Banyak pihak melihat betapa penting Irak bagi terciptanya stabilitas keamanan di kawasan Timur Tengah. Cara pandang itulah, antara lain, yang melatarbelakangi bergulirnya Konferensi Baghdad dua tahun terakhir ini.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Konferensi Baghdad untuk Kerja Sama dan Kemitraan kembali digelar di area Laut Mati, Jordania, pada hari Selasa, 20 Desember 2022. Pertemuan yang disebut Konferensi Baghdad II itu merupakan kelanjutan dari Konferensi Baghdad I di kota Baghdad, Irak, pada Agustus 2021. Dijadwalkan, Konferensi Baghdad III akan digelar di Mesir pada tahun 2023.
Konferensi Baghdad II dihadiri oleh Jordania sebagai tuan rumah, Perancis, Uni Eropa, Mesir, Kuwait, Iran, dan Arab Saudi. Konferensi Baghdad, yang sudah dua kali digelar itu, merupakan inisiatif Perancis dalam upaya mengembalikan negeri Irak ke pangkuan dunia Arab dan menetralisasi posisi Irak dari pertarungan regional serta menjadikan negeri Irak sebagai bumi yang damai dan aman.
Inisiatif Perancis tersebut digulirkan setelah Irak dengan dibantu masyarakat internasional berhasil mengalahkan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang sempat menguasai dan mengambil markas di kota Mosul, Irak utara. Tak ayal, inisiatif Perancis itu disambut hangat oleh Irak sendiri dan sejumlah negara Arab tetangga Irak, seperti Jordania, Kuwait, Arab Saudi, plus Mesir.
Perancis dan sejumlah negara Arab tersebut memiliki visi yang sama terkait negeri Irak. Mereka sama-sama melihat betapa penting peran Irak bagi terciptanya stabilitas keamanan di kawasan Timur Tengah. Dan betapa penting pula agar negeri Irak menjadi negeri kaya nan makmur.
Maka, kemudian digelarlah Konferensi Baghdad I di kota Baghdad pada Agustus 2021 dan Konferensi Baghdad II di area Laut Mati, Jordania, pada Desember 2022.
Bagi Perancis dan sejumlah negara Arab, Konferensi Baghdad II itu memiliki misi kepentingan sendiri. Konferensi itu digelar setelah Irak berhasil membentuk pemerintahan baru pimpinan PM Mohammed Shia al-Sudani dan memilih presiden baru, Abdul Latif Rashid, pada Oktober lalu. Sebelumnya, Irak lebih dari satu tahun selalu gagal membentuk pemerintah baru.
PM Sudani dikenal dekat dengan Iran dibandingkan PM Irak sebelumnya, Mustafa al-Kadhimi, yang dikenal lebih netral dan bahkan lebih dekat ke dunia Arab. Karena itu, Konferensi Baghdad II ingin menggandeng Sudani tetap mengikuti jejak pendahulunya, Kadhimi, yang berhasil meletakkan negeri Irak sebagai negeri yang netral dan cukup dekat dengan dunia Arab.
Seperti dimaklumi, negeri Irak seusai tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003 di ranah internasional berada di bawah pengaruh AS, tetapi di ranah regional cenderung lebih dekat ke Iran.
Dalam rekomendasi hasil Konferensi Baghdad II, sangat jelas terlihat tujuan digelarnya Baghdad II ataupun Baghdad I, yakni menolak terorisme serta membangun kerja sama untuk kemajuan dan kesejahteraan negeri Irak. Dalam rekomendasi Baghdad II disebutkan pula, mengecam keras terorisme dalam segala bentuknya serta mendukung terciptanya keamanan, stabilitas, kedaulatan, dan proses demokrasi di Irak.
Disebutkan juga, mendukung upaya Irak membangun negara hukum, konstitusional, dan institusional yang mampu membawa kemajuan, melakukan pembangunan, dan memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, serta menolak campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Irak. Sebagai upaya mewujudkan rekomendasi Baghdad I dan II itu, Irak, Jordania, dan Mesir telah mencapai kesepakatan kerja sama ekonomi, termasuk di antaranya proyek pembangunan jaringan aliran listrik yang saling menyambung antara ketiga negara tersebut.
Neraca perdagangan Mesir dengan masing-masing Irak dan Jordania relatif kecil selama ini. Neraca perdagangan Mesir dan Irak saat ini hanya sekitar 470 juta dollar AS, sedangkan antara Mesir dan Jordania sekitar 600 juta dollar AS.
Irak dan negara-negara Arab kaya Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, dan Uni Emirat Arab) juga telah mencapai kesepakatan kerja sama ekonomi dalam bentuk pembangunan jaringan aliran listrik dan transportasi.
Melihat itu semua, banyak pengamat optimistis dengan masa depan Irak asalkan negara itu ditangani secara profesional dan modern. Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF), Irak merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia Arab, yakni mencapai 9,4 persen.
Banyak pengamat optimistis dengan masa depan Irak asalkan negara itu ditangani secara profesional dan modern.
Baghdad juga berhasil menambah 1 juta barel dalam ekspor minyaknya. Irak tercatat sebagai produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Produksi minyaknya per hari mencapai 4,6 juta barel.
Pertumbuhan ekonomi Irak yang cenderung positif disebabkan oleh harga minyak yang cukup tinggi terakhir ini. Selain itu, ekspor nonmigas Irak, seperti hasil pertanian dan perikanan, juga meningkat.
Bank Dunia melihat Irak memiliki peluang besar untuk terus melakukan reformasi ekonomi sehingga bisa tampil sebagai negara maju di dunia Arab. Menurut Bank Dunia, pendapatan nasional Irak dari nonmigas berhasil naik sebesar 8,4 persen per tahun.
Di sektor keamanan, situasi di Irak saat ini jauh lebih kondusif setelah kekalahan NIIS. Pemerintah dan militer cukup berhasil mengontrol negeri Irak saat ini.
Dalam konteks politik, meskipun sering terjadi krisis politik akibat perbedaan pendapat antara kekuatan-kekuatan politik di Irak, mereka tidak memilih jalan kekerasan dan lebih memilih jalan kompromi politik. Dalam proses pembentukan pemerintah baru Irak, misalnya, meskipun alot dan berliku-liku, mereka akhirnya mencapai solusi kompromi dengan berhasil memilih Sudani sebagai PM baru pada Oktober lalu.
Tantangan terberat bagi Irak saat ini adalah isu korupsi yang menghambat pembangunan di negeri itu selama ini. Irak dikenal sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Pada 16 Oktober lalu, diumumkan skandal raksasa baru di Irak, yaitu raibnya dana 2,5 miliar dollar AS dari hasil pajak. PM Sudani dalam akun Twitter-nya menegaskan, pemerintah yang dipimpinnya akan memberi prioritas untuk membongkar skandal raibnya dana pajak sebanyak 2,5 miliar dollar AS itu.
Mantan Presiden Irak Barham Saleh pada Mei 2021 mengungkapkan bahwa kerugian Irak mencapai 1.000 miliar dollar AS sejak tahun 2003 akibat korupsi di semua lini. Ia juga mengungkapkan, sebanyak 150 miliar dollar AS telah dilarikan ke luar negeri dari Irak oleh oknum-oknum pejabat korup.
Konferensi Baghdad II di Jordania dan juga Baghdad III di Mesir tahun 2023 diharapkan bisa membawa Irak lebih modern dan transparan dalam pengelolaan negaranya sehingga bisa mengikis budaya korupsi di negeri tersebut. Selain itu, diharapkan Irak juga lebih netral dan tidak lagi menjadi ajang pertarungan baik regional maupun internasional.