Perut tidak bisa menunggu. Peribahasa yang menunjukkan bahwa ketersediaan pangan sangat penting sehingga harus betul-betul dijaga. Jangan sampai terjadi kekurangan.
Pemerintah selama ini percaya diri meski kebutuhan pangan rakyat Indonesia sangat besar. Produksi dalam negeri dianggap melebihi kebutuhan. Apalagi setelah mendapat penghargaan FAO dan IRRI. Khususnya terkait dengan kemampuan memproduksi beras tahun 2019-2021 yang konsisten 31,3 juta ton per tahun.
Namun, pasar ternyata tidak mendukung keyakinan pemerintah. Harga beras merangkak naik, sementara stok beras di Bulog kecil. Meskipun Kementan menyanggupi beras 600.000 ton untuk menambah persediaan, realisasinya ternyata tidak mudah. Akhirnya Bulog pun impor beras dan kedelai.
Bisa dibayangkan. Dalam situasi pangan dunia yang sedang sulit, impor besar tentu menghadapi banyak kendala. Apalagi harapannya membeli dengan harga murah. Demikian pula untuk waktu-waktu berikutnya.
Penyebab utamanya adalah perang Rusia-Ukraina, belum menampakkan tanda-tanda mengendur. Bahkan, bantuan Amerika yang besar bisa membuat Rusia geregetan. Apalagi situasi Asia Timur juga makin memanas. Semoga semua ini tidak memicu perluasan peperangan.
Saya berharap situasi di atas diantisipasi pemerintah dengan cepat dan tepat, melalui diplomasi dan negosiasi terbaik. Tidak sekadar memberi berita menyenangkan.
Di dalam negeri perlu terus fokus pada produksi dengan berbasis lokalitas, termasuk mendorong masyarakat mengambil bagian dalam upaya mengamankan ketersediaan pangan sesuai kemampuan masing-masing. Minimal ikut menekan besarnya limbah pangan.
Tantangan yang begitu berat perlu dihadapi dengan kerja keras. Rakyat akan senang jika melihat para menteri dan pejabat tinggi fokus mengabdikan diri untuk kepentingan negeri. Demikian pula para wakil rakyat.
Pemilu mendatang memang harus sukses, tetapi harus dibarengi rakyat yang sejahtera.
SuharnoWarungboto (Umbulharjo), Yogyakarta
Program Gagal
Program lumbung pangan dengan mencetak sawah baru telah berulang kali dilakukan, tetapi berulang kali pula gagal (Kompas, 14/12/2022).
Puluhan triliun rupiah sudah digelontorkan untuk membuka sawah, demikian dikatakan Dwi Andreas (Kompas, 15/12/2022).
Program gagal tersebut tentunya sudah direncanakan dan dilaksanakan oleh para ahli lulusan perguruan tinggi. Maka, ini saatnya kinerja perguruan tinggi dievaluasi. Apakah lulusannya profesional dan berpihak pada kebenaran?
Seyogianya perguruan tinggi bisa meniru pabrik mobil yang punya divisi purnajual, merawat keluarannya. Ikatan alumni bisa turut menjaga perilaku sejawat.
Rencana program yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama pada komunitas adat, perlu dilakukan sebagai subyek secara transparan. Dengan demikian, ada banyak masukan untuk meminimalisasi kegagalan.
Rencana program diam-diam, dilaksanakan, dan gagal tanpa ada yang bertanggung jawab harus diakhiri.
Hukuman sebagai efek jera patut diberikan kepada semua yang terlibat dalam proyek gagal. Tidak hanya pelaksana lapangan, tetapi terutama perencana dan pengawas.
Negara harus hadir dan tidak boleh kalah terhadap para pencoleng penyebab kegagalan. Dibutuhkan ketegasan dan jika perlu tangan besi. Jika tidak ditindak, program gagal akan terus berulang.
A Agoes SoediamhadiLangenarjan, Yogyakarta
Ketaksaan
Di Kilas Ekonomi (Kompas, Rabu, 30/11/2022) diberitakan bahwa pembentukan Majelis Tenaga Nuklir disetujui. Majelis itu ada dalam RUU Energi Baru (EB) dan Energi Terbarukan (ET).
Penamaan RUU EB dan ET menghapus ketaksaan (ambiguity) yang selama ini ada dalam istilah EBT. Semoga penamaan RUU itu juga menyiratkan pengertian bahwa energi nuklir itu adalah EB, bukan ET.
Lebih baik lagi kalau dijelaskan apakah stipulasi ”nuklir sebagai opsi terakhir” dalam kebijakan bauran energi nasional Dewan Energi Nasional masih ada atau tidak ada lagi dalam RUU EB dan ET.
Kalau stipulasi itu dihapus, Kementerian ESDM harus menjelaskan alasannya.
L WilardjoKlaseman, Salatiga