Start up Indonesia cukup percaya diri, tetapi kurang fasilitas ekosistemnya (program dan mentor), terutama di wilayah timur Indonesia.
Oleh
Alexander Ludi
·2 menit baca
Awal tahun 2020 saya diminta melihat bagaimana ekosistem start up atau perusahaan rintisan di Indonesia. Di Surabaya, usaha rintisan berkembang karena ada Startup Nation yang diinisiasi Ibu Risma, saat itu Wali Kota Surabaya. Ia ingin menjadikan Surabaya sebagai pusat ekosistem start up Indonesia.
Setelah bicara dengan beberapa pakar dan pelaku, saya pivot ke Malang. Sebagai akselerator Swiss-Indonesia, saya mampu menyelesaikan program ASEAN Entrepreneurship Training Program (AETP) akhir 2019. Ada tujuh start up Indonesia yang dikirim ke Zurich dan empat start up Swiss yang masuk ke pasar Indonesia.
Menurut saya, start up Indonesia cukup percaya diri, tetapi kurang fasilitas ekosistemnya (program dan mentor), terutama di wilayah timur Indonesia. Saya pun bersedia ke Surabaya sebagai venture builder karena ingin melihat perubahan dalam dua tahun.
Saya diminta mengawal MOU sebuah venture builder dengan salah satu politeknik di Surabaya yang menurut Asian Development Bank (ADB) 2020 dalam Report, Evaluation of Entrepreneurship Development Program in Indonesia: Case Studies, Analysis, and Recommendations banyak memiliki nilai positif, tetapi perlu perbaikan di beberapa area. Saya menganalisis 200-an inkubator, tetapi hanya sedikit yang masuk standar ADB.
Di Yogyakarta saya memberi input pembentukan inkubator di sekolah dirgantara, di Madiun melihat beberapa fasilitas UMKM atau start up. Jika ada ekosistem komplet, anak muda tidak perlu meninggalkan daerah. Di Madiun ada pabrik kereta api (INKA), pecel, dan brem.
Saya juga mampir ke Kediri yang menjadi lokasi industri rokok besar, tetapi tidak tampak pengaruhnya terhadap perkembangan ekosistem start up Kediri.
Perjalanan saya ke Jawa Timur ini sekalian membuka (soft opening) sebuah start up cokelat dalam ekosistem kami, yakni Moodco di daerah Batu, Malang.
Saya sempatkan berkeliling Kota Blitar dan saya melihat di sentra oleh-oleh makam Bung Karno, semua pedagang masih membuka lapak walaupun sedang pandemi. Padahal, tidak ada yang datang. Bayangkan berapa jam harus dibuang hanya untuk menjaga lapak yang sepi.
Perlu inisiatif untuk membuat coworking yang menampung anak muda mengembangkan suvenir dengan model dan desain yang update. Mestinya bisa menggandeng BRI yang aktif membantu start up di daerah.
Sekarang saya paham, mengapa Entrepreneurship Promotion Score Indonesia sangat tinggi, tetapi Global Innovation Index kita sangat rendah!