Impor Beras
Harga adalah indikator yang bisa dirasakan semua orang. Klaim suplai melebihi demand di atas kertas boleh saja, tetapi kenaikan tajam harga sepanjang Agustus-Desember menegasikan semua parameter suplai yang surplus itu.

Ilustrasi
Pemerintah akhirnya memutuskan impor beras dalam jumlah yang lumayan besar, yakni 500.000 ton.
Akhir Desember 2022, sebanyak 200.000 ton beras itu sudah dalam proses bongkar muat di beberapa pelabuhan Indonesia dan 300.000 ton sisanya akan masuk bertahap pada Januari-Februari 2023.
Yang menarik adalah ketidaksinkronan pendapat antara kementerian dan lembaga berkenaan dengan suplai dan kebutuhan beras Indonesia yang melandasi keputusan impor ini.
Bagi Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), impor beras adalah niscaya mengingat cadangan beras pemerintah dan stok Bulog sudah tak memadai lagi. Sebagaimana diketahui, sepanjang 2022 Bulog sudah menggelontorkan 1,26 juta ton beras untuk meredam gejolak harga pasar beras.
Stok cadangan beras pemerintah di gudang Bulog per 6 Desember 2022 adalah 295.337 ton (Kompas.com, 9/12/2022) sehingga kebutuhan impor beras itu menjadi sangat niscaya menurut Bulog. Sangat riskan saat negara menugaskan melakukan stabilisasi harga beras jika beras tak tersedia memadai di gudang-gudang Bulog.
Baca juga : Cegah Aksi Ambil Untung dari Beras Impor
Untuk membeli beras dari petani domestik, Bulog kesulitan karena beras itu tak tersedia di lapangan walaupun pemerintah sudah memutuskan Bulog bisa membeli beras dengan harga komersial atau harga pasar, yakni di kisaran Rp 8.850-Rp 10.200 per kilogram.
Bapanas juga berpandangan sama dengan Bulog. Kepentingan impor adalah agar harga beras tak berkontribusi besar terhadap inflasi. Beras disinyalir berkontribusi 4 persen terhadap inflasi nasional (Kompas, 25/10/2022).
Berbeda halnya Kementerian Pertanian yang berpendapat, impor tak bisa dilakukan karena data beras dalam posisi surplus. Data BPS menunjukkan kita surplus beras. Menurut rilis BPS Oktober 2022, luas panen padi 2022 diperkirakan 10,61 juta hektar, dengan perkiraan produksi 55,67 juta ton gabah atau setara 32,07 juta ton beras, naik 2,29 persen dibandingkan 2021.
Berdasarkan perhitungan BPS, konsumsi beras sekitar 2,5 juta ton per bulan dan produksi rata-rata 2,67 juta ton per bulan atau terjadi surplus produksi. Psikologi penolakan kuat Kementan terhadap impor beras bisa dimaklumi karena kinerjanya—yang bahkan dibuktikan dengan penghargaan IRRI pada Agustus 2022 kepada Indonesia sebagai negara swasembada beras—dinegasikan dengan impor beras yang besar ini.

Harga tak bohong
Menurut hemat saya, harga adalah indikator yang bisa dirasakan semua orang. Kita boleh klaim suplai melebihi kebutuhan (demand) di atas kertas, tetapi ketika di lapangan harga beras naik tajam, klaim surplus menjadi tanda tanya besar. Harga beras adalah parameter yang getarannya bisa dirasakan hari per hari oleh rumah tangga.
Kita simak pergerakan harga beras mingguan sepanjang Desember 2021-Desember 2022 untuk dua provinsi, yakni Jawa Barat sebagai provinsi sentra produksi penting beras dan DKI Jakarta sebagai representasi daerah konsumen utama dan juga barometer stabilisasi harga beras nasional.
Dari situ kita bisa tahu bahwa baik di Jawa Barat maupun di DKI, harga beras naik tajam sejak Agustus 2022. Di Jawa Barat, pekan pertama Agustus harga beras Rp 11.300, pekan terakhir September menjadi Rp 11.500, akhir November Rp 11.600, dan Desember 2022 Rp 11.750 per kilogram. Ini daerah sentra produksi yang seharusnya bisa menjaga harga di wilayahnya sendiri stabil jika memang surplus produksi terjadi.
Kita boleh klaim suplai melebihi demand di atas kertas, tetapi kenaikan tajam harga sepanjang Agustus-Desember menegasikan semua parameter suplai yang surplus itu.
Hal sama kita lihat di daerah konsumsi penting dan daerah barometer stabilitas harga pangan nasional, yakni DKI. Agustus dan September harga beras masih berkisar Rp 13.600, tetapi Oktober naik menjadi Rp 13.850, pekan pertama November naik lagi menjadi Rp 13.850, dan masuk Desember menjadi Rp 14.000 per kilogram.
Sekali lagi, harga adalah indikator yang bisa dirasakan semua orang. Kita boleh klaim suplai melebihi demand di atas kertas, tetapi kenaikan tajam harga sepanjang Agustus-Desember menegasikan semua parameter suplai yang surplus itu.
Secara obyektif memang harus ditunjukkan bahwa data produksi yang surplus di atas kertas itu memang ada di dunia nyata. Ini bukan hanya untuk menjaga kepercayaan publik terhadap BPS sebagai penyedia data yang tepercaya, tetapi juga kepercayaan kepada pemerintah bahwa data beras kita disajikan secara apa adanya, obyektif semata-mata untuk kepentingan ekonomi perberasan nasional, bukan untuk kepentingan pencitraan pencapaian swasembada beras, misalnya.
Kalau kita tak bisa obyektif melihat perberasan nasional, ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerugian bagi perencanaan dan pencapaian ketahanan pangan nasional.

Kelangkaan beras juga bisa terjadi karena gangguan kekuatan tertentu di pasar, misalnya ada yang menimbun, ada gangguan alam yang menyebabkan pergerakan beras dari daerah sentra produksi ke daerah konsumsi terkendala. Kalaupun yang terjadi adalah penimbunan, menjadi tugas negara untuk mengatasi dan menindak pelaku penimbunan sehingga distribusi dan mengalirnya beras menjadi lancar dan kenaikan tajam harga sepanjang Agustus-Desember 2022 tak terjadi.
Saya menilai, keputusan impor beras yang diambil pemerintah itu adalah pengakuan faktual bahwa ada masalah dalam produksi beras nasional.
Tetapi sekali lagi, impor juga seharusnya ditujukan untuk kepentingan perberasan nasional, bukan kepentingan komersial Bulog. Apalagi jika kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan berburu rente seperti pada sejumlah kasus korupsi yang terungkap dari proses izin impor komoditas pangan.
Sekali lagi, harga adalah parameter yang tak berbohong. Jika impor itu bertujuan untuk stabilisasi harga pangan, kita akan segera melihat harga beras yang naik tajam sepanjang Agustus-Desember 2022 akan segera bisa turun. Bahkan bisa selevel harga di beberapa negara ASEAN lain yang disinyalir Bank Dunia lebih rendah daripada harga beras Indonesia.
Andi Irawan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu dan Ketua Bidang Kebijakan Publik ASASI (Perhimpunan Akademisi dan Saintis Indonesia)