Setiap kejutan harus dapat memberi harapan akan hadirnya berbagai pilihan akan pemaknaan. Berbagai kejutan yang terjadi hingga final Piala Dunia mengajarkan kita untuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik.
Oleh
AGUSTINUS GR DASION
·5 menit baca
Final Piala Dunia kali ini memang ”gila”. Argentina keluar sebagai pemenang dalam pertandingan yang sangat menegangkan. Benar kata Sindhunata dalam tulisannya (Kompas, 18/12/22), ”Cinta akan bola bagaikan cinta akan hidup. Ia tidak hanya berhenti pada akalnya. Emosi terkuras, ia tak dapat dimengerti, mengapa bola terasa makin menuntut untuk memertaruhkan hidupnya”.
Jantung para fans Argentina seakan hampir copot ketika Mbappe menjawab keraguan para fans dengan mencetak dua gol dalam waktu kurang dari lima menit. Argentina membalas memberi tekanan ketika gol Messi kembali memberi harapan kemenangan tanpa babak adu penalti. Namun tim ”Ayam Jantan” tetap merupakan juara bertahan yang punya mental juara. Gol ketiga Mbappe semakin menegaskan bahwa bola adalah sebuah ketidakpastian. Sebab jika pasti, dia tidak harus dibayar dengan emosi, tawa, dan air mata.
Kejutan demi kejutan pun berakhir di Lusail. Kejutan awal ketika tim ”Tango” kalah dari Arab Saudi telah ”dibalas” begitu indah dengan membawa pulang piala. Kejutan lain, ketika Jepang mengalahkan tim kuat Jerman dan Korea Selatan mengalahkan Spanyol, tetap menjadi kisah indah Piala Dunia 2022. Ada juga Maroko yang datang sebagai kuda hitam menyingkirkan Spanyol dan Portugal, walau harus ”bersujud” di bawah tim ”Ayam Jago”, Perancis, tetap menjadi catatan tersendiri.
Di luar lapangan, kejutan pun tidak kalah menarik. Di pusat kota Doha, para suporter merayakan kemenangan sekaligus ”meratapi” kekalahan tim yang mereka dukung. Ekspresi fanatisme bola hadir lewat berbagai kostum yang digunakan, yel-yel unik, juga berbagai diskursus perjuangan yang ditampilkan para suporter, mulai dari isu perempuan, LGBT, hingga isu-isu politik lainnya telah menjadi ”bumbu pemanis” Piala Dunia 2022. Beberapa spanduk bertulis ”Woman Life Freedom”, ”Mahsa Amini”, dan berbagai diskursus lain menambah warna Piala Dunia tahun ini.
Di sisi lain, ekspresi kekalahan dengan cara berbeda dari pelatih dan pemain Jepang merupakan ”kejutan” tersendiri. Gestur membungkukkan badan yang dilakukan pelatih Jepang dan para pemainnya menjadi catatan tersendiri tentang makna sebuah perjuangan. Tidak hanya itu, habitus suporter Jepang yang membersihkan tribune penonton menjadi sebuah ”masterpiece” peradaban tentang bagaimana menerima kekalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sebuah pertandingan.
Tulisan ini tidak sedang membangun kembali narasi soft power masyarakat Jepang. Diskursus ini fokus untuk memberi ruang narasi pada kehadiran variasi pilihan, yang saya sebut sebagai ”jalan ketiga”, untuk hadir pada setiap pemaknaan tanda. Bahwa setiap tanda tidak harus dimaknai tunggal. Setiap kejutan harus dapat memberi harapan akan hadirnya berbagai pilihan akan pemaknaan. Berbagai kejutan yang terjadi hingga final Piala Dunia mengajarkan kita untuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik.
”Jalan ketiga” sebagai cara berada
Jalan ketiga tidak sedang menjelaskan hadirnya satu cara lain, selain dua acara yang telah ditawarkan dalam pemaknaan tanda. Struktur berpikir masyarakat sering dipengaruhi oleh konsep oposisi biner, yang dimengerti secara salah.
Konsep oposisi biner menjelaskan adanya sistem pemaknaan yang membelah pemaknaan masyarakat dalam dua konsep kategori yang saling berelasi. Di dalamnya, sesuatu dimasukkan ke dalam kategori X atau Y, kemudian menciptakan makna masing-masing yang beroposisi satu dengan yang lain.
Dalam sepak bola, misalnya, realitas menang-kalah pada akhirnya hanya memberi makna gembira untuk yang menang dan kecewa untuk yang kalah.
Sistem pemaknaan dikotomik menjebak setiap orang untuk masuk dan ”terpaksa” memilih satu ”aktus” dan tidak pada yang lain, atau sebaliknya. Konsekuensinya adalah pilihan yang satu meniadakan yang lain. Dalam sepak bola, misalnya, realitas menang-kalah pada akhirnya hanya memberi makna gembira untuk yang menang dan kecewa untuk yang kalah. Artinya, menang (gembira) meniadakan kalah (kecewa).
Di ranah politik, misalnya, almarhum Prof Cornelys Lay dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM tahun 2019 membuka diskursus tentang jalan ketiga dalam kekuasaan sebagai alat perjuangan kemanusiaan, bukan sebagai tujuan. Prof Lay menjelaskan bahwa intelektual di Indonesia terjebak pada dua pilihan yang saling meniadakan, yakni pilihan untuk mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan atau sebaliknya.
Ia menawarkan jalan ketiga, yang bagi saya merupakan sebuah ”proyek” emansipatoris intelektualnya. Proyek ini menjadi menarik sebab ia menjelaskan bahwa tujuan utama politik harus tertuju pada aspek kemanusiaan.
Realitas Indonesia dan jalan ketiga
Upaya membangun narasi baru tentang jalan ketiga dan menjadikannya sebagai habitus merupakan sebuah urgensi. Banyak masalah sosial yang timbul karena ketiadaan pilihan dalam menghadapi sebuah realitas oposisi biner.
Dalam diskursus oposisi biner, kita tidak sedang menciptakan kategori skandal (anomalous category), dalam kacamata Levi-Strauss, yakni posisi ambigu yang akan mengganggu batas-batas makna setiap realitas. Yang kita butuhkan adalah bagaimana menciptakan variasi pemaknaan sebanyak mungkin terhadap setiap diksi oposisi biner.
Kisruh sepak bola di Indonesia banyak disebabkan oleh pemaknaan tunggal terhadap setiap tanda. Artinya, menang pada akhirnya menciptakan sukacita dan euforia, sedangkan kalah langsung merujuk pada tangis penyesalan dan ketidakpuasan.
Opsi antara dua posisi ini (menang-kalah) sangat terbatas. Ketiadaan jalan ketiga menjadi hal yang harus menjadi catatan bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Yang dibutuhkan adalah ketersediaan ragam pilihan pemaknaan akan realitas sebuah pertandingan bola.
Membangun konsep jalan ketiga tidak bisa sekali jadi. Butuh ketulusan untuk kembali menciptakan struktur berpikir yang etis dari para pemangku kepentingan. Struktur yang etis hadir dari kemauan setiap aktor untuk mulai berbenah dan membangun sistem kehidupan publik yang baik.
Kita butuh belajar dari kerendahan hati timnas Perancis menerima kekalahan. Kita patut belajar dari pemain dan suporter Jepang. Semakin banyak variasi pilihan, semakin baik pula pemaknaan kita akan setiap realitas.
Selamat sekali lagi untuk Argentina, dan terima kasih Perancis. Terima kasih Qatar. Setiap kejutan telah memberi catatan untuk kehidupan bersama yang lebih baik.
Agustinus GR Dasion, Dosen Sosiologi Universitas Trunojoyo, Madura