Tubuh bukan saja yang kentara—lapisan terluar—melainkan tubuh secara viseral, yang mendalam dan puitis. Satu-satunya cara untuk mengetahui diri adalah dengan menyelisik ke dalam pengalaman tubuh sendiri.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
Ada yang membuat diri terlena, kala merenungkan bahwa berbagai hal di alam ini bergerak dan bertumbuh dalam pola spiral. Konfigurasi spiral tersebar di dunia ini, kita dapat melihatnya di mahkota bunga matahari, ular yang melilit, struktur DNA, begitu juga Bimasakti ini tergolong sebagai galaksi spiral. Gerakan spiral dapat menghipnotis kesadaran, sekali waktu saya melihat puting beliung bergulung-gulung di kejauhan, itu menjadi momen hidup dan mati yang sukar dilupakan. Gagasan memercik bertubi-tubi pada saat menyaksikan pementasan tari bertajuk ”Spiral” karya seorang koreografer muda bernama Josh Marcy. Dua penari, lelaki dan perempuan, mengenakan kostum monokrom yang meresap bersama warna kulit mereka, bergerak bersilir-silir, seolah-olah roh angin menjelma dalam tubuh mereka, berputar-putar terhubung satu dengan yang lainnya.
Karya koreografi Spiral, menyadarkan saya bahwa, meski sepanjang masa studi filsafat yang saya gumuli telah membongkar soal tubuh dan kesadaran, nyatanya, banyak pandangan baru tentang tubuh yang layak dikontemplasikan. Tertuang dalam Yoga Kundalini Upanisad, filosofi yang menguraikan tentang energi di dalam tubuh. Kundalini dapat dimaknai seperti gelungan ular yang terpendam di dalam tubuh manusia. Keyakinan dari penganut Tantra adalah, dengan cara melatih pernapasan, mengolah kesadaran dalam tubuh, maka seseorang dapat menyalakan Kundalini di dalam dirinya. Teks Yoga Kundalini Upanisad membahas lapisan-lapisan tubuh, dan bagaimana cara-cara memantik energi besar dalam tubuh. Salah satu ajaran kunci dalam Yoga Kundalini adalah mengenai Chakra, yakni kepercayaan bahwa terdapat titik-titik vital yang tersusun dalam tubuh. Sarira—kata dalam bahasa Sanskerta yang berarti tubuh, dalam pengertian ini, adalah persentuhan antara Stula Sarira atau tubuh fisik yang tampak di permukaan dengan Sukma Sarira bagian lapisan tubuh yang halus.
Dalam percakapan filsafat, saya sering merasa terperangkap dalam pandangan yang membedakan raga dan roh, materi dan spirit. Penghayatan melalui seni tari, membantu saya mengikis prasangka itu. Tubuh, bukan saja yang kentara—lapisan terluar—melainkan tubuh secara viseral, yang mendalam dan puitis. Melalui kreasi sang penata tari, kita diajak menikmati tubuh yang berputar-putar hingga seakan-akan setiap insan yang menyaksikan terhisap ke dalam kisaran tubuhnya. Melalui karya tari yang berjudul ”Kulit yang Tersembunyi”, Josh Marcy menyoal tepian lain dari tubuh. Pertunjukan tari itu menampilkan seorang penari yang berbalut kain bertekstur gerigi berwarna merah, ia menyeruak dari kegelapan. Warna merah itu cetusan tentang apa yang ada di balik kulit; darah, daging, jantung, tetapi sekaligus tubuh yang erotik, syahdu, nan rapuh. Diiringi musik yang kental oleh pengaruh Giovanni Pierluigi de Palestrina seorang komposer masa Renaisans, penari itu tampak bergelut dengan kain yang menyelubunginya seperti selaput. Perlahan selepas menanggalkan kain merah itu, dengan bertelanjang dada, ia menari terbebas berjalan menuju cahaya.
Tarian itu menghantui siang dan malam saya, lebih daripada perihal ketelanjangan semata, tetapi soal langkanya pengetahuan kita belakangan ini tentang tubuh yang indah menari dengan bebas. Saya mencermati bagaimana tubuh saat ini dikuasai oleh penghakiman, pendisiplinan, dan pengaturan. Tubuh selalu direndahkan, bahkan tubuh yang sesungguhnya plural, dikendalikan dalam penyeragaman. Sementara itu tubuh yang marjinal dieksploitasi, dan disengsarakan dengan kekerasan. Fakta penyingkiran terhadap tubuh tidak lepas pula dari kebiasaan kultural, pandangan sempit dalam norma sosial dan agama. Upaya penciptaan spasialitas baru melalui seni tari kontemporer, membuka ruang alternatif perjumpaan antar-tubuh yang diliputi dengan afeksi. Kesadaran spasial ini tidak lain lagi adalah persilangan antar-tubuh, yang menegaskan kebutuhan tubuh akan keintiman, penerimaan dan rasa kepedulian. Inilah yang dimungkinkan oleh komunitas tari Dansity, trio Yola Yulfianti, Siko Setyanto, dan Josh Marcy merupakan penari dan koreografer yang mendamba ruang lapang bagi tubuh untuk terus mencipta.
Mengapa tabu membicarakan kegairahan tubuh? Tubuh selalu dicurigai dan kenikmatan tubuh acapkali dianggap sebagai yang menyesatkan. Sembari tersiram dalam pertunjukan tari itu, saya terngiang tulisan seorang penyair perempuan bernama Audre Lorde, ia mengatakan, ”Yang erotis sebagai kekuatan.” Ia menguraikan bahwa yang erotik adalah energi kreatif yang semestinya dapat menjalar dalam segala sisi kehidupan. Erotika bagi Audre Lorde adalah kecintaan yang jujur, nuraga yang melestarikan tubuh-tubuh yang lainnya. Karya esai ini memang protes Audre Lorde melihat tubuh yang terus menerus dijajah dan ditundukkan oleh rasisme dan seksisme. Yang erotik ia gunakan demi memahami sisi liar serta kerinduan tubuh terhadap kebebasan dan keadilan.
Sebagai penutup, saya ingin menyelami lagi salah satu tujuan dari berfilsafat, yakni refleksi terhadap keberadaan diri, ”kenalilah dirimu sendiri”. Namun, alangkah timpangnya jika dalam pengejaran itu, soal tubuh selalu dikesampingkan terlebih lagi dibenci. Tidakkah satu-satunya cara untuk mengetahui diri adalah dengan menyelisik ke dalam pengalaman tubuh sendiri.
Saras Dewi, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia