Destruksi Sistemik Kedaulatan Beras
Pemerintah mendatang harus mereformasi total dan menyeluruh di bidang perberasan untuk menghentikan destruksi sistemis kedaulatan beras dengan memutus rantai pemburu rente yang masif, sistemis, dan terstruktur ini.
Penghargaan yang diberikan International Research Rice Institute kepada Presiden Joko Widodo karena keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras, 14 Agustus 2022, belum kering tintanya.
Dua bulan kemudian, rakyat disuguhi debat terbuka Dirjen Tanaman Pangan versus Kepala Bulog dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR tentang stok beras Bulog. Alih-alih mencari solusi bersama, keduanya saling menyerang dengan argumen pembenar masing-masing.
Dirjen merasa sudah melakukan tugasnya dengan benar karena data BPS menyatakan surplus, sedangkan Kepala Bulog menyatakan tak bisa menyerap beras di lapangan karena harganya mahal dan apakah itu artinya tak ada beras? Mengapa serapan Bulog saat panen raya Februari-April sangat rendah?
Sesungguhnya, surplus beras itu akumulatif tahunan nasional dan bukan absolut secara spasial dan temporal. Artinya, sekalipun puncak panen raya, selalu ada daerah defisit karena memang kemampuan produksi beras mandiri wilayah itu (Maluku, Maluku Utara, Papua, NTT) rendah. Sebaliknya, saat paceklik, wilayah sentra (Jawa Timur, Jawa Te- ngah, Jawa Barat, Sulsel) tetap surplus.
Baca juga : Impor Beras, Menyusutnya Sawah di Jawa dan Pergeseran Pola Konsumsi
Faktanya, impor beras 500.000 ton sudah diputuskan, dan pada akhir Desember 2022 yang 200.000 ton sudah tiba di Tanjung Priok, sementara 300.000 ton sisanya akan masuk bertahap pada Januari-Februari 2023.
Modus destruksi
Mengapa publik begitu resistan dengan impor beras? Pertama, kekhawatiran kebijakan perdagangan negara eksportir menciptakan harga pasar dunia yang sangat terdistortif. Kedua, tingginya volatilitas harga pasar dunia pasca-Covid 19 karena semua negara mengamankan stok untuk kebutuhan domestik. Ketiga, surplus beras yang tradeable tak besar sehingga rentan terdistorsi.
Lalu bagaimana modus destruksi kedaulatan beras? Selama penulis menjabat Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian dan Dirjen Tanaman Beras periode 2010-2019, modus importasi beras masif dilakukan dengan berbagai cara.
Contohnya, menyalahkan data BPS, harga beras yang melambung, untuk cadangan beras pemerintah, antisipasi bencana, tidak untuk pasar bebas, beras khusus digunakan sebagai argumen pembenar dengan back up media arus utama (mainstream).
Bahkan, pemerintah sempat mengubah data luas baku sawah yang sangat kontroversial dan sangat memalukan, padahal ”katanya” sudah menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Pemerintah juga mengubah eye estimate menjadi kerangka sampling analisis (KSA) yang diklaim terbaik dan akurat.
Kalau sudah data tunggal dan surplus, mengapa impor? Syahwat rente beras yang menggiurkan jadi pemicunya. Ketika Kementerian Pertanian bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat menggenjot program Upaya Khusus (Upsus) dan Serap Gabah Petani (Sergap), kinerja sektor pertanian saat itu sangat menggembirakan.
Ironisnya, ada petinggi TNI AD yang menyampaikan secara terbuka bahwa ada pihak yang menawarkan fee besar jika mau melakukan impor beras. Harga beras dalam negeri saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan beras impor. Importasi itu akhirnya dilakukan, meskipun ada penolakan keras di lapangan.
Ironisnya, ada petinggi TNI AD yang menyampaikan secara terbuka bahwa ada pihak yang menawarkan fee besar jika mau melakukan impor beras.
Artinya, perintah impor beras bersifat top down sehingga percuma melakukan debat terbuka karena secara birokratis dan politis sudah diputuskan. Saat itulah destruksi sistemis kedaulatan beras terjadi. Argumen pemerintah bermacam- macam: harga beras tinggi memicu dan memacu inflasi, antisipasi terjadi bencana, untuk stok, bukan dijual ke pasar.
Celakanya, impor selalu dilakukan Oktober-Desember, saat harga beras domestik selalu tinggi karena puncak musim tanam. Padahal, Februari-April puncak musim panen raya.
Reformasi total
Pemerintah mendatang harus mereformasi total dan menyeluruh di bidang perberasan untuk menghentikan destruksi sistemis kedaulatan beras dengan memutus rantai pemburu rente yang masif, sistemis, dan terstruktur ini. Diperlukan reformasi total struktural, fungsional, dan operasional untuk memutus rantai para pemburu rente.
Secara struktural, Menteri Pertanian merangkap Kepala Bulog sehingga debat terbuka Dirjen Tanaman Pangan dengan Kepala Bulog tak akan pernah terjadi. Bulog dan Dirjen Tanaman Pangan indikator kinerja utama (IKU)-nya cadangan beras pemerintah dan produksi padi nasional sehingga mereka akan all out menyerap gabah petani untuk cadangan beras pemerintah.
Secara fungsional, pemerintah harus merombak total mekanisme pengolahan dan pengadaan beras Bulog. Bulog harus didukung unit penggilingan padi (rice milling unit) modern sehingga mampu membeli langsung gabah petani di lapangan dan bukan dari pihak ketiga.
Bulog bisa menghasilkan beras premium, bekatul, dedak, sekam, sehingga dapat nilai tambah maksimal dari harga beras dan by product-nya yang kompetitif. Beras Bulog dari pihak ketiga, selain mahal, sudah terbebani keuntungan ditambah pajak. Bulog harus dilengkapi silo modern sehingga fungsi buffer stock pemerintah adalah dalam bentuk gabah yang tahan lama disimpan, bukan beras yang waktu simpannya terbatas, karena susut mutu dan volume.
Secara fungsional, pemerintah harus merombak total mekanisme pengolahan dan pengadaan beras Bulog.
Modernisasi produksi beras Wilmar bekerja sama dengan petani dan didukung RMU modern berteknologi Jepang mampu membeli gabah petani sesuai harga pasaran dan itu pasti lebih menarik daripada yang ditawarkan Bulog, yaitu harga pokok pembelian (HPP).
Selanjutnya, pemerintah harus konsisten dengan penugasan ke Bulog dengan memberikan penugasan Rastra. Beras Bulog yang berkualitas, harga yang kompetitif dipastikan akan sangat tinggi penerimaannya di tingkat konsumen.
Produksi beras murah
Instrumen pemerintah menaikkan HPP gabah dan beras menyesuaikan inflasi harus dihentikan karena sangat merugikan petani net consumer dan konsumen masyarakat menengah bawah.
Ada dua argumen. Harga beras mahal membuka pintu bagi para pemburu rente untuk memasukkan beras impor yang lebih murah dan mutunya lebih baik. Harga beras yang mahal justru memicu pemiskinan masif dan menyeluruh bagi petani kecil net consumer dan warga miskin, karena mereka juga membeli beras, sehingga harus membayar kebutuhan dasarnya dengan lebih mahal.
Kenaikan harga gabah itu dinikmati oleh petani produsen. Petani net consumer dan konsumen kian tergerus keuangannya. Pemerintah harus habis-habisan (all out and at all cost) untuk bisa menghasilkan harga beras murah seperti di Vietnam dan Thailand.
Efisiensi teknis, efisiensi harga/alokatif, dan efisiensi ekonomi menjadi ukurannya, agar mutu dan harga beras nasional kompetitif terhadap beras impor. Efisiensi teknis maksimum terjadi jika produksi padi aktual mendekati produksi potensialnya, Sementara efisiensi biaya/alokatif terjadi jika produksi padi mampu memberikan keuntungan maksimalnya. Efisiensi ekonomi merupakan kombinasi efisiensi teknis dan biaya. Ketiga efisiensi itu harus dicapai agar produksi padi nasional berdaya saing.
Berdasarkan hasil pemetaan ketiga efisiensi ini, pemerintah perlu melakukan pendetailan masalah subsidi pupuk. Misal, petani dengan lahan di bawah satu hektar, pupuk diberikan gratis alias ada bantuan langsung pupuk. Adapun petani berlahan 1-3 hektar harus membeli pupuk bersubsidi 60 persen, sisanya pupuk komersial.
Pemerintah harus serius dan bersungguh-sungguh untuk menghentikan destruksi sistemis kedaulatan pangan, terutama beras.
Melalui pendekatan ini, alokasi dana subsidi pupuk jumlahnya tetap dan dapat lebih tepat sasaran. Selanjutnya pemerintah harus melakukan konsolidasi pengelolaan lahan sawah seperti pernah dilakukan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sehingga efisiensi teknis, biaya dan ekonomi bisa tercapai.
Pemerintah harus serius dan bersungguh-sungguh untuk menghentikan destruksi sistemis kedaulatan pangan, terutama beras. Jika pasokan dan harga beras terus dipermainkan untuk kepentingan sesaat, suatu saat beras akan mempermainkan pemerintah.
Sistem produksi yang hancur akibat diserbu bertubi-tubi beras impor, itu sudah terbukti dan terjadi untuk komoditas kedelai dan daging sapi. Apakah pemerintah tidak merasa berdosa dan akan mengulangi kesalahan fatal yang sama untuk komoditas beras? Waktu yang akan menjawabnya.
Gatot IriantoDirjen Prasarana dan Sarana Pertanian 2010-2017, Dirjen Tanaman Pangan 2017-2019