Jalinan erat kota dan agama telah tercipta sejak beribu tahun silam. Di masa modern ini, mempromosikan kesetaraan terkait keyakinan dan peran positif agama menjadi kunci kehidupan perkotaan yang baik.
Oleh
NELI TRIANA
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Neli Triana, wartawan Kompas
Dari Candi Borobudur di era Kerajaan Mataram Kuno hingga Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta. Ketiganya sekelumit bukti bahwa sistem kepercayaan selama berabad-abad begitu kuat memengaruhi peradaban urban.
Di tataran global, sekitar 6.000 tahun lalu di antara Sungai Tigris dan Eufrat, peradaban urban Mesopotamia lahir dan berkembang. Tak lagi sekadar berkutat pada pertanian yang menjadi salah satu ciri budaya kota, ilmu pengetahuan dan sistem kepercayaan atau agama kental mewarnai peradaban urban kuno yang memengaruhi tata ruang kawasan hingga sistem pemerintahan di kawasan yang kini bagian dari Irak, Kuwait, dan Syria tersebut.
Jejak serupa ditemukan di Mahenjodaro dan Harappa di India yang sedikit lebih muda usianya dibanding Mesopotamia. Di situs berusia sekitar 11.000 tahun lalu, yaitu Göbekli Tepe di Anatolia, Turki, pun telah terendus kelindan erat antara sistem kepercayaan dan perkembangan kawasan itu sebagai kota awal berbasis pertanian kompleks setelah era berburu dan meramu.
Dari Göbekli Tepe hingga di masa modern ini, tempat ibadah menjadi penanda penting peradaban besar. Tempat ibadah berupa altar pemujaan, gedung, maupun bangunan khusus seperti kuil sampai yang kita kenal sampai saat ini, seperti gereja, masjid, pura, juga vihara selalu menjadi salah satu fasilitas terpenting di setiap kota.
Pembangunan tempat ibadah itu tak pernah main-main. Rata-rata terletak di lokasi terbaik di tengah kota atau komunitas pemeluknya. Bahan terpilih tak lekang dimakan usia serta ukurannya yang lebih masif dan menonjol dibanding rata-rata bangunan lain. Tempat ibadah utama biasanya juga tak jauh dari kompleks gedung kerajaan atau pemerintahan.
Di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kota Surakarta di Jawa Tengah, misalnya, keraton tempat raja tinggal tak jauh dari lokasi Masjid Agung. Riset arkeolog Agus Aris Munandar menunjukkan, tata ruang di kerajaan Islam itu masih kental dipengaruhi era Hindu-Budha. Selain keraton dan masjid, ada pasar, alun-alun, permukiman hingga tempat pemandian yang masing-masing tak sekadar fungsional tetapi juga mewakili relasi manusia dan kuasa alam.
Banyaknya orang dan komunitas serta sifat dinamis kota menghasilkan, antara lain, inovasi baru, penyebaran pengaruh, dan meningkatnya pilihan di bidang kepercayaan.
Henrietta Grönlund, profesor teologi perkotaan di Fakultas Teologi, Universitas Helsinki, Finlandia, menyatakan lingkungan perkotaan memengaruhi manifestasi agama. Dari peradaban kuno sampai saat ini, diketahui hampir di semua kota besar tak hanya dihuni oleh masyarakat penganut agama mayoritas. Banyaknya orang dan komunitas serta sifat dinamis kota menghasilkan, antara lain, inovasi baru, penyebaran pengaruh, dan meningkatnya pilihan di bidang kepercayaan.
Peran agama dan kepercayaan amat besar pada tumbuh dan berkembangnya kota. Hal ini diantaranya karena agama dan kepercayaan selalu mengajarkan sekaligus mengajak pengikutnya agar memiliki harapan baik serta berperilaku saling membantu, menjadi modal komunitas untuk bersama-sama menjadi lebih baik di dunia maupun di alam lain setelah kehidupan kelak. Di masa sulit, agama dengan mudah menjadi tempat memupuk asa dan menjadi acuan untuk memperbaiki fungsi individu maupun kelompok yang jauh lebih besar.
Terowongan Silaturahmi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (27/8/2021).
Menurut Grönlund, agama dan kepercayaan memengaruhi keputusan dan tindakan sehari-hari orang, sementara organisasi dengan latar belakang agama dan motif yang terkait dengan keyakinan memegang peran-peran kunci dalam dinamika kota.
Nilai dan norma yang terkait dengan kepercayaan masyarakat dan komunitas membentuk kehidupan dan aktivitas di kota. Karena terkait dengan kepercayaan yang sebenarnya sangat bersifat personal, tak heran jika di tengah dominasi agama tertentu di suatu kawasan tetap ada penganut agama maupun kepercayaan yang berbeda. Terlebih kota pada dasarnya adalah hub tempat bertemu dan berkumpulnya orang dari berbagai daerah maupun bangsa lain yang membawa pengaruh budaya asal masing-masing.
Di sisi lain, tak dipungkiri jika agama dan kepercayaan kerap digunakan bagi pihak tertentu termasuk penguasa, untuk melindungi kepentingannya sendiri. Hal ini kemudian menggiring munculnya berbagai persoalan dan ketegangan antarumat beragama maupun antarkeyakinan yang berbeda. Perang besar atas nama membela agama terjadi di era sebelum masehi sampai masa modern ini. Peradaban besar dapat runtuh hanya karena pertikaian atas nama agama yang seringkali dijadikan topeng dari nafsu kekuasaan.
Belajar dari begitu banyak bukti sejarah masa lalu, ketegangan antarumat beragama di masa modern ini seharusnya dapat terus dikikis demi keselamatan seisi dunia yang makin tak terpisahkan karena kemajuan zaman maupun teknologi. Penolakan sampai pelarangan pembangunan tempat ibadah juga terorisme atas nama agama, misalnya, semestinya tidak lagi menjadi isu panas yang terus berulang memakan korban.
Untuk mencapainya, menurut Grönlund perlu banyak penelitian untuk meningkatkan pemahaman yang dapat dimanfaatkan dalam mempromosikan kesetaraan terkait keyakinan dan peran positif agama dalam kehidupan perkotaan yang baik.
Kota-kota di Indonesia sepertinya masih harus banyak belajar seperti saran Grönlund. Di akhir tahun 2022 ini, mengapa tidak memasukkan hal tersebut sebagai resolusi di tahun baru nanti?