Perintah Jabatan dan Penyertaan
Pertanggungjawaban tak akan diminta terhadap mereka yang patuh melaksanakan perintah, tetapi akan diminta kepada pihak yang memberi perintah. Lalu, apa syarat seseorang bebas dari pertanggungjawaban atas dasar perintah?

Ilustrasi
Herbert L Packer dalam The Limits of The Criminal Sanction menyatakan, tiga masalah pokok dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pidana itu sendiri.
Dalam doktrin hukum pidana, hal ihwal perintah jabatan dan penyertaan pada hakikatnya adalah mengenai pertanggungjawaban pidana. Perintah jabatan adalah alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, dan penyertaan adalah perluasan terhadap orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Alasan penghapus pertanggungjawaban pidana terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku perbuatan pidana.
Dalam kaitannya dengan penyertaan, apabila seorang pelaku peserta dibebaskan karena alasan pembenar, semua pelaku peserta lainnya juga harus dibebaskan dengan alasan yang sama. Namun, tidak sebaliknya, jika seorang pelaku peserta dibebaskan karena alasan pemaaf, belum tentu pelaku peserta lainnya juga dibebaskan.
Baca juga : Perintah Jabatan dalam Hukum Pidana
Perintah jabatan merujuk pada postulat id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parrere necesse sit. Artinya, pertanggungjawaban tak akan diminta terhadap mereka yang patuh melaksanakan perintah, tetapi akan diminta kepada pihak yang memberi perintah. Postulat ini berasal dari hukum Romawi yang sama tuanya ketika berbicara mengenai kekuasaan negara.
Perintah jabatan yang dikeluarkan yang berwenang memberikan hak kepada yang menerima perintah untuk berbuat atau tak berbuat sesuatu. Dengan demikian, ini menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan sebagai alasan pembenar.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah setiap perintah jabatan membenarkan semua perbuatan yang dilakukan oleh yang menerima perintah? Tidak setiap perintah jabatan membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh penerima perintah.
Semua tergantung cara melakukan perintah atau alat-alat yang digunakan untuk melaksanakan perintah. Lalu, apa persyaratan sehingga seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas dasar melakukan perintah jabatan?

Ada tiga syarat. Pertama, antara yang memerintah dan diperintah berada dalam dimensi hukum publik. Kedua, antara yang memerintah dan diperintah terdapat hubungan subordinasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian. Ketiga, melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut dan seimbang sehingga tak melampaui batas kewajaran.
Hal lain dalam perintah jabatan, bahwa si penerima perintah tidak mesti menerima perintah secara langsung dari yang memberi perintah. Artinya, perintah itu baik secara tertulis maupun lisan dimungkinkan termasuk melalui berbagai macam sarana komunikasi.
Jika perintah jabatan merupakan alasan pembenar, perintah jabatan yang tak sah adalah alasan pemaaf yang menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku. Perintah jabatan yang tak sah tersimpul di Pasal 51 KUHP lama Ayat (2), yakni ”Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik, mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya dalam lingkungan pekerjaannya”.
Berdasarkan konstruksi pasal a quo, pada hakikatnya perintah jabatan yang tak sah tak menghapuskan patut dipidananya pelaku.
Berdasarkan konstruksi pasal a quo, pada hakikatnya perintah jabatan yang tak sah tak menghapuskan patut dipidananya pelaku. Agar perintah jabatan yang tak sah dapat berfungsi sebagai alasan pemaaf harus memenuhi tiga syarat. Pertama, perintah itu dipandang sebagai perintah yang sah. Kedua, perintah dilaksanakan dengan itikad baik. Ketiga, pelaksanaan perintah berada di ruang lingkup pekerjaannya.
Ketiga syarat ini bisa disederhanakan menjadi syarat subyektif dan syarat obyektif.
Syarat subyektif adalah bahwa dalam batin orang yang menerima perintah harus mengira bahwa perintah itu adalah perintah yang sah dan oleh karena itu dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara syarat obyektif adalah bahwa perintah tersebut masih berada dalam lingkungan pekerjaan yang diperintah.
Dalam konteks yang demikian, jika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan perbuatan pidana, tidaklah dapat dijadikan alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, baik karena perintah jabatan maupun perintah jabatan yang tidak sah.

Dalam perkembangan doktrin hukum pidana dan praktik pengadilan ada yang dikenal dengan istilah constrainte morale (tekanan moral yang luar biasa). Namun, constrainte morale bukanlah alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, melainkan alasan yang dapat meringankan pidana.
Constrainte morale lebih mendekati alasan pemaaf dan sangat mungkin terjadi dalam konteks daya paksa relatif, pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau perintah jabatan yang tidak sah.
Penyertaan
Perihal penyertaan, merujuk KUHP lama, penyertaan diatur di Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan ke-2. Berdasarkan pasal ini disimpulkan, yang dapat dipidana sebagai pelaku: 1) Pleger (pelaku); 2) Doenpleger (orang yang menyuruh lakukan); 3) Medepleger (orang yang turut serta); 4) Uitlokker (orang yang menganjurkan/menggerakkan).
Dalam bentuk penyertaan doenpleger, paling tidak dua orang atau lebih terlibat dalam suatu perbuatan pidana dengan kedudukan berbeda. Orang yang menyuruh lakukan disebut manus domina atau middelijke dader, dan orang yang disuruh disebut onmiddelijke dader atau manus ministra.
Doenpleger juga disebut middellijk daderschap yang berarti seseorang mempunyai kehendak melakukan suatu perbuatan pidana, tetapi ia tidak mau melakukannya sendiri dan mempergunakan orang lain yang disuruh melakukan perbuatan pidana tersebut.
Perintah jabatan yang dikeluarkan yang berwenang memberikan hak kepada yang menerima perintah untuk berbuat atau tak berbuat sesuatu.
Paling tidak ada tiga syarat penting dalam bentuk penyertaan ini. Pertama, alat yang dipakai untuk melakukan suatu perbuatan pidana adalah orang. Kedua, orang yang disuruh tak mempunyai kesengajaan, kealpaan, atau kemampuan bertanggung jawab. Ketiga, sebagai konsekuensi syarat kedua, orang yang disuruh melakukan tidaklah dapat dijatuhi pidana.
Terkait turut serta melakukan, paling tidak ada dua kesengajaan. Pertama, kesengajaan untuk mengadakan kerja sama dalam rangka mewujudkan suatu delik di antara para pelaku. Artinya, ada suatu kesepakatan atau meeting of mind di antara mereka. Kedua, adanya kerja sama yang nyata dalam mewujudkan delik itu.
Kedua kesengajaan ini mutlak harus ada dan harus dibuktikan penuntut umum di pengadilan. Agentes et consentientes pari poena plectenture atau consentientes et agentes pari poena plectentur. Artinya, pihak yang bersepakat dan melakukan perbuatan akan dapat hukuman yang sama.
Soal adanya dua kesengajaan ini, Moeljatno berpendapat, kesengajaan yang pertama adalah subjectief onrechtselement atau elemen melawan hukum subyektif, yaitu sikap batin di antara para pelaku peserta. Sementara kesengajaan yang kedua adalah objectief onrechtselement atau elemen melawan hukum obyektif, yakni adanya kerja sama yang nyata di antara para pelaku.

Masih menurut Moeljatno, dalam dakwaan penuntut umum, jika A dan B melakukan delik penyertaan, harus dinyatakan bahwa ”A dan B bersama- sama dan bersekutu telah melakukan suatu perbuatan pidana”. Kata ”bersama-sama” menandakan objectief onrechtselement, sedangkan kata-kata ”bersekutu” menunjukkan subjectief onrechtselement.
Di sini, twee of meer verenigde personen (dua orang atau lebih bersama-sama atau bersekutu) dapat dianggap sebagai hal yang memberatkan pidana.
Hal lain terkait turut serta melakukan yang harus dipahami adalah tidak mesti suatu kejahatan dalam konteks penyertaan pasti dilakukan dengan kesengajaan berencana atau dolus premeditatus.
Mengenai hal ini, Remmelink menyatakan bahwa dalam turut serta melakukan tidak perlu ada rencana, atau dolus premeditatus. Sebaliknya, yang perlu dibuktikan adalah saling pengertian di antara sesama pelaku dan pada saat perbuatan diwujudkan tiap-tiap pelaku bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Ada lima syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk penyertaan menggerakkan atau menganjurkan.
Bentuk penyertaan terakhir adalah menggerakkan atau menganjurkan. Terdapat dua orang atau lebih, masing-masing berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (auctor intellectualis dan orang yang dianjurkan (auctor materialis atau materieele dader).
Berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP telah ditentukan secara limitatif upaya untuk menganjurkan atau menggerakkan orang lain melakukan perbuatan pidana, yakni, pertama, memberi atau menjanjikan sesuatu. Kedua, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. Ketiga, dengan kekerasan. Keempat, dengan ancaman atau penyesatan. Kelima, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
Ada lima syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk penyertaan menggerakkan atau menganjurkan. Pertama, kesengajaan untuk menggerakkan atau menganjurkan orang lain melakukan suatu perbuatan pidana. Kedua, ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang digerakkan atau dianjurkan. Artinya, kehendak itu juga ada pada orang yang digerakkan atau dianjurkan. Ini berkaitan dengan kausalitas psikis.
Ketiga, orang yang digerakkan atau dianjurkan benar-benar mewujudkan perbuatan pidana atau percobaan perbuatan pidana yang dikehendaki oleh penggerak atau penganjur.
Keempat, menganjurkan atau menggerakkan harus dengan cara-cara yang telah ditentukan secara limitatif sebagaimana disebut di atas. Kelima, orang yang digerakkan atau dianjurkan harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pertanyaan lebih lanjut apakah mungkin ada constrainte morale dalam penyertaan? Hal ini sangat mungkin terjadi dalam konteks turut serta melakukan atau menggerakkan.

ilustrasi
Constrainte morale dapat saja terjadi karena relasi kuasa atau hubungan di antara para pelaku peserta sedemikian rupa atau karena kondisi dan situasi tertentu sehingga di antara para pelaku peserta harus melakukan tindakan tersebut.
Hal terakhir, tetapi terpenting dalam lapangan hukum formil adalah bahwa kualifikasi tiap-tiap peserta dalam delik penyertaan harus disebutkan secara terang benderang, jelas, cermat, dan akurat pada dakwaan penuntut umum.
Ini tak terlepas dari sejarah pembentukan KUHP di twee de kammer di negeri Belanda yang mengenal: 1) zelfstandige deelneming atau penyertaan yang berdiri sendiri adalah tindakan tiap-tiap peserta dalam melakukan suatu perbuatan pidana, diberi penilaian atau kualifikasi tersendiri dan tindakan mereka masing-masing diadili secara sendiri pula.
Lalu, 2) onzelfstandige deelneming atau penyertaan yang tak berdiri sendiri adalah dapat- tidaknya seorang peserta dipidana, tergantung peranannya dalam perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh seorang pelaku dan tergantung pula apakah perbuatan yang dilakukan pelakunya itu suatu tindak pidana ataukah bukan.
Termasuk penyertaan yang berdiri sendiri adalah pelaku, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan. Sementara penyertaan yang tidak berdiri sendiri adalah yang menggerakkan dan yang membantu. Mereka ini adalah sebagai asesor kepada peserta lain yang pemidanaannya tergantung pada pemidanaan orang lain.
Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Wakil Menteri Hukum dan HAM

Eddy OS Hiariej