Soal Hidup Matinya Bangsa
Masalah kerawanan pangan dan gizi perlu dikaji dari sudut pandang sejarah.

Ilustrasi
Dalam sepekan, Kompas mengangkat isu penting tentang fakta-fakta krisis pangan di Indonesia. Pada 9 Desember, disajikan liputan khusus ”Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi”; lalu pada 14 Desember mengenai ”Program Lumbung Pangan Berulang Kali Gagal”.
Sungguh ironi, bagaimana negeri yang sohor dengan kesan subur makmur kondisi pangannya malah tersungkur pada titik nadir? Jika Koes Plus dalam lirik lagunya, ”Kolam Susu” mendendangkan: “Bukan lautan hanya kolam susu/kail dan jala cukup menghidupimu/Tiada badai tiada topan, kau temui/ikan dan udang menghampiri dirimu/Orang bilang tanah kita tanah surga/tongkat kayu dan batu jadi tanaman/....” Justru nyatanya orang Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizinya?
Baca juga: Lebih Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi
Lirik tersebut seperti membangunkan kesadaran kita bahwa kesan negeri subur makmur tidak lebih dari imaji semu belaka. Di balik kesan subur makmur, rakyat tidak mendapatkan haknya untuk mengolah lahan dan mendapatkan manfaatnya. Masalah menjadi pelik ketika rakyat miskin tidak mampu membeli kebutuhan pangannya. Faktor itu jelas menjadi pemicu kualitas gizi yang rendah.
Hal tersebut memang merupakan fenomena kekinian dari kondisi pangan dan gizi bangsa ini. Namun, benih masalahnya sebenarnya sudah tertanam sejak masa sebelum kemerdekaan dan ternyata hal itu tidak dibenahi setelah Indonesia merdeka.
Baca juga: Kegagalan Berulang Lumbung Pangan

Sumber kesejahteraan hidup
Dalam tradisi silam masyarakat agraris dan maritim di Nusantara, tanah dan laut adalah sumber kehidupan sehari-hari. Itulah mengapa ”Tanah Air” kerap dikonotasikan sebagai istilah alternatif untuk menyebut Indonesia, karena dari kekayaan sumber daya hayati di tanah dan lautlah kebutuhan pangan rakyat pada masa lalu tercukupi secara subsisten.
Namun ketika kolonialisme bercokol sejak awal abad ke-19, ekploitasi terhadap tanah di negeri jajahannya makin masif. Pembukaan lahan-lahan perkebunan tanaman komoditas (kopi, teh, gula, dan tembakau) adalah orientasi dari Cultuurstelsel (1830-1870). Tenaga-tenaga kerjanya diambil secara paksa dari kalangan rakyat yang mayoritas bekerja sebagai petani.
Mereka terpaksa meninggalkan lahan-lahan pertaniannya. Lahan pertanian sebagai sumber pangan beralih fungsi dan terbengkalai. Sebuah laporan pada 1847 dari pengkritik Cultuurstelsel, Baron van Hoevell, menyebutkan rakyat Jawa dilanda kemiskinan, kelaparan, dan kematian sebagai dampak dari sistem tanam paksa ini.
Itulah mengapa Tanah Air kerap dikonotasikan sebagai istilah alternatif untuk menyebut Indonesia karena dari kekayaan sumber daya hayati di tanah dan lautlah kebutuhan pangan rakyat pada masa lalu tercukupi secara subsisten.
Pada 1902, pemerintah kolonial membangun Mindere Welvaart Commisie, sebuah komisi khusus yang mengurus masalah kesejahteraan rakyat. Tugas komisi ini meneliti sebab-sebab menurunnya kesejahteraan rakyat pribumi. Survei terkait kesejahtaraan hidup pribumi pun dilakukan, di antaranya kecukupan pangan, hak milik tanah, metode pertanian, irigasi, utang-piutang, sektor perikanan, serta sektor industri dan perdagangan dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka.
Laporan komisi itu menunjukkan tidak semua rakyat menurun kesejahteraannya. Ada pula yang mengalami peningkatan kesejahteraan sebagai hasil dari sistem pertanian yang diterapkan pemerintah kolonial. Laporan itu dikritik oleh para ahli yang menuding apa yang dilaporkan bertolak belakang dengan kenyataan.
Komisi itu terkesan memutihkan praktik eksploitasi ekonomi kolonial yang tidak manusiawi. Seorang anggota Dewan (Volksraad) bernama Albarda menyingkap fakta bahwa standar kehidupan menurun ketika jutaan orang berada dalam keadaan menyedihkan dan sering kali tanpa makanan.

Pasien gizi buruk dan campak berbaring di Aula Gereja GPPK Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu (24/1/2018).
Dalam kekuasaannya, kebijakan ekonomi kolonial Belanda cenderung terpusat di kawasan perkebunan. Adapun kawasan maritim yang memiliki kekayaan potensi hasil laut justru terbengkalai. Seorang ahli maritim Albert WCT Herre dalam publikasinya, ”Research on Fish and Fisheries in the Indo-Australian Archipelago (1945)”, mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang meminggirkan perhatiannya terhadap penelitian kekayaan potensi maritim Kepulauan Hindia.
Inilah yang pada masa pascakolonial membuat lesu dunia maritim dan memiskinkan kehidupan nelayan. Hal ini berdampak pada menurunnya tingkat konsumsi ikan di kalangan masyarakat Hindia. Padahal, Herre menyatakan bahwa dalam tradisi makan masyarakat di kepulauan Nusantara, ikan adalah konsumsi paling pokok dalam kehidupan sehari-hari.
Herre menegaskan akan pentingnya ikan sebagai bahan makanan pokok untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat Hindia: ”But the people must be properly fed if they are to be healthful, industrious, and contented. Money spent to improve their food resources, and to help them provide themselves with more and better food, will be wisely spent.”
Baca juga: Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal
Limbung di lumbung pangan
Dengan melihat permasalahan pangan masa kolonial, maka selepas kemerdekaan, Presiden Soekarno mengajak segenap rakyat Indonesia untuk mendukung kebijakan program pangan nasional yang menekankan pada diversifikasi pangan. Kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia harus dimanfaatkan secara maksimal dengan berbagai jenis potensi bahan pangan nabati dan hewani.
Sebagai bangsa yang baru merdeka, Soekarno memandang Indonesia perlu memenuhi sumber daya pangannya sebagai syarat untuk membangun jiwa dan badan bangsa. Sebab, sumber daya manusia yang berkualitas sehat adalah modal dasar untuk membangun negara bangsa. Dalam pidatonya ketika meresmikan gedung Fakultas Pertanian di Bogor pada 27 April 1952, Soekarno menegaskan, pangan adalah ”soal hidup-matinja bangsa kita di kemudian hari”.
Baca juga: Pangan Berkelanjutan Berbasis Lokalitas
Tingginya konsumsi rakyat terhadap beras menjadi target pemerintah untuk mengubah kebiasaan makan mereka menjadi lebih beragam dalam memilih bahan makanan. Program diversifikasi pangan yang digulirkan Soekarno memang ideal. Namun, di samping tidak stabilnya kondisi politik dan keamanan nasional pada dekade 1950-an, hal yang juga krusial dari permasalahan pangan pada masa itu adalah tidak sinerginya koordinasi antar-jawatan pemerintah dalam mengurus kebutuhan pangan nasional.
Pemerintah pun dihadapkan pada berbagai kritik. Misalnya, dalam artikel bertajuk ”Masalah Beras” di majalah Star Weekly terbitan 11 Juni 1955 disinggung perihal masalah pangan menjadi limbung karena banyak lahan pertanian yang rusak dan lemahnya strategi pangan. Kritik juga dilontarkan kepada pemerintah yang masih terus mengimpor beras dengan dalih demi memenuhi kebutuhan konsumsi rakyat; tetapi pada sisi lain banyak komoditas pangan lain (seperti jagung dan gaplek) malah diekspor ke luar negeri ketika rakyat membutuhkannya.

Masalah beras menjadi salah satu faktor yang membuat limbung program diversifikasi pangan masa Orde Lama. Masalah itu menjadi makin mencolok pada masa kekuasaan Orde Baru. Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, diversifikasi pangan makin tersisihkan oleh dominasi beras. Swasembada beras dijadikan sebagai indikator kemakmuran suatu daerah.
Hal ini tanpa disadari menjadi cikal bakal meluasnya konsumsi beras hingga ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak mengenal komoditas pangan ini sebagai bahan makanan pokok dalam budaya makan masyarakatnya. Kebijakan politik dan ekonomi Orde Baru juga begitu bebas membukakan pintu bagi para taipan untuk menjalankan bisnis mi instan berbasis terigu impor di mana sebelumnya masyarakat Indonesia tidak pernah menjadikan makanan olahan gandum ini sebagai bahan konsumsi massa.
Sudah dua dekade lebih sejak Reformasi bergulir, masyarakat ternyata belum mendapatkan hak mereka untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizinya.
Kelimbungan pangan dari masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru di negara yang sepatutnya merupakan lumbung pangan ini sebenarnya sudah dipikirkan oleh para pakar untuk dipecahkan masalahnya pada awal Reformasi. Saya jadi teringat dengan sebuah artikel ”Ancaman Otonomi Daerah bagi Derajat Kesehatan Rakyat” dari Prof Ascobat Gani dalam edisi akhir tahun Kompas pada 20 Desember 2000. Gani menyatakan agar reformasi hendaknya lebih berfokus pada kesehatan rakyat demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Paradigma yang menurutnya patut diusung dalam agenda otonomi daerah adalah menjadikan ”sehat sebagai hak asasi manusia” dan ”sehat sebagai investasi”. Menurut dia, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia disinyalir menjadi salah satu sebab maraknya budaya kekerasan dalam kehidupan masyarakat. Persis sekali dengan bunyi sebuah syair kuno dari penyair Jepang, Kenko Hoshi (1330 M): ”selama masyarakat diatur dengan buruk dan mereka menderita kelaparan, maka kejahatan tidak akan pernah hilang”.
Sudah dua dekade lebih sejak Reformasi bergulir, masyarakat ternyata belum mendapatkan hak mereka untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizinya. Pemerintah kini tengah mengusung food estate sebagai proyek lumbung pangan nasional.
Baca juga: ”Food Estate” dan Industri Pangan
Target proyek food estate banyak diragukan karena masalah kerawanan pangan dan gizi yang dihadapi bangsa ini sungguh nyata dan lebih kompleks. Itu terbukti dari makin masifnya alih fungsi lahan pangan, masih tingginya konsumsi beras dan terigu, harga komoditas pangan lokal kian mahal, laju industri makanan instan dan cepat saji makin tidak terkendali, serta rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pangan lokal dan konsumsi sehat.
Ucapan Soekarno 70 tahun silam bahwa pangan adalah ”soal hidup-matinja bangsa kita di kemudian hari menjadi semacam pertaruhan masa depan Indonesia. Hari yang dipertaruhkan itu seakan terasa ketika sekarang kelimbungan pangan serta gizi buruk ada di hadapan mata.
Perjalanan sejarah pangan dan gizi patut direfleksikan agar generasi bangsa ini memiliki daya hidup, bukan justru dibuat limbung apalagi mati di lumbung pangan sendiri.
Fadly Rahman, Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran Bandung

Fadly Rahman