Ada beberapa hal yang mungkin menghambat kepulangan para diaspora Indonesia. Kemunduran nasionalisme, kemunduran peradaban berupa narasi kebencian dan intoleransi, serta kemunduran moralitas dengan maraknya korupsi.
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·2 menit baca
Saya ingin menanggapi Bapak Samesto Nitisastro di Surat Kepada Redaksi (Kompas, 15/12/2022) berjudul ”Anak Indonesia Pintar-pintar” dengan sudut pandang yang berbeda.
Sedari saya kecil, tahun 1970-an, kita sudah familiar dengan barang-barang sederhana ”Made in China”, seperti jarum jahit, gunting kuku, hingga cangkul dan palu. Artinya kita sudah menjadikan China sebagai negara produsen dan seluruh dunia adalah konsumennya.
Tahun 1997-2001, ketika saya menjadi buruh di Jepang, banyak tenaga magang pemuda-pemudi China, termasuk di perusahaan tempat saya bekerja. Mereka dikirim Pemerintah China untuk belajar bekerja di Jepang dengan program kerja sama G2G, dengan upah sangat murah.
Tahun 2004, ketika saya menemani istri saya mengambil S-3 di Leiden Belanda, saya mendapatkan banyak mahasiswa China yang dibiayai Pemerintah China. Seperti beasiswa LPDP di Indonesia.
China menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi secara masif. Pemerintah daerah mendapat arahan agar fokus dalam satu sektor yang sama di seluruh wilayah. Hal tersebut memudahkan serangkaian reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping (1978-1989) sehingga ekonomi China tumbuh rata-rata 10 persen per tahun. Hal ini menarik banyak tenaga ahli berdarah China di seluruh dunia pulang kampung dan berkarya di dalam negeri.
Dari semua uraian di atas, menurut saya, bangsa Indonesia juga harus berproses alami dengan belajar merangkak dahulu sebelum belajar berlari, seperti China. Saya justru menyarankan agar para diaspora Indonesia: pekerja migran dan anak-anak Indonesia yang pintar-pintar itu tetap belajar dan berkarya di luar negeri.
Ada waktunya nanti ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik, proses alamiah pulang kampung ke negeri asal seperti di China, akan terjadi. Sayangnya, ada beberapa hal pembeda yang mungkin menghambat kepulangan para diaspora Indonesia.
Pertama adalah kemunduran nasionalisme, dengan meningkatnya konservatisme yang kurang diintervensi oleh aparat keamanan dan negara. Hal ini memicu persoalan kedua, yaitu kemunduran peradaban berupa narasi kebencian, radikalisme, terorisme, dan intoleransi. Belum lagi persoalan ketiga berupa kemunduran moralitas dengan maraknya korupsi.
Bila ingin Indonesia maju, kita harus kembali ke konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tindak tegas semua perilaku yang merusak dan mengancam persatuan-kesatuan. Beranikah aparat pemerintah?
Djoko Madurianto SunartoJl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141