Dengan penghentian siaran televisi analog terestrial, masyarakat menikmati program televisi secara gratis dengan kualitas audio dan visual lebih baik, tetapi harus menerima bentuk ideologi yang didesiminasikan televisi.
Oleh
ARINDRA KARAMOY
·4 menit baca
Pada April 2022, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate menjelaskan, sesuai jadwal tahap I, siaran 56 wilayah siaran TV analog di 166 kabupaten/kota akan dihentikan dan berganti siaran TV digital. Kemudian, Kompas (16/12/2022) melaporkan bahwa penghentian siaran televisi analog terestrial atau analog switch off (ASO) akan kembali berlangsung pada 20 Desember 2022 dengan sasaran wilayah siaran Jawa Timur-1.
Wilayah siaran Jawa Timur-1 terdiri dari 10 kabupaten dan kota, yaitu Kabupaten Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Lamongan, Gresik, Bangkalan, serta Kota Pasuruan, Mojokerto, dan Surabaya. Selanjutnya, pemerintah merencanakan ASO dilakukan terus meluas ke luar Jawa, seperti Medan, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar.
Lalu, bagaimana dampak perpindahan siaran televisi dari TV analog ke TV digital bagi masyarakat? Dampak teknis perpindahan ini di beberapa sisi akan berdampak positif, terutama dari segi kualitas gambar siaran. Dengan siaran digital, kualitas acara televisi meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan siaran analog. Visual menjadi lebih jernih, tanpa distorsi atau visual berbayang. Audio juga terdengar jernih dan jelas.
Kemudian dari sisi pilihan konten siaran, semakin banyak siaran televisi yang dapat dipilih. Stasiun televisi bisa mencapai 30-an saluran, bahkan ada beberapa daerah yang sampai 40 saluran. Masyarakat dapat menikmati lebih banyak konten siaran di berbagai stasiun televisi dengan kualitas audio visual yang sangat baik, tanpa harus membayar langganan. Juga ada fasilitas seperti dapat merekam konten siaran yang dapat ditonton kemudian jika ada konten yang tidak dapat ditonton saat itu juga. Harapannya, dampak-dampak teknis yang dijelaskan di atas tentu akan memberikan sesuatu yang positif bagi khalayak di sebagian besar wilayah Indonesia.
Jika dilihat lebih dalam lagi, masih ada dampak lain dari perpindahan ini. Media massa atau dalam hal ini stasiun televisi, terutama televisi swasta, bertujuan memperoleh profit agar dapat bertahan di persaingan pasar media. Caranya dengan mereproduksi konten sesuai dengan kondisi sosial atau kebutuhan dan selera masyarakat.
Artinya, stasiun televisi swasta akan berusaha untuk mengendalikan dan bertahan dalam industri suatu industri media penyiaran televisi dengan memproduksi konten-konten yang menarik masyarakat demi mendatangkan iklan sebagai bentuk profit bagi pemegang saham. Karena seperti kita tahu, semakin banyak penonton sebuah program atau konten di televisi akan mendatangkan iklan di acara tersebut.
Proses spasialisasi
Konten atau program terlevisi adalah komoditas. Artinya, terjadi proses komodifikasi, yaitu usaha menciptakan komoditas atau produk yang dapat dijual dan tentu mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, dalam hal ini adalah stasiun TV tersebut. Semakin digemari program atau konten tersebut oleh khalayak, semakin banyak iklan yang masuk ke stasiun televisi tersebut. Artinya, pendapatan sebuah stasiun TV semakin besar.
Dengan terjadinya ASO ini pun akan terwujud proses spasialisasi, hilangnya batas ruang dan waktu karena teknologi digital yang membuat proses distribusi konten menjadi jauh lebih mudah dan jelas secara pesan. Dengan berpindahnya dari sistem analog ke teknologi digital akan membuat konten secara kualitas visual dan audio lebih baik dan tentu konten akan terdistribusi tanpa banyak hambatan ruang dan waktu. Pada akhirnya akan masuk dalam proses strukturasi, yaitu stasiun TV akan melakukan ”penyuntikan” ideologi yang dibawa oleh stasiun tersebut kepada khalayak. Ideologi di sini misalnya pandangan politik atau perspektif terhadap suatu kebijakan yang dimiliki oleh media tersebut.
Dengan terjadinya ASO ini pun akan terwujud proses spasialisasi, hilangnya batas ruang dan waktu karena teknologi digital yang membuat proses distribusi konten menjadi jauh lebih mudah dan jelas secara pesan.
Proses komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi dapat berdampak kuat saat perpindahan siaran analog ke digital ini. Media televisi mendapatkan angin segar untuk semakin mendekatkan lagi kontennya kepada khalayak, baik di kota provinsi maupun di kota/kabupaten, bahkan desa.
Diasumsikan, jika dahulu konten siaran televisi tidak banyak diminati yang bisa jadi akibat dari kualitas audio visual kurang baik, dengan adanya siaran digital, kualitas jauh lebih baik. Dengan demikian, akan banyak masyarakat yang kembali lagi menikmati siaran-siaran televisi, terlebih sejak siaran televisi ditinggal khalayak karena semakin terjangkaunya paket data untuk mengonsumsi platform-platform digital audio video seperti Youtube, Vidio, dan Netflix.
Jika penonton televisi meningkat karena siaran digital, di situlah terbuka kesempatan untuk pengiklan masuk menayangkan iklan-iklannya. Masuknya iklan artinya akan mendatangkan pendapatan bagi stasiun televisi. Data dari Nielsen menunjukkan bahwa belanja iklan, terutama iklan di televisi, terus meningkat dari sejak awal pandemi hingga kini.
Khalayak akan menikmati program-program televisi secara gratis dengan kualitas audio dan visual yang jauh lebih baik, meski khalayak secara tidak sadar, harus ”membayar”. Membayar dengan menerima bentuk ideologi atau pandangan politik yang didiseminasikan oleh televisi tersebut dan diterima mungkin tanpa disadari oleh khalayak. Ideologi di sini dalam konteks Indonesia dan banyak negara lain adalah ideologi dari para pemilik media televisi yang banyak terafiliasi dengan partai dan elite penguasa.
Arindra Karamoy, Dosen Fikom Universitas Multimedia Nusantara