Menghijaukan Pasar Keuangan Indonesia
Perlu perubahan paradigma untuk meng-”hijau”-kan pasar keuangan. Kapitalisme pasar harus inklusif, bukan semata berorientasi pada ketamakan. Kita pun patut berpikir ulang dalam memaknai keuntungan.
”Dalam misi mencari progres ekonomi dan politik, kita semua menanjak naik—jika tidak, kita akan jatuh.” Begitu ungkap Franklin D Roosevelt saat meluncurkan program reformasi ekonomi ”New Deal” di AS.
Kala itu, dijalankan intervensi regulasi besar-besaran pada ekonomi dan pasar keuangan guna membangkitkan ekonomi AS dari depresi hebat 1933-1936.
Sejarah seakan terulang ketika gelembung (bubble) pada pasar properti AS pecah, berimbas ke merosotnya harga efek beragun kredit properti tahun 2008 dan merebak menjadi krisis finansial global. Kapitalisme AS kembali terguncang dan muncul kesadaran pentingnya risiko sistemik pasar keuangan.
Memasuki dekade 2020-an, risiko perubahan iklim kian disadari dunia. Perubahan iklim diakui sebagai problematika kolektif kemanusiaan yang mengancam eksistensi. Ketika masih banyak pihak tak memercayainya, korporasi dan pasar keuangan mulai mengantisipasi risiko itu. Di AS, label Green New Deal terus dipromosikan akademisi dan beberapa anggota Kongres.
Baca juga : Meredam Ekspektasi Inflasi
Tiga ”angsa”
Dalam pemikiran epistemologi risiko dan ketidakpastian, setidaknya terdapat tiga tipe kejadian. Nassim Nicholas Taleb pada 2007 mencetuskan ”angsa” hitam, tentang karakterisasi kejadian tak terduga dan amat jarang terjadi, di luar ekspektasi wajar, dengan dampak luas dan ekstrem, serta hanya dapat dijelaskan setelah terjadinya.
Metafora angsa hitam bermula dari anggapan semua angsa berbulu putih hingga ditemukan angsa berbulu hitam di Benua Australia. Sulitnya memitigasi ”angsa hitam” terletak pada sifatnya yang retrospektif (hindsight) sehingga tak terprediksi.
Tak semua kejadian bersifat demikian. Terdapat ”angsa abu- abu”, yang oleh Presiden Population Institute Robert Walker diidentifikasi sebagai kejadian yang kemungkinan kecil terjadi, tetapi bisa terjadi dan semestinya diantisipasi. Kegagalan mengantisipasi ”angsa abu-abu” membawa dampak yang sama parah dengan ”angsa hitam”.
Beragam kejadian, termasuk dinamika pasar keuangan, dapat diasosiasikan dengan metafora ”angsa” itu. Krisis finansial global, misalnya, dianggap banyak pihak sebagai serangan ”angsa” hitam. Namun, dari perspektif Hyman Minsky, penggagas hipotesis instabilitas finansial, krisis 2008 sesungguhnya akibat ”angsa” abu-abu. Pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian dapat dilihat sebagai ”angsa hitam” murni.
Ketika perhatian atas perubahan iklim meningkat, ”angsa” hijau digagas para pembesar bank sentral di Bank for International Settlements. ”Angsa” hijau mengandung unsur risiko yang termaterialisasi di masa datang, dengan ancaman dinamika lingkungan dan sosial-ekonomi tak terprediksi.
Dari perspektif itu, ”angsa” hijau tersebut tak ubahnya ”angsa” hitam bagi risiko iklim.
Interpretasi lain atas ”angsa” hijau diusung John Elkington, sang ”Godfather of Sustainability”. Ia fokus pada transformasi pasar yang mendalam, umumnya dikatalisasi oleh tantangan ”angsa” hitam dan abu-abu (atau gabungan keduanya) yang membawa progres eksponensial bagi kesejahteraan. Berbeda dengan dua ”angsa” lain, ”angsa” hijau patut diupayakan sebagai solusi.
Sebagai bagian dari sistem, pasar keuangan turut menghadapi ”angsa” perubahan iklim.
Risiko dan strategi teknis
Sebagai bagian dari sistem, pasar keuangan turut menghadapi ”angsa” perubahan iklim. Ancaman datang dari dua jalur. Pertama, risiko fisik. Terjadinya bencana sebagai efek perubahan iklim bisa mendisrupsi bisnis. Ini akan tecermin di pasar keuangan sebagai corong intermediasi pembiayaan, seperti naiknya risiko kredit dan likuiditas, dan turunnya nilai aset keuangan.
Kedua, risiko transisi. Kebijakan ”hijau”, seperti alih energi bersih dan pajak karbon, dapat berekses pada pasar keuangan.
Risiko dapat muncul misalnya ketika harga energi meningkat demi menyerap penerapan pajak karbon. Bagi perusahaan publik, perubahan harga akan tecermin di lantai bursa, terutama jika hal itu memengaruhi produktivitas perusahaan. Selain itu, kemunculan instrumen keuangan ”hijau” berpotensi pada aset keuangan yang terabaikan (stranded), khususnya bagi emiten yang lamban beradaptasi mengurangi intensitas emisi karbon.
Memang tak mudah memunculkan ”angsa” hijau. Namun, investasi ramah lingkungan bisa secara efisien difasilitasi pasar keuangan. Menangkap peluang itu, kita menyaksikan upaya regulator Indonesia mendukung ekonomi dan keuangan yang berkelanjutan. Otoritas Jasa Keuangan mulai menggarap taksonomi hijau Indonesia pada tahun ini.
BI menerapkan kebijakan makroprudensial ”hijau” melalui berbagai insentif guna menstimulasi perbankan mendukung pembiayaan pengurangan emisi karbon. Selain itu, terdapat agenda menciptakan sistem pasar karbon dalam rancangan omnibus law sektor keuangan.
Ke depan, perlu penguatan ketersediaan informasi material dan pengawasan demi menghindarkan klaim berlebih kontribusi ”hijau” (greenwashing).
Kegagalan kapitalisme murni
Awal kemunculan kapitalisme condong pada idealitas pasar bebas yang mendukung inovasi dan persaingan sehat. Lambat laun, kapitalisme murni mengarah pada ketamakan meraup untung. Sayangnya, pasar keuangan bukan kasino. Spekulasi berlebih bisa mendisrupsi pasar dan mengancam kesejahteraan.
Kehati-hatian bisnis kerap terlupakan, begitu pun dampak lingkungan yang terabaikan demi keuntungan.
Teori invisible hand Adam Smith bahwa pasar mampu mendisiplinkan dirinya sendiri terbukti gagal. ”Angsa” hitam dan ”angsa” abu-abu nyatanya datang dan menghancurkan pasar keuangan. Kehati-hatian bisnis kerap terlupakan, begitu pun dampak lingkungan yang terabaikan demi keuntungan. Perlu peran negara menghadirkan ”angsa” hijau di pasar keuangan demi menghindari ”angsa” hitam perubahan iklim.
Menggarap instrumen keuangan ”hijau” dan menjalankan strategi teknis memang penting, tetapi tidaklah cukup. Perlu perubahan paradigma untuk meng-”hijau”-kan pasar keuangan. Kapitalisme pasar harus inklusif, bukan semata berorientasi pada ketamakan. Kita pun patut berpikir ulang dalam memaknai keuntungan. ”Angsa” hijau harus hadir dalam pasar keuangan Indonesia demi kemanusiaan yang sinambung.
Kristianus Pramudito Isyunanda Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia