orangtua atau wali murid bertahan tidak menyepakati rencana penggusuran SDN Pondok Cina 1, Depok, Jawa Barat. Adanya penolakan menunjukkan tindakan Pemerintah Kota Depok itu merugikan para murid di sekolah itu.
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·3 menit baca
Kompas, 12 Desember 2022, halaman 14 memberitakan: ”Pemkot Depok dan Wali Murid Segera Berdialog”. Keterangan foto menyebutkan, orangtua atau wali murid bertahan tidak menyepakati rencana penggusuran SDN Pondok Cina 1, Depok, Jawa Barat.
Pemerintah Kota Depok berencana mengalihfungsikan sekolah itu menjadi masjid. Orangtua murid menolak, apalagi Pemkot Depok tidak menyediakan pengganti.
Saya alumnus SMPN 1 Jayapura, Papua, tahun 1983. Saat itu karena keterbatasan dengan hanya 20 ruang kelas, kami yang duduk di kelas 7 (terdiri atas 10 kelas masing-masing 50 murid) harus bersekolah siang hingga sore hari. Kelas 8 dan 9 masuk sesi pagi hingga siang hari.
Hari ini, setelah hampir 40 tahun, dengan luas tanah yang sama, bangunan fisik SMPN 1 Jayapura, Papua, sudah menjadi besar dan bertingkat. Saya perkirakan ada 40 ruang kelas. Dengan kata lain kebutuhan pembangunan SDM pendidikan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan ruang kelas atau kapasitas ruang belajar. Saya bangga karena sekolah saya berkembang pesat.
Dari dua gambaran di atas, saya pribadi merasa sangat prihatin. Ini Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi beda pemerintah kotanya beda pula kebijakan pemimpinnya dalam melihat pentingnya pendidikan.
Bukankah sekolah negeri wajib dikembangkan agar dapat menampung semua murid tanpa kecuali? Ini kok malah hendak ditiadakan. Adanya penolakan menunjukkan tindakan Pemerintah Kota Depok itu merugikan para murid yang bersekolah di SDN Pondok Cina 1.
Dunia sekarang sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Bukankah sekarang pemerintahan Taliban di Afghanistan telah bekerja sama dengan pemerintah China yang komunis dan kafir menurut mereka? Akan tetapi, kenapa mereka bisa bergandengan tangan untuk hal yang saling menguntungkan?
Seorang pemuka agama pernah mengatakan, ”Pemuka agama yang tidak benar mengajarkan ikut Tuhan itu hidup menjadi mudah tanpa mengajarkan prosesnya.”
Demikian pula dengan para pemimpin di negeri ini. Banyak yang hanya pandai berceramah tanpa belajar memahami prosesnya.
Djoko Madurianto SunartoJl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Merawat Budaya
Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono bukan sekadar upacara pernikahan, melainkan sarat pesan moral.
Sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, Presiden Jokowi tidak menerapkan standar protokol kenegaraan ketat.
Selama acara, penonton televisi menyaksikan para cucu Jokowi dibiarkan bebas berekspresi sesuai dunia anak. Di kartu undangan pun tertulis nama pribadi orangtua, tanpa gelar dan jabatan.
Semua acara sejak ijab kabul dan ngunduh mantu dilaksanakan dengan adat Jawa Yogyakarta dan Solo. Presiden menyebut, semua itu untuk merawat budaya warisan leluhur (Kompas, 12/12/2022).
Acara inti dilanjutkan dengan pesta rakyat. Masyarakat bisa ke berbagai titik di Kota Surakarta, menikmati aneka makanan tradisional dan panggung hiburan gratis.
Saat menjadi Wali Kota Surakarta, Jokowi bisa memindahkan pasar tanpa gejolak karena mengakomodasi kepentingan pedagang, sopir angkot, dan masyarakat. Ketika menjabat Gubernur DKI, ia blusukan ke perumahan kumuh padat penduduk, pasar, terminal, stasiun, dan tempat-tempat yang tidak tersentuh pejabat sebelumnya.
Pada peringatan Kemerdekaan, Presiden Jokowi mengenakan baju adat, mengundang ”orang biasa” yang tak pernah diperhitungkan, seperti penyanyi cilik Farel Prayoga dan Suroto, pembentang poster mahalnya pakan ayam.
Presiden Jokowi mendobrak kekakuan birokrat bermental feodal yang menghambat pembangunan.
Yes SugimoJl Melati Raya, Cilengkrang, Bandung 40616