Memutus Masa Lalu Kelam
Problem berat bangsa ini untuk bergerak maju adalah karena tak pernah ada kebijakan dan praktik pemutusan mata rantai atas masa lalu yang buram. Cara menyikapi pelanggaran HAM berat masa lalu memengaruhi masa depan.
Beda negara, beda pula cerita perjalanan hak asasi manusia (HAM)-nya.
Penanganan terhadap pelanggaran berat atasnya pun juga bisa berbeda. Cerita sukses di satu negara, tak selalu bisa diadopsi di negara lain.
Mengapa cerita sukses penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Afrika Selatan, Argentina, dan Chile, sulit terwujud di Indonesia? Bahkan, kasus-kasus pelanggaran berat di sini cenderung dipelihara melalui pembentukan dan transmisi kognisi publik secara turun-temurun.
Problem berat bangsa ini untuk bergerak maju adalah karena tak pernah ada kebijakan dan praktik cut-off (pemutusan mata rantai) atas masa lalu yang buram. Semua negara punya pengalaman sendiri. Tetapi cara menyikapi pelanggaran HAM berat masa lalu, memengaruhi cerita sukses sebuah negara dalam menjemput masa depan.
Baca juga : Amnesty International Indonesia: Wajah Masa Depan HAM Indonesia Suram
Keberanian memutus
Pengalaman bangsa ini menorehkan catatan yang tak tunggal atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada Juni 2020, Komnas HAM dalam sidang pleno MPR telah melaporkan 13 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu di negeri ini.
Akan tetapi, tak satupun dari kasus-kasus itu yang menemukan kata akhir penyelesaian, kecuali kasus Paniai Papua tahun 2014, yang telah diputus melalui Pengadilan HAM ad hoc, kendati tak memuaskan semua pihak. Dalam sejarah masa lalu itu, satu kasus tak tuntas, muncul kasus lainnya, sehingga total ke-13 kasus itu menjadi catatan kelam atas perjalanan HAM di negeri ini pada masa lalu.
Akibat tiadanya kebijakan dan praktik cut-off, peristiwa buram masa lalu akan selalu jadi beban sejarah bangsa ini. Hal itu lalu menjebak dan sekaligus menawan masa depan kita sebagai sebuah bangsa.
Akibatnya, perjalanan kita sebagai sebuah gugus kebangsaan juga akan terganggu. Masalahnya kemudian, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak dituntaskan itu menyisakan masalah psikososial, politik dan kultural yang tak tuntas pula. Alih-alih kebersamaan dan harmoni yang mengemuka, bangsa ini tak bisa lepas dari problem trauma berkepanjangan atas masa lalu kelam.
Psikososial kita sebagai sebuah gugus kewargaan yang sudah menyatakan diri untuk menyatu ke dalam ikatan kebangsaan yang tunggal, akhirnya mengalami guncangan yang tak pernah usai.
Secara politik pun, bukan kemaslahatan bersama yang jadi sentrum dari pergerakan bangsa ini, melainkan sentimen-sentimen kelompok yang justru mengharu-biru. Kebencian sektarian seakan menjadi bagian dari napas hidup politik kewargaan dan sekaligus kebangsaan. Kecurigaan satu atas lainnya, menghantui setiap langkah yang ditempuh untuk maju.
Alih-alih, saling tidak percaya menjadi penyakit kronis di tengah warga bangsa, dan menjadi pelengkap dari kecurigaan kelompok itu. Bila tak segera diakhiri, bangsa ini akan selalu dicekam oleh dendam masa lalu yang berkelanjutan. Kebangsaan dan kewargaan kita pun harus tergadaikan oleh sikap dan perilaku yang dikendalikan oleh memori kelabu masa lalu yang tidak pernah menemukan kata akhir penyelesaian.
Kemajuan yang dicita-citakan bersama terancam oleh ketidakcerdasan kita dalam mengakhiri masa lalu kelam.
Praktik pembiaran atas pelanggaran HAM berat juga bagian dari kesalahan masa lalu yang harus dijadikan penyesalan bersama.
Oleh karena itu, sudah sangat mendesak untuk dilakukan proses pemutusan masa lalu secara mendasar. Bentuknya melalui sejumlah langkah penting, mulai dari pernyataan penyesalan atas apa yang terjadi di masa lalu sebagai sebuah kesalahan kolektif bangsa ini; hingga membangun proses kebersamaan untuk menyambut masa depan yang lebih baik.
Pernyataan penyesalan itu tanpa harus menyudutkan dan atau menyalahkan satu atas lainnya. Semua diyakini sebagai kesalahan. Praktik pembiaran atas pelanggaran HAM berat juga bagian dari kesalahan masa lalu yang harus dijadikan penyesalan bersama.
"Negatif list"
Setelah proses cut-off dilakukan, bangsa ini perlu memperkuat kesepakatan bersama atas titik penyatu (common platform) atas jati dirinya menuju masa depan yang lebih baik, tanpa dibebani oleh rekam jejak yang buram masa lalu.
Mencari titik temu atas sekian banyak perbedaan adalah bagian integral dari penguatan jati diri bangsa ini. Di sinilah perlu dibangun ruang-ruang dialog untuk memfasilitasi ruang temu menuju tercapainya titik temu itu.
Lalu, negara ini perlu membuat dan menegaskan kembali daftar beragam praktik buram yang tidak boleh dilanggar/diulang (negative list), agar perjalanan bangsa ini ke depan lebih menjanjikan. Penguatan daftar negatif ini penting agar tak terjadi keberulangan.
Bangsa ini perlu mengambil pelajaran penting atas masa lalunya sendiri, khususnya masa lalu buruk, untuk menjadi modal penting menatap masa depan Indonesia yang lebih baik.
Bangsa ini perlu memikirkan generasi baru Indonesia. Mereka tidak sepatutnya dibiarkan begitu saja dalam memaknai Indonesia masa depan dengan caranya sendiri. Perlu diberi panduan melalui keteladan dan kepeloporan oleh mereka yang saat ini dalam posisi memimpin, baik dalam struktur politik maupun kemasyarakatan.
Alasannya sederhana. Meminjam perspektif social learning theory, orang belajar dengan cara dua hal, mengamati (observing) dan meniru (imitating) perilaku sesamanya, lebih-lebih dari mereka yang posisinya superior.
Bangsa ini perlu memikirkan generasi baru Indonesia. Mereka tidak sepatutnya dibiarkan begitu saja dalam memaknai Indonesia masa depan dengan caranya sendiri.
Jangan sampai negeri ini tersandera oleh masa lalunya yang buram karena kita membiarkan berlangsungnya pembelajaran sosial yang diterima oleh generasi baru Indonesia dari cara berpikir dan perilaku generasi tua yang abai terhadap penegakan HAM dan penciptaan kebajikan publik. Kehidupan generasi baru Indonesia patut mendapatkan nilai kemuliaan, yang ditunjukkan oleh para pemimpin publiknya melalui praktik hidup yang konkret di tengah masyarakat.
Bangsa ini perlu mengakhiri trauma lintas generasi yang berkepanjangan (intergenerational trauma) akibat masa lalu yang buruk atas pemenuhan hak sesama warganya. Untuk menatap masa depan yang lebih baik, praktik cut-off adalah awal dari proses penyelesaiaan trauma lintas generasi (intergenerational trauma healing) akibat masa lalu yang kelam dalam kehidupan HAM di negeri ini.
Akh Muzakki Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM)