Sebetulnya tidak ada hal baru dalam bentuk dan modus penyalahgunaan dana desa. Bentuk-bentuk penyelewengan ini sudah diantisipasi dengan pengawasan dari berbagai pihak. Akan tetapi, partisipasi masyarakat juga penting.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Dana desa adalah salah satu sumber finansial penting dalam membangun wilayah perdesaan. Sampai tahun 2022 sudah Rp 468 triliun dana desa disalurkan. Pada tahun 2023, pemerintah merencanakan alokasi dana desa sebesar Rp 70 triliun.
Sejak diluncurkan tahun 2015, dana desa telah dimanfaatkan untuk membangun berbagai sarana serta prasarana, seperti jalan desa, jembatan, saluran irigasi, sarana air bersih, dan embung. Pemerintah juga menyatakan, dana desa mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Tahun 2015 ada 17,94 juta jiwa di perdesaan masuk kategori miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 menunjukkan jumlahnya turun menjadi 14,34 juta jiwa.
Terlepas dari manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, penggunaan dana desa rawan penyelewengan. Sampai tahun 2022, berita penyalahgunaan dana desa masih ditemukan di media massa.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari tahun ke tahun jumlah kasus penyelewengan dana desa cenderung meningkat (menurun pada tahun 2019, tetapi meningkat lagi pada 2020 dan 2021). Pada 2015 tercatat ada 17 kasus, dengan jumlah kerugian negara Rp 9,12 miliar. Tahun 2021 ada 154 kasus dan negara dirugikan Rp 233 miliar. Angka kerugian negara tahun 2021 ini lebih dua kali lipat angka kerugian tahun sebelumnya (Rp 111 miliar dari 129 kasus).
Terlepas dari manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, penggunaan dana desa rawan penyelewengan.
Jumlah kasus dan kerugian keuangan memang tak dapat digunakan sebagai indikator tingkat intensitas kejahatan korupsi. Hal ini karena angka-angka tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya kepiawaian pihak pengawas dan pelaku.
Namun, adanya kasus menandakan penyelewengan masih terjadi. Catatan ICW juga mengungkap, sebagian besar pelakunya adalah aparat pemerintah di tingkat desa.
Sebetulnya tidak ada hal baru dalam bentuk dan modus penyalahgunaan dana desa. Modusnya mulai dari mark up harga serta jumlah barang dan jasa, belanja dan kegiatan fiktif, ketiadaan laporan pertanggungjawaban, hingga penyalahgunaan dana desa untuk keperluan pribadi atau kelompok.
Bentuk-bentuk penyelewengan ini sudah diantisipasi dengan pengawasan dari berbagai pihak. Mereka meliputi Aparat Pengawas Intern Pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai Tenaga Pendamping Profesional yang juga diharapkan mengawal penggunaan dana desa. Pihak lain yang perlu pula digarisbawahi perannya dalam pengawasan ialah Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Adanya kasus menandakan penyelewengan masih terjadi. Catatan ICW juga mengungkap, sebagian besar pelakunya adalah aparat pemerintah di tingkat desa.
Partisipasi masyarakat dan peran BPD
Sebagai wakil masyarakat desa, fungsi pengawasan BPD sangat strategis. Tujuan dana desa adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, dan BPD diharapkan dapat mewakili kepentingan mereka. BPD menjembatani pemerintah sebagai pengguna dana desa dengan ”tuannya”, yaitu masyarakat desa.
Sayang, fungsi pengawasan oleh BPD belum optimal. Kapasitas sumber daya manusia yang terbatas menjadi salah satu penyebabnya. Penyebab lain, anggota BPD sering tidak menyadari fungsi dan tanggung jawab mereka sebagai pengawas. Mereka melihat tugas sebagai anggota BPD yang diembannya hanya sebatas formalitas. Aspirasi masyarakat dibahas secara internal, alih-alih digali secara transparan dan sungguh-sungguh bersama-sama masyarakat.
Belum optimalnya fungsi pengawasan BPD tidak semata kesalahan anggota BPD, tetapi juga karena masyarakat yang belum memiliki kesadaran akan haknya dalam menentukan dan mengawasi dana desa. Mereka tidak merasa perlu memberi masukan atau kritik pada program di desanya, termasuk penggunaan anggaran.
Terlebih lagi, dalam masyarakat yang tidak egaliter (akibat perbedaan status ekonomi, sosial, dan tingkat pendidikan, misalnya), partisipasi mereka hanya semu. Hal ini terjadi karena mereka tak memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat.
Belum optimalnya fungsi pengawasan BPD tidak semata kesalahan anggota BPD, tetapi juga karena masyarakat yang belum memiliki kesadaran akan haknya dalam menentukan dan mengawasi dana desa.
Peningkatan partisipasi masyarakat dapat diperbaiki tidak hanya dengan meningkatkan kesadaran anggota BPD dan masyarakat akan perannya sebagai pengawas, tetapi juga lewat keterbukaan informasi dari pihak desa dalam hal anggaran dan program. Transparansi informasi dan kemudahan akses untuk mendapatkannya bisa mencegah perilaku penggelembungan anggaran serta belanja dan proyek fiktif.
Tujuh tahun dana desa menjadi sumber modal finansial desa dalam membangun wilayahnya. Berbagai infrastruktur berhasil dibangun, kemiskinan penduduk desa juga berhasil diturunkan. Pentingnya peran dana desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuntut pengelolaan yang bertanggung jawab, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan.
Upaya meningkatkan akuntabilitas penggunaan dana desa memerlukan partisipasi sejati dan aktif masyarakat dalam pengawasan demi efektivitas dana desa untuk mencapai tujuan yang diharapkan.