Dalam bahasa hukum, arti ”sah” amat berbeda dengan ”setuju”. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan mengesahkan undang-undang bukan di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·3 menit baca
Harian Kompas pada Senin (26/12/2022) melaporkan, dalam infografik di halaman pertama, pada 15 Desember 2022 Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau P2SK disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam badan berita pun dituliskan Undang-Undang (UU) P2SK itu disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disambut gembira oleh kalangan aktivis organisasi pekerja di negeri ini. UU P2SK ditulis dengan tanpa nomor dan tahun.
Dalam artikelnya berjudul ”Keunggulan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Eddy OS Hiariej menuliskan, ”Sebanyak tiga kali, Ketua DPR Puan Maharani meminta persetujuan seluruh anggota DPR terhadap RUU TPKS, yang dijawab secara aklamasi dengan jawaban ’setuju’.”
Selasa, 12 April 2022, merupakan tonggak sejarah dalam penanggulangan kekerasan seksual di Indonesia dengan disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Kompas, 18/4/2022).
Jika membaca UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), jelas pada bagian depan dituliskan ”Dengan Persetujuan Bersama DPR dan Presiden, Menetapkan UU”. Tidak bisa DPR, termasuk dalam rapat paripurna sekalipun, mengesahkan RUU menjadi UU.
Menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kewenangan mengesahkan UU bukan di tangan DPR. Pada Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 tertulis, ”Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”. Wewenang DPR dituliskan, membahas setiap RUU, bersama dengan Presiden, yang dalam praktik diwakili oleh menteri, untuk mendapatkan persetujuan bersama. Jika tidak ada persetujuan bersama, RUU itu tidak dibahas lagi dalam masa persidangan tersebut.
Jika Presiden tidak melanjutkan persetujuan bersama itu, Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 pun memastikan, RUU yang telah disetujui bersama itu dalam waktu tiga puluh hari semenjak disetujui sah menjadi UU dan wajib diundangkan. RUU yang sudah disepakati bersama itu pun otomatis menjadi UU.
Wewenang DPR dituliskan, membahas setiap RUU, bersama dengan Presiden, yang dalam praktik diwakili oleh menteri, untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Sebagai contoh, merujuk RUU TPKS, disetujui bersama DPR dan Presiden untuk diundangkan pada 12 April 2022, baru disahkan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 9 Mei 2022. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly mengundangkannya pada tanggal yang sama, diikuti dengan memuat pada lembaran negara oleh Kementerian Sekretaris Negara.
Presiden yang mengesahkan RUU menjadi UU, dan bukan sidang pleno DPR yang dihadiri oleh menteri. Kesalahan pemahaman dan penulisan, boleh disebut salah kaprah, bahwa DPR mengesahkan UU tidak hanya mudah ditemukan di media massa, tetapi juga dalam keterangan pejabat negara. Padahal, DPR dalam sidang pleno baru setuju, bersama dengan wakil pemerintah, untuk mengundangkan RUU itu, dan belum mengesahkannya.
Dalam bahasa hukum, arti sah amat berbeda dengan setuju. Sepasang kekasih yang setuju untuk menikah tentu belum sah melakukan perbuatan hukum sebagai sepasang suami istri.