Setelah Pesta Usai
Tak lama setelah pesta usai, dan para pemimpin kembali ke negara masing-masing mereka akan kembali ke kepentingan nasional dan kelompoknya. Di WTO, Indonesia kalah dalam gugatan UE terkait larangan ekspor bijih nikel.

Ilustrasi
Quiet when I'm coming home
and I'm on my own
I could lie, say I like it like that,
like it like that…
Billie Eilish, When the Party’s Over
Pertemuan Puncak (KTT) G20 ke-17 di Bali bulan November 2022, yang mengakhiri keketuaan Indonesia pada forum negara-negara ekonomi besar paling bergengsi ini, akan dikenang sebagai perhelatan yang paling heboh bagi negara- negara anggotanya.
Pada awal pembentukannya pada 1999, G20 dimaksudkan khusus untuk mengatasi krisis finansial global, dan secara relatif telah diakui keberhasilannya. Namun KTT G20 Bali diadakan di tengah krisis yang belum pernah ada presedennya (unprecedented). Krisis multidimensi sosio-ekonomi dan politik, (resesi ekonomi global, pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina) terjadi secara berbarengan.
Meskipun ada sejumlah kritik yang menyatakan bahwa kerja sama G20 menurun setelah krisis 2008-2009, tak dapat disangkal forum itu telah menjadi pusat jaringan pengaturan (governance) dan kerja sama global yang penting.
Keberhasilan G20 mengatasi krisis ekonomi dan finansial global, setelah G7 (kelompok tujuh negara kaya) tak mampu mengatasinya, tak lepas dari pendekatan kolaboratif yang melekat (inheren) pada forum terbesar di dunia ini.
Maka, dalam sambutannya pada Sesi I KTT G20 di Bali, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, paradigma dan semangat kolaborasi sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia.
Baca juga : Membangun Aksi Nyata Pasca-KTT G20
Paradigma kolaborasi
"Kita tidak punya pilihan lain. Paradigma kolaborasi sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia. Kita semua memiliki tanggung jawab, tidak hanya untuk masyarakat kita, tetapi juga untuk semua orang di dunia," ujar Jokowi.
Ditegaskan pula, “Bertanggung jawab berarti menghormati hukum internasional dan prinsip-prinsip Piagam PBB secara konsisten…juga berarti menciptakan situasi win-win, bukan zero-sum” (Kompas, 15 dan 16 November 2022).
Dengan semangat kolaborasi ini, G20 telah menjadi pusat tata kelola ekonomi internasional sejak KTT pertama di Washington pada November 2008.
Menurut J Luckhurst dalam buku G20 Since the Global Crisis (Springer, 2016), itu terjadi “karena efek strategis, ideational, dan politik dari krisis", serta postur forum G20 itu sendiri.
G20 telah meningkatkan perannya dan menjadi katalis reorganisasi tata kelola ekonomi global, dengan melibatkan negara-negara berkembang dalam manajemen ekonomi internasional secara multilateral.

Walakin, tetap saja G20 merupakan pengelompokan yang longgar (loose club). Para anggotanya menjalin kerja sama secara informal, atas dasar konsensual, sebagai bagian dari kelompok yang dipilih sendiri. Mereka disatukan lebih karena kepentingan bersama, ketimbang konvergensi politik normatif yang sifatnya umum.
Deklarasi Pemimpin (Leaders’ Declaration) G20 Bali, yang mengusung tema Recover Together, Recover Stronger, memang menegaskan komitmen untuk bekerja sama mengatasi masalah global yang serius. Namun, komitmen itu berkurang maknanya karena ketidakhadiran pemimpin Rusia, Vladimir Putin, yang dari awal sudah melihat kecenderungan negaranya akan jadi bulan-bulanan, karena isu perang Ukraina.
Ini juga menunjukkan bagaimana kuatnya sentimen atau kepentingan kelompok di atas kerja sama dan kolaborasi, yang justru hendak dikedepankan.
Mereka disatukan lebih karena kepentingan bersama, ketimbang konvergensi politik normatif yang sifatnya umum.
Kepentingan nasional vs kepentingan kelompok
Untuk isu-isu seperti resesi ekonomi global dan pandemi Covid-19, kesepakatan memang lebih mudah dapat dicapai. Bahkan untuk isu yang dianggap kontroversial dan mengundang perdebatan panjang dalam KTT Roma 2021, seperti transisi energi, semangat kompromi dan kolaborasi masih terasa di Bali.
Para pemimpin G20 menyepakati bahasa yang sama, yaitu komitmen “untuk mencapai 'net zero' emisi gas rumah kaca/netralitas karbon pada atau sekitar pertengahan abad, dengan tetap mempertimbangkan perkembangan ilmiah terbaru dan kondisi masing-masing negara yang berbeda (paragraf 11).
Namun, terkait agresi Rusia terhadap Ukraina, atas desakan negara-negara Barat, di dalam deklarasi digunakan bahasa yang keras, seperti “deplores in the strongest terms” (sangat amat menyesalkan) dan bahkan “strongly condemned” (mengutuk keras) (paragraf 3), meskipun rumusannya berasal dari resolusi PBB.
Hans Morgenthau, pakar hubungan internasional dari Realist School, dalam buku Couloumbis and Wolfe, Introduction to International Relations (Prentice Hall, 1978), sudah sejak lama menyatakan bahwa “strategi diplomasi harus lebih dilandasi oleh kepentingan nasional, ketimbang sekadar utopia dan kriteria moralistik, legalistik, dan ideologis yang berbahaya".

Lebih jauh, kepentingan kolektif tidak dapat dicapai secara abstrak dan ilmiah, karena hal itu melibatkan preferensi individu dan kelompok, yang biasanya subyektif dan pluralistik.
Dalam dunia yang pluralisme subyektif itu, kepentingan kolektif bisa disamakan dengan kehendak mayoritas (kelompok dominan), atas dasar isu per isu.
Perlu dipahami, Deklarasi Pemimpin Bali mulai dijajaki, dirancang, diformulasikan, didiskusikan, dinegosiasikan, dikompromikan dan akhirnya disahkan, begitu Indonesia resmi melaksanakan keketuaannya sejak 1 Desember 2021. Sebagai forum lintas benua, agenda G20 praktis mencakup semua isu global.
Dapat dibayangkan berapa banyak pertemuan, mulai dari tingkat kelompok kerja, pertemuan para pejabat senior, pertemuan tingkat menteri, hingga KTT, telah dilakukan. Semua itu berujung pada deklarasi 17 halaman terdiri, dari 52 paragraf, dengan lampiran (annex) sekitar 1.000 halaman.
Deklarasi dari sebuah perhelatan multilateral bukanlah dokumen sakral, yang isinya harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh negara anggotanya.
Deklarasi dari sebuah perhelatan multilateral bukanlah dokumen sakral, yang isinya harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh negara anggotanya. Deklarasi tidak lebih merupakan komitmen yang diharapkan menjadi pegangan (guidance) dalam melaksanakan kebijakan nasional dalam hubungan antar negara, agar sejalan dengan aspirasi bersama.
Padahal, kepentingan nasional setiap negara atau kelompok belum tentu sama, bisa berbeda, atau bahkan bisa bertentangan satu sama lain. Maka dari itu, sejumlah perhelatan multilateral berakhir tanpa mengeluarkan deklarasi, tetapi sekadar Chairman’s Statement, seperti KTT ASEAN 2016. Komitmen jelas bukanlah kewajiban.
Anak baik
Ketika perhelatan selesai dan para pemimpin kembali ke negara masing-masing, mereka akan kembali ke urusan kepentingan nasional dan kelompoknya.
Tak lama setelah pesta usai dan Indonesia menyerahkan tongkat kepemimpinan G20 kepada India, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif membeberkan, Indonesia kalah dalam gugatan Uni Eropa di Dispute Settlement Body Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), terkait larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020.

Keputusan itu merupakan hasil putusan panel WTO yang dicatat dalam sengketa nomor DS 592, dan laporan akhir panelnya sudah keluar pada 17 Oktober 2022. Dan kitapun tersentak.
Indonesia memang dikenal sebagai “anak baik”, bahkan “sangat baik” dalam dunia diplomasi internasional, khususnya di forum-forum multilateral.
Indonesia senantiasa terbuai dengan senyum dan kata-kata manis delegasi asing di perhelatan-perhelatan internasional, termasuk G20 yang baru lalu.
Indonesia juga sering terkesima dengan puji-pujian sebagai bangsa yang murah senyum dan ramah-tamah, bahkan murah hati ketika menjadi tuan rumah perhelatan internasional secara luar biasa, mulai dari yang kecil seperti ASEAN, hingga yang besar seperti G20, bahkan Gerakan Non Blok (GNB).
Pada akhirnya, yang tinggal negara atau kelompok negara itu sendiri, dengan masing-masing urusannya sendiri.
Pada akhirnya, yang tinggal negara atau kelompok negara itu sendiri, dengan masing-masing urusannya sendiri. Tahun depan akan ada pesta lagi.
Cuplikan lirik lagu Billie Eilish—penulis lagu dan penyanyi muda dan cantik berusia 23 tahun dari Amerika Serikat, pemenang Grammy Award 2020 dan Oscar 2022— di atas bisa menjadi pengingat. Seperti juga lagu penyanyi Irlandia, Paul Brady, berjudul serupa, After the Party’s Over, yang liriknya:
After the party's over
Can a love go on?
Can a love stay strong
When the dancers are drifting apart?
Kedua lagu itu pada dasarnya bermakna … setelah pesta usai, kita kembali pada urusan masing-masing, dan selebihnya hanya bumbu pemanis dan basa-basi belaka.
Dian Wirengjurit Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional

Dian Wirengjurit