebab, jika mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita mendapati lema penghujung yang artinya sama dengan pengujung dan kata itu diturunkan dari kata hujung.
Pengguna KBBI pasti kebingungan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak karena dua-duanya dicatat dalam KBBI. Tidak mengherankan jika media massa pun berbeda-beda dalam penggunaan frasa ini.
Harian Kompas, misalnya, untuk kondisi ”dualisme” seperti ini, mengambil sikap dengan menggunakan salah satu di antara kedua bentuk bersaing itu, antara penghujung dan pengujung.
Dalam berbagai pemberitaan di harian ini, kata pengujung dipilih karena kata dasar yang lebih dikenal oleh masyarakat adalah ujung, bukan hujung. Apalagi dari kata itu, masih menurut KBBI, diturunkan kata berujung, mengujung, pengujung, seujung, ujung-ujungnya.
Lain halnya dengan lema hujung. Kata ini hanya menurunkan kata kehujungan dan penghujung. Kita tidak temukan kata berhujung, menghujung, sehujung, dan sehujung-hujungnya.
Dengan data itulah Kompas pun memutuskan untuk menggunakan kata yang baku, yakni pengujung tahun dan bukan penghujung tahun.
Dalam berbagai pemberitaan di harian ini, kata pengujung dipilih karena kata dasar yang lebih dikenal oleh masyarakat adalah ujung, bukan hujung.
Dialek masuk KBBI
Salah satu yang perlu diketahui, terutama oleh pengguna, salah satu fungsi KBBI adalah mencatat fenomena bahasa dalam masyarakat. Kata apa pun yang beredar di masyarakat, apabila frekuensi penggunaannya tinggi, meskipun itu salah kaprah atau bertentangan dengan aturan kebahasaan, niscaya kata tersebut akan dicatat dalam KBBI.
Kita ambil contoh kata mangkanya. Menurut penyusun KBBI, karena intensitas penggunaannya tinggi di masyarakat, kata ini pun diberi tempat. Jika Anda perhatikan, ada beberapa pejabat yang sering dikutip oleh media massa dan acap kali menggunakan kata itu. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), misalnya. Ia selalu mengucapkan kata mangkanya, alih-alih makanya atau maka dari itu.
Kebingungan karena ada dua pilihan kata untuk makna yang sama memang bukan hal yang tabu dalam dunia kebahasaan. Ada yang bilang, yang penting konsisten saja. Apalagi, ada asas arbitrer atau manasuka yang dikenal dalam dunia kebahasaan. Namun, di sisi lain, ada sebagian pencinta bahasa Indonesia yang tidak terlalu setuju dengan pendapat itu.
Keajekan dalam aturan bahasa sangat diperlukan. Salah satunya untuk meminimalkan kebingungan, terutama bagi generasi muda dan warga negara asing, ketika berbahasa Indonesia dalam keseharian di forum-forum resmi atau formal.
Lain soal dengan di dunia nonformal atau tidak resmi, seperti di media sosial. Lagi pula, bukankah ada keinginan kita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional?
Di beberapa kesempatan, pihak yang bertanggung jawab dalam penerbitan KBBI, yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sering diminta untuk segera membuat kamus baku. Ini sangat dibutuhkan untuk menjaga marwah bahasa Indonesia.
Keajekan dalam aturan bahasa sangat diperlukan.
Dengan kamus baku, ada keseragaman penggunaan kata dengan makna yang sama. Kita tahu, kata yang membingungkan bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari, terutama jika terkait dengan hukum dan undang-undang.
Nah, jika benar kata penghujung masuk KBBI karena di masyarakat sering digunakan, mungkin karena pengaruh dialek dan ketokohan, apakah masih terus kita populerkan di berbagai tulisan formal atau resmi, termasuk di berita-berita media arus utama?
Penulis berharap kepada Redaksi KBBI agar saat pengguna mengeklik kata penghujung di KBBI daring, segera diberi tanda panah merujuk pada kata pengujung. Dengan demikian, seperti juga terdapat pada beberapa kata lain yang sejenis dengan itu, kita dapat mengetahui mana lema yang baku, dan mana yang tidak baku.