Menjadi pemimpin dalam industri teknologi berarti menyelesaikan masalah dengan solusi inovatif atau menjelaskan konsep teknologi baru dengan cara yang menarik.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Di industri properti kita mengenal Ciputra, di perbankan ada Robby Djohan, di industri media ada Jakob Oetama, di kereta api ada Ignasius Jonan, dan lain sebagainya. Mereka adalah legenda. Mereka memiliki nilai yang kuat dan menjadi panutan. Lalu, siapakah sosok di industri digital Indonesia? Tentu dia bukan hanya jago di teknologi dan aksi korporasi, tetapi juga paham nilai-nilai yang pas dalam berbisnis di Indonesia.
Bila kita mencari sosok itu dengan melakukan survei, ia akan ketemu. Sangat mudah tentunya. Akan tetapi cara-cara seperti ini menyisakan bias. Bias itu muncul karena orang sekadar memilih nama yang terkenal atau mereka yang berasal dari perusahaan besar saja. Padahal kita mencari orang yang benar-benar paham dunia industri digital namun ia juga mampu mengemukakan nilai-nilai yang penting dalam mengembangkan bisnis teknologi di Tanah Air.
Sejumlah masalah yang muncul di tahun 2022 dan sebelumnya mengisyaratkan bahwa memimpin bisnis di Indonesia memiliki beban lebih. Mereka perlu memahami persoalan masyarakat seperti kemiskinan, ketimpangan, dan juga inklusivitas dalam berbagai hal. Mereka tidak cukup hanya jago di dalam aksi korporasi tetapi juga merespons berbagai masalah kemasyarakatan itu. Mereka ini harus memperlihatkan peran perusahaan teknologi dalam menyelesaikan sejumlah masalah bangsa.
Secara internal mereka tentu perlu secara mendalam dan paham tentang persoalan pemutusan hubungan kerja yang marak, tentang kebutuhan talenta masa depan, tentang perilaku sejumlah eksekutif, dan lain-lain. Mereka ini mampu membuat kritik ke dalam sehingga perusahaan teknologi jauh dari para petualang dan mereka yang suka aksi aji mumpung. Orang-orang kotor di dalam perusahaan teknologi hanya akan memperburuk citra industri digital secara lebih luas.
Pertama tentu kita bicara kriteria. Indeed Editorial Team menyebutkan beberapa kriteria menjadi pemimpin di dalam perusahaan teknologi. Menjadi pemimpin dalam industri teknologi berarti menyelesaikan masalah dengan solusi inovatif atau menjelaskan konsep teknologi baru dengan cara yang menarik. Biasanya, pemimpin teknologi awalnya muncul dari penciptaan kemajuan teknologi baru. Misalnya, pemimpin di industri teknologi mungkin menganalisis akses air bersih dan mencoba menciptakan teknologi baru untuk membantu individu mendapatkan air bersih yang mereka butuhkan.
Kemudian mereka dapat membagikan temuan mereka secara profesional melalui acara ceramah, media, atau kampanye promosi. Pemimpin juga dapat mendorong orang lain untuk berpikir inovatif dan bereksperimen sampai mereka menemukan solusi untuk masalah yang ingin mereka pecahkan. Langkah ini bisa termasuk menyediakan materi bimbingan seperti buku pengembangan profesional tentang pengalaman mereka menjadi pemimpin dalam teknologi. Kriteria utama untuk menjadi pemimpin dalam industri teknologi adalah menyumbangkan pengetahuan.
Namun dalam hal soal kriteria, kita lebih banyak menemukan soal kapasitas pribadi yang diperlukan ketika memimpin perusahaan teknologi saja. Kriteria seperti itu tidaklah mencukupi. Anggota dari Forbes Technology Council Giuliana Corbo dalam tulisan berjudul "How Do You Become A Leader In The Tech Industry?" ternyata juga menambahkan bahwa seorang pemimpin atau sosok di dalam perusahaan teknologi harus memiliki visi besar. Mereka juga seseorang yang suka bereksperimen dan berpikir tentang bagaimana mereka dapat mengubah dunia menjadi lebih baik.
Membahas tentang kemampuan mengubah dunia menjadi lebih baik maka kita bicara soal moralitas bukan hanya soal kapasitas. Bagaimana mungkin seorang sosok di dalam perusahaan teknologi di Indonesia bisa mengubah dunia lebih baik sementara membiarkan berbagai masalah bangsa masih terlihat sangat jelas? Gugatan tentang moralitas ini tentu kemudian mengarah pada gaya hidup sejumlah eksekutif di perusahaan teknologi. Semua bisa menjadi omong kosong ketika visinya berkebalikan dengan perilakunya.
Giuliana menjelaskan, semua ini bukan hanya tentang kemampuan membuat produk. Ini tentang perjalanan. Apa visi Anda? Mengapa Anda ingin menjadi seorang pemimpin? Ini adalah pertanyaan penting untuk dipertimbangkan saat Anda memimpin bisnis Anda untuk memenuhi tujuan yang lebih besar. Pertanyaan yang sama layak dilayangkan buat calon pemimpin perusahaan teknologi dan mereka yang sudah memimpin perusahaan teknologi.
Gugatan tentang moralitas ini tentu kemudian mengarah pada gaya hidup sejumlah eksekutif di perusahaan teknologi. Semua bisa menjadi omong kosong ketika visinya berkebalikan dengan perilakunya.
Pembahasan tentang masalah ini sedang marak di beberapa media di luar negeri. Mereka melihat persoalan moralitas menjadi penting dalam pengembangan teknologi. Tentang sesuatu yang baik dan tidak baik saat mereka mengembangkan produk. Dalam membahas soal ini, kembali kita belum menemukan sosok di dalam perusahaan teknologi yang berbicara lugas, detail, dan mendalam mengenai hal ini. Mereka masih terlalu asyik di dalam mengelola bisnis mereka secara internal.
The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa para eksekutif semakin melihat nilai “teknologi untuk kebaikan” karena perusahaan memiliki kesempatan untuk menyelaraskan nilai-nilai perusahaan mereka dengan keyakinan karyawan saat menerapkan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab. Penyelarasan ini, menurut studi EIU, dapat meningkatkan kepuasan karyawan, produktivitas, dan berdampak positif pada retensi bakat, dan memberi daya tarik bagi talenta-talenta baru. Sekali lagi, “teknologi untuk kebaikan” berbicara soal moralitas.
Di dalam berbagai aktivitas kita menemukan sosok yang menjadi rujukan. Dari mulai Yudi Latif di dunia politik kebangsaan, di dunia kegempaan kita memiliki Mbah Rono alias Surono, di isu lingkungan kita menyandarkan pada pemikiran Emil Salim, dan lain-lain. Bahkan ketika beberapa sosok sudah meninggal pun, mereka terasa masih hadir. Di dunia sastra dulu kita mengenal almarhum Umbu Landu Paranggi, di dunia filsafat kita mengenal almarhum Driyarkara, di dunia pendidikan kesetaraan kita mengena almarhum Mangunwijaya, di isu kebangsaaan kita memiliki almarhum Buya Syafi’i Ma’arif, dan lain-lain.
Lalu, siapakah sosok di perusahaan teknologi? Tentu bukan mereka yang bergaya bak selebritas dengan segala aktivitas pamernya. Ia mungkin lebih banyak diam dan tidak mengobral omongan. Sekali berbicara, ia memiliki kata dan kalimat yang kuat dan bernas. Pikirannya telah melampaui urusan kepentingan pribadi. Kita butuh sosok di isu-isu teknologi karena sekarang saatnya perkembangan teknologi digital di Indonesia butuh orang yang berbicara nilai-nilai dan peduli dengan masalah-masalah yang melingkupi negeri ini.