Walaupun bahasa bersifat manasuka, kepunahan sebuah kata ”pituin” tetap disesalkan. Kehadiran kata baru seharusnya memperkaya sebuah bahasa, bukan memiskinkan.
Oleh
Tendy K Somantri
·3 menit baca
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Muhammad Iqbal Saputra (10) dan Sisilia Salwa Nandi (8) sedang mengerjakan tugas sekolah di sebuah warung, di tepi Jalan Banjir Kanal, Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, November 2020. Keduanya didampingi oleh Sanyani (40), ibunda Iqbal sekaligus tante dari Sisil. Panggilan tante sekarang lebih familiar dibandingkan bibi.
Seorang perempuan muda begitu gembira ketika kakaknya datang dengan membawa anaknya yang masih bayi. Diraih lalu dipangkunya sang keponakan yang baru berumur tiga bulan itu. ”Cepat besar, ya, Debay…! Biar nanti bisa nganterOnti jalan-jalan,” katanya dengan wajah berseri-seri. Tentu saja, keponakannya itu belum bisa merespons tuturan onti-nya. Eh, onti? Apa itu onti?
Rupanya, onti merupakan ragam cakap di beberapa kalangan untuk mengganti kata panggilan bibi. Onti berasal dari kata bahasa Inggris, aunty. Bentuk saingannya adalah ateu dari kata bahasa Belanda, tante. Pertanyaannya, ke mana kata panggilan bibi yang sudah lama kita kenal? Masih adakah perempuan muda yang mau dipanggil dengan sebutan bibi oleh keponakannya?
Selain bibi, kata paman pun sudah lama hilang dari peredaran karena tergantikan oleh oom dari Belanda. Di masyarakat perkotaan, kata oom dan tante ini sudah akrab digunakan pada akhir dasawarsa 1960-an, malah muncul istilah oom senang dan tante girang yang berkonotasi negatif. Namun, istilah berkonotasi negatif itu tidak membuat kebiasaan masyarakat kembali ke sebutan paman dan bibi.
Kehadiran kata baru seharusnya memperkaya sebuah bahasa, bukan memiskinkan.
Sampai saat ini sebutan oom dan tante masih dipandang lebih bermartabat untuk digunakan sebagai panggilan kekerabatan. Sementara itu, kata paman dan bibi mengalami penurunan kasta. Ya, khususnya kata bibi yang turun gengsi karena lebih sering digunakan untuk panggilan kepada perempuan pekerja rumah tangga atau perempuan yang agak tua (KBBI). Pasangannya, kata paman, hanya bisa ditemukan pada teks-teks cerita anak atau dialog film anak. Sebagai informasi, istilah pembantu rumah tangga kini lebih cenderung menggunakan istilah pekerja rumah tangga.
KOMPAS/AHMAD ARIF
Warga Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, membeli sayur dari pedagang keliling, warga transmigran atau biasa dipanggil paman sayur, pertengahan Agustus 2022.
Selain paman dan bibi, panggilan kekerabatan yang kini juga mulai tersaingi oleh kata asing adalah kakak, abang, mas, dan adik. Kaum muda tampaknya lebih menyukai kata bro dari brother, sist dari sister, atau bestie sebagai gaya selingkung dalam pergaulan mereka. Untungnya, dalam situasi kebahasaan yang semiformal, kata-kata panggilan domestik itu masih digunakan, seperti di lingkungan rumah, sekolah, atau kantor walaupun kerap juga digabungkan menjadi masbro atau pakbro.
Gejala kehilangan kata-kata panggilan kekerabatan juga terjadi pada bahasa daerah. Dalam artikel ”Abang-Kakak Menggeser Uda-Uni”, yang pernah diikutkan dalam Sayembara Artikel Bahasa Ibu Komunitas Carponn (Bandung, 2018), Diyan Permata Yanda menginformasikan bahwa telah terjadi perubahan perilaku berbahasa pada masyarakat di kota Padang. Menurut Diyan, kata panggilan uda dan uni mulai jarang digunakan karena tergeser oleh kakak atau adik. Boleh jadi, penggunaan kata panggilan kakak atau adik lebih disukai karena netral—tak terbatas jender dan usia.
Pertanyaan berikutnya, sampai kapankah kata-kata panggilan kekerabatan khas Indonesia itu bertahan? Entah! Tampaknya, belum ada yang bisa memperkirakan waktunya. Namun, pergeseran nilai akibat urbanisasi serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi indikasi gejala kepunahan kata-kata itu. Perubahan desa menjadi kota serta kemudahan akses informasi dan komunikasi boleh jadi mempercepat kepunahan kata.
ARSIP PRIBADI
Tendy K Somantri
Walaupun bahasa bersifat manasuka, kepunahan sebuah kata pituin (native) tetap disesalkan. Kehadiran kata baru seharusnya memperkaya sebuah bahasa, bukan memiskinkan.
Sebuah fenomena menarik di Bandung bisa menjadi acuan solusi konservasi kata panggilan kekerabatan. Para tokoh Sunda kini lebih sering menggunakan panggilan mang (amang), wa (uwa), kang, ceu (euceu), teteh, jang, neng, dan lain-lain dalam percakapan sehari-hari. Kebiasaan tersebut ternyata menular di kalangan muda. Bahkan, mereka pernah membuat kata kekinian bray dari baraya (saudara) untuk menandingi bro dan sist.
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung