Krisis Dokter Spesialis, Negara Mesti Hadir
Jumlah dokter dan dokter spesialis kita memang masih kurang. Perlu kajian mendalam dan berkelanjutan, melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dampak keputusan harus terukur dalam kurun waktu 50 tahun ke depan.
Gagasan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk ‘mereformasi ‘ pendidikan kedokteran, khusus- nya pendidikan dokter spesialis, banyak menjadi sorotan.
Menkes mengatakan akan mengubah basis proses Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menjadi berbasis pendidikan belajar sambal bekerja di rumah sakit (RS).
Cara ini ditempuh guna mempercepat penambahan jumlah dokter spesialis di dalam negeri, dengan pertimbangan jumlah RS jauh lebih banyak, yakni 2.000, dibanding jumlah perguruan tinggi (PT) dengan program PPDS yang hanya 20.
Kehadiran negara
Diskursus terkait kurangnya jumlah dokter dan dokter spesialis ini berkembang kian liar. Bahkan muncul narasi yang menuding ini buah dari monopoli organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI) yang kian tak terkendali.
Sebagai satu -satunya organisasi profesi dokter, IDI dianggap telah menjelma jadi sindikat yang memonopoli hampir semua urusan kedokteran dari hulu hingga hilir.
Baca juga : Pemetaan Formasi Kebutuhan Dokter Spesialis Lebih Mendesak
Benarkah demikian? Pendidikan kedokteran sepenuhnya merupakan ranah dan tanggung jawab fakultas kedokteran (FK)/universitas, baik negeri maupun swasta, dan sepenuhnya diatur oleh UU Pendidikan Dokter (UU No 20/2013).
Organisasi profesi (IDI) yang diwakili Kolegium Dokter Indonesia bertanggung jawab menyusun Standar Kompetensi Dokter Indonesia untuk kemudian disahkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebuah lembaga yang dilantik Presiden atas usulan Menkes berdasarkan ketentuan UU. Sama sekali IDI tak memiliki kewenangan mencampuri, apalagi sampai mengatur dan menentukan jumlah dokter di Indonesia.
Di hampir semua negara, seleksi untuk masuk ke FK selalu paling ketat, bukan saja karena peminatnya banyak, tapi standar nilai minimalnya juga yang paling tinggi dibanding fakultas lain. Belum lagi persoalan pendidikan yang paling lama dan juga biayanya paling besar.
Hasil analisis Kompas (29/7/ 2022) —data dari 12 prodi dokter di 30 perguruan tinggi (PT) di Indonesia, negeri maupun swasta—menunjukkan perlu Rp 388,8 juta untuk menyelesaikan Sarjana Kedokteran, belum termasuk pendidikan profesi.
Bahkan untuk FK swasta, biaya mencapai Rp 688,6 juta, atau Rp 88 juta per semester. Bandingkan dengan biaya pendidikan Teknik Sipil, Informatika, Akuntansi, Hukum, dan Psikologi yang di Rp 100 juta-Rp 110 juta sampai lulus sarjana.
Pertanyaan besarnya, apakah pemerintah (negara) sudah sepenuhnya hadir dalam proses pengadaan SDM untuk sistem layanan kesehatan yang adil dan beradab bagi seluruh rakyat ini? Pernahkah Kemenkes menghitung jumlah dokter yang dibutuhkan bukan atas dasar standar WHO saja, melainkan atas dasar kondisi dan situasi negeri dengan ribuan pulau yang tersebar dengan komunikasi yang tak selalu mudah ini?
Pernahkah Kemenkes duduk bersama Kemendikbudristek sebagai pemilik FK dan para pemerintah kota/kabupaten sebagai user dari para dokter? Fakta yang ada, banyak PTN yang mematok uang masuk FK paling mahal dan uang kuliah tunggal (UKT) paling tinggi dibandingkan fakultas lain.
Pernahkah Kemenkes duduk bersama Kemendikbudristek sebagai pemilik FK dan para pemerintah kota/kabupaten sebagai user dari para dokter?
Akibatnya, FK hanya bisa dijangkau anak-anak orang kaya saja. Di sisi lain, ada kewajiban bagi semua lulusan FK untuk mengikuti program latihan kerja (internship) selama satu tahun, dengan gaji setara, atau bahkan kurang dari UMR, yang dibayarkan setiap tiga bulan.
Setelah tamat FK, seorang dokter akan memperoleh honorarium yang tak lebih baik dari penghasilan seorang petugas parkir di mal. Menjadi seorang dokter bukan pilihan ‘masuk akal’ kalau tujuannya adalah menjadi kaya dan hidup enak.
Bagaimana dengan persoalan kurangnya jumlah dokter spesialis? Program PPDS adalah satu -satunya cara yang legal dan institusional untuk menghasilkan SDM dokter spesialis yang memenuhi standar kompetensi yang diatur bersama oleh pemerintah dan organisasi profesi.
Jumlah peserta didik PPDS masih mungkin ditingkatkan secara kuantitatif dan kualitatif dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang ada.
Ilustrasi
Kesulitannnya terletak pada fakta bahwa di Indonesia program pendidikan dokter mahal, dengan kewajiban UKT/SPP Rp 10 juta-Rp 30 juta per semester atau Rp 20-Rp 60 juta per tahun selama 4-5 tahun.
Kondisi ini diperburuk dengan tak adanya penghargaan berupa gaji atau insentif yang layak untuk jasa peserta didik PPDS yang memiliki kompetensi dan lisensi sebagai dokter umum dan ikut memberikan pelayanan di semua RS pendidikan. Menkes sendiri mengakui kewajiban membayar UKT dan tak adanya gaji/insentif bagi peserta didik PPDS ini sebuah anomali/keanehan.
Kondisi seperti ini pernah terjadi di AS sekitar 60-70 tahun lalu. Saat ini, seorang peserta didik PPDS memperoleh insentif 5.000 dollar AS/bulan di AS, 1.000 dollar AS di Brasil dan Afrika Selatan, dan 500-700 dollar AS di India dan Filipina. (Pandemic talks, 9/8/2020).
Jadi jelas bahwa sebagai satu -satunya organisasi profesi bagi para dokter, sesuai Pasal 1 Ayat 12 UU Praktik Kedokteran (UU No 29/2004) dan Putusan MK No. 10/PUU-XV/2017, tak benar kalau IDI disalahkan, apalagi disebut ‘biang kerok’ krisis dokter spesialis di Indonesia. Faktanya, selama lebih dari 75 tahun kita merdeka, justru negara belum sepenuhnya hadir di proses rekrutmen dokter spesialis.
Apakah tepat pernyataan bahwa lebih baik pasien itu diobati oleh dokter spesialis dengan kualitas apa adanya daripada diobati dukun?
Sebagai organisasi profesi yang membawahi para dokter spesialis, IDI memiliki Kolegium Bidang Ilmu (Kolegium Bedah, Kolegium Penyakit Dalam, Kolegium Radiologi, dan lain-lain), yang bertanggung jawab menyusun berbagai standar terkait Program Studi PPDS mulai dari standar kurikulum sampai standar kompetensi.
Kehadiran organisasi profesi yang diwakili Kolegium Bidang Ilmu, yang beranggotakan para guru besar bidang ilmu terkait ini, mutlak dibutuhkan dan memiliki peran penting dalam menjaga mutu dan kualitas dokter spesialis. Peran ini tidak mungkin digantikan atau diambil alih oleh pemerintah.
Kolegium Bidang Ilmu ini tak pernah berbicara tentang proses seleksi calon peserta didik, apalagi tentang biaya pendidikan yang merupakan kewenangan universitas/FK sebagai pemilik program PPDS.
ilustrasi
Pekerjaan rumah raksasa
Permasalahan mengenai SDM di sistem pelayanan kesehatan di Indonesia adalah sebuah pekerjaan rumah raksasa.
Ini bukan proses untuk menghasilkan menu makanan yang paling enak untuk sebuah pesta pengantin seorang pesohor, yang karena besarnya animo masyarakat yang ingin hadir, dengan mudahnya kita memutuskan untuk menambah jumlah perusahaan katering guna memenuhi jumlah menu makanan untuk kebutuhan sesaat.
Proses rekrutmen PPDS yang selama ini berbasis universitas, karena UU mengharuskan demikian, dengan mudahnya akan dialihkan jadi berbasis RS, dengan alasan kita punya RS yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah universitas.
Persoalannya terletak pada siapa yang akan mengampu dan mengawasi pendidikan para peserta didik PPDS ini. Apakah mereka akan menyelesaikan pendidikan magang ini dengan standar lokal? Apakah tepat pernyataan bahwa lebih baik pasien itu diobati oleh dokter spesialis dengan kualitas apa adanya daripada diobati dukun?
Persoalannya terletak pada siapa yang akan mengampu dan mengawasi pendidikan para peserta didik PPDS ini.
Kelayakan sebuah institusi pendidikan dokter spesialis tidak saja tergantung fasilitas sarana- prasarana RS yang serba canggih, atau jumlah dan kapasitas para guru/pengampunya, melainkan juga pada paparan jumlah dan macam penyakit yang dihadapi dalam tahapan-tahapan pendidikannya.
Jumlah dokter dan dokter spesialis kita memang masih kurang. Jumlah institusi pendidikan dan kapasitas penerimaan peserta didik PPDS perlu ditambah. Perlu kajian mendalam dan berkelanjutan, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, karena keputusan apapun terkait perubahan ini bukanlah sebuah keputusan politik sesaat, melainkan akan memiliki dampak yang harus terukur dalam kurun waktu setidaknya 50 tahun ke depan.
Belanda mulai 2021 menerapkan ‘zero growth’ jumlah dokter spesialis. Artinya penambahan spesialis baru hanya bisa untuk menggantikan mereka yang pensiun atau meninggal. Kita tak ingin keputusan ‘zero growth’ seperti di Belanda ini suatu saat terjadi di negeri ini.
Pun seperti di Italia di mana dokter umum hanya bisa bekerja di RS 2-3 hari seminggu untuk bisa berbagi tempat kerja dengan sejawatnya dan selebih- nya bekerja sebagai sopir taksi.
ilustrasi
Tak meratanya persebaran dokter spesialis sampai ke daerah terpencil di Indonesia, juga buah dari tak hadirnya negara dalam proses pendidikan PPDS. Bagaimana mungkin kita menuntut para dokter spesialis baru ‘mengabdi’ atau ‘bekerja untuk negeri’ di berbagai daerah terpencil kalau negara tak hadir dalam proses pendidikan yang berbiaya tinggi ini.
Setidaknya butuh dukungan keuangan sekitar Rp 0,5 miliar -Rp 1 miliar bagi seorang dokter untuk bisa ‘survive’ bersama keluarganya menyelesaikan program ini. Tanpa itu, tak mungkin untuk masuk dan bertahan mengikuti program PPDS.
Beberapa tahun terakhir, untuk bidang-bidang spesialis tertentu yang paling diperlukan di RS Daerah, sebagian mereka mendapatkan beasiswa pemerintah melalui Kemenkes dan Kemenhan berupa tunjangan belajar dengan syarat kesediaan bekerja di daerah tertentu sete- lah lulus menjadi spesialis. Namun proporsinya terbilang kecil dibandingkan jumlah PPDS.
Pernyataan Menkes untuk menyediakan tambahan 2.500 beasiswa untuk pendidikan dokter spesialis tahun depan menjadi setetes embun yang menyejukkan dahaga akan hadirnya negara dalam proses rekrutmen calon dokter spesialis.
Zainal MuttaqinGuru Besar Universitas Diponegoro, Pelaku dan Pengamat Pendidikan Dokter Spesialis