Perspektif Kriminologis Melihat KUHP Baru
KUHP yang terlalu pro-negara, selain akan memengaruhi situasi penegakan hukum di Indonesia, juga memengaruhi pola relasi di masyarakat demokrasi di Indonesia. Lalu bagaimana menjamin agar negara tak kehilangan kendali?
Menyusul diundangkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP beberapa waktu lalu, tampaknya masih saja ada kalangan yang berpikir bahwa memasukkan atau mengeluarkan suatu pasal atau bab, itu pekerjaan mudah.
”… Apalagi cuma merevisi kalimat,” itu kata sementara orang.
Perlu disebutkan, walau yang hendak diatur adalah (cuma) suatu perbuatan, kerepotannya bukan main pada saat hendak dipilih untuk dimasukkan dalam buku KUHP baru ini.
Semua debat didedikasikan pada apakah secara normatif suatu perbuatan layak masuk di KUHP atau tidak. Walau tersedia UU khusus sebagai wadah bagi perbuatan yang dianggap khusus itu, konsepsi KUHP sebagai UU yang umum dan oleh karena itu perlu kuat menjadikan perdebatan sering berlangsung berkepanjangan.
Apalagi jika debat juga mencakup hal-hal lain di seputar tujuan menjadikan masuk-tidaknya suatu perbuatan pidana dalam KUHP. Ini banyak disebut sebagai politik hukum. Atau secara lebih netral disebut ”strategi”.
Baca juga : Sejumlah Norma di KUHP Baru Dikhawatirkan Jadi Pasal Karet
Dalam hal ini, terdapat dua cara pandang. Pertama, adanya kelompok ahli yang berpendapat tak perlu mengaitkan suatu perbuatan pidana dengan politik hukumnya. Jika memang pantas masuk KUHP, ya, dimasukkan di batang tubuh. Sesimpel itu.
Kedua, kelompok yang berpendapat sebaliknya, bahwa politik hukum terkait suatu perbuatan pidana menjadi dasar, setidak-tidaknya pertimbangan, dalam rangka memasukkan perbuatan pidana ke dalam KUHP.
Kriminalisasi
Cara pandang kedua sejalan dengan cara pandang kriminologis, bahwa memasukkan suatu perbuatan bebas ke KUHP sehingga menjadi perbuatan pidana bukanlah perbuatan yang otomatis atau instingtif, tetapi penuh pertimbangan. Salah satunya karena melakukan kriminalisasi suatu perbuatan bebas, justru menimbulkan masalah baru, yaitu bagaimana penegakannya.
Misalnya, apakah KUHP baru ini akan mengubah wajah kejahatan Indonesia menjadi lebih sempit pada kalangan tertentu, wilayah tertentu, atau periode tertentu? Atau secara lebih khusus lagi, berhasilkah tujuan menjadikan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana selama ini benar-benar telah mengurangi prevalensi terjadinya perbuatan pidana itu oleh masyarakat. Ini pemikiran pertama.
Jika setelah dijadikan suatu perbuatan pidana, ternyata masyarakat tetap saja aktif melaku- kannya, bahkan kian kerap dilakukan, politik hukum menyangkut perbuatan pidana itu bisa dikatakan gagal. Kebijakan kriminal menyangkut perbuatan pidana itu, sebagai turunan dari politik hukum, dengan begitu layak dipertanyakan.
Pemikiran lain, atau kedua, adalah apabila telah diketahui bahwa berdasarkan pengalaman, terjadi semacam ”asosiasi/ korelasi”, ”hubungan” atau ”perlengketan” antara dua perbuatan pidana atau lebih, apakah tidak perlu diadakan suatu formulasi hukum baru?
Misalnya, dibuatkan bab atau pasal tambahan terkait dua perbuatan pidana yang erat itu (selain bab di mana keduanya diatur secara spesifik). Atau, diperhitungkan hukuman tambahan setiap kali dua atau lebih perbuatan pidana muncul bersamaan dalam satu kasus.
Demikian juga jika terjadi suatu perbuatan pidana dengan motif yang amat khusus dan khas, atau niat yang amat khusus dan khas, di luar dari kecenderungan motif dan niat yang umum terlihat, pelakunya juga perlu memperoleh pola sanksi yang khas pula.
Pasal-pasal idle itu dimungkinkan akibat kian tak relevannya suatu ketentuan terkait perkembangan zaman.
Selanjutnya, bagaimana dengan pasal-pasal yang idle alias ”tidur” atau hampir tak pernah digunakan dalam suatu kegiatan penegakan hukum? Pasal-pasal idle itu dimungkinkan akibat kian tak relevannya suatu ketentuan terkait perkembangan zaman. Untuk mencegah itu, screening guna menyaring mana perbuatan pidana yang tak perlu lagi berada di dalam KUHP baru karena sudah out-of-date menjadi mutlak dilakukan.
Jika selama ini kita sering melihat inkonsistensi penerapan peraturan mengenai larangan boleh atau tidak bolehnya suatu hal dilakukan (mala prohibita), berikut pula pengenaan sanksinya, evaluasi perihal hal itu perlu dilakukan. Sama halnya dengan evaluasi bagi sekian banyak larangan yang sudah tercantum di KUHP lama dan larangan-larangan baru yang bakal dimasukkan dalam KUHP baru.
Perbincangan tentang bagaimana suatu produk UU dan isinya seyogianya mengakomodasi pemikiran-pemikiran tadi merupakan hal biasa bagi perspektif kriminologi jika digunakan sebagai pisau analisisnya. KUHP dalam hal ini juga harus siap untuk dilihat sebagai faktor peubah atau sebagai variabel independen yang akan memengaruhi sesuatu fenomena, khususnya fenomena kejahatan di Indonesia.
KUHP lama dan baru bukanlah produk legal yang ujug-ujug datang dari langit dan diperkirakan tidak perlu atau tidak bisa membawa perubahan apa pun.
Dengan mengatakan ini, penulis ingin mengingatkan kita semua, khususnya pihak-pihak yang berada di balik penyusunan KUHP baru, untuk selalu ingat pada tiga hal: konsistensi, koherensi, dan implikasi. Konsistensi adalah terkait pemberlakuan secara standar semua ayat dan pasal yang jadi isi KUHP baru. Koherensi menyangkut kesamaan persepsi, tujuan, dan langkah dari para pengguna KUHP baru. Implikasi menyangkut apa yang bakal terjadi pasca-pemberlakuan KUHP baru.
Umumnya kriminologi berpendapat, tak serta-merta muncul efek dari KUHP baru ini pada wajah kejahatan di Indonesia. Keseriusan menegakkan UU baru ini penentunya. Tanpa itu, jangan-jangan kita terlalu berharap banyak pada dokumen ini. Padahal, daya ubahnya pada wajah kejahatan di negeri ini kemungkinan tak banyak.
Perimbangan dengan negara
Tak terhindarkan, saat membaca draf RKUHP, kita membayangkan kehadiran negara berikut kewenangannya yang amat besar. Setebal buku KUHP baru tersebut, setebal itu pula kehadiran negara saat mengimplementasikan kewenangan negara sebagai pembuat hukum, pelaksana hukum, serta sekaligus sebagai pengadil hukum.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana menjamin negara tak kehilangan kendali saat menjalankan KUHP? Bagaimana bila, pada suatu ketika, negara malah menjadikan KUHP sebagai alat untuk membawa para tukang protes, tukang kritik, tukang demo ke penjara. Pasal-pasal untuk menersangkakan mereka mudah dicari, dan didukung oleh kinerja aparat hukum yang dalam hal ini bekerja sebagai aparat negara.
Dengan mengatakan ini, penulis ingin mengingatkan kita semua, khususnya pihak-pihak yang berada di balik penyusunan KUHP baru, untuk selalu ingat pada tiga hal: konsistensi, koherensi, dan implikasi.
Jika demikian, KUHP yang lengkap dan sempurna bisa jadi bumerang bagi masyarakat sipil ketika negara berubah menjadi despotik, tiran, dan totaliter.
Sebagaimana diketahui, yang diatur di KUHP adalah jenis-jenis pidana umum, yang sebagian besar di antaranya berupa kejahatan tradisional, kejahatan jalanan, dan kejahatan yang mencakup hubungan antarorang. Ketika negara mengatur itu, diasumsikan negara memang mengatasi kehidupan masyarakat banyak, khususnya memberi penilaian atas tindak-tanduk anggota masyarakat.
Terdapat beberapa hal yang diduga bisa memengaruhi kemampuan negara. Pertama, ketika negara mengalami economic breakdown, di mana anggaran negara menjadi begitu terbatas untuk menjalankan penegakan hukum dengan gaya crime control model sekalipun (mengacu model peradilan yang cepat, ekonomis, mirip ban berjalan).
Negara yang tak lagi memiliki uang untuk menjalankan penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang memadai akan menghasilkan ”bencana” pada saat kita sudah memiliki infrastruktur hukum berupa KUHP yang baru dan bisa dibanggakan selaku produk hukum.
Kedua, ketika negara dipimpin orang dan rezim yang salah. Alih-alih menggunakan KUHP untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan sosial, buku yang sama dipakai untuk memberangus orang-orang kritis, oposan, dan tokoh reformis.
Ketiga, ketika menguatnya peran negara itu memang dikehendaki alias intensional walau berlangsung subtle (subtil), pelan-pelan, halus, dan simbolis. Menurut penulis, kecenderungan ini sedang berlangsung di Indonesia dewasa ini. Negara dalam banyak hal kembali mendominasi dan mempertahankan dominasinya.
Singkatnya, KUHP yang terlalu pro-negara, selain akan memengaruhi situasi penegakan hukum di Indonesia, juga memengaruhi pola relasi di masyarakat demokrasi di Indonesia.
Adrianus MelialaKriminolog FISIP Universitas Indonesia