Perempuan, Kesetaraan, dan Pertumbuhan Ekonomi
Kian terbukanya aksesibilitas bagi perempuan ke sumber daya ekonomi akan menjamin terangkatnya derajat perempuan. Hal itu juga untuk menjaga resiliensi, pemulihan, pemerataan hingga pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Ilustrasi
Jauh sejak sebelum proklamasi kemerdekaan RI, perempuan Indonesia sudah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan. Bagaimana dengan peran mereka dalam aktivitas perekonomian?
Pada Kongres Perempuan pertama, 22-26 Desember 1928 di Yogyakarta—yang sekaligus sebagai patokan peringatan Hari Ibu—dirumuskan sebagai berikut.
”Zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum.”
Pernyataan liberatif itu menegaskan, kian terbukanya aksesibilitas bagi perempuan ke sumber daya ekonomi akan menjamin terangkatnya derajat perempuan. Ihwal itu penting untuk menjaga resiliensi, pemulihan, pemerataan hingga pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Dalam konteks itu, peran perempuan bisa dilihat sejauh mana aktivitas mereka dalam setiap kategori ekonomi.
Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Memajukan Ekonomi Global
Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Wirausaha Bisa Signifikan Dorong Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi
Beberapa lembaga keuangan internasional dan domestik memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 tak jauh dari angka 5 persen. Demikian pula untuk 2023.
Ini artinya, angka itu relatif stabil di tengah mendungnya pertumbuhan ekonomi global.
Pertanyaannya, bagaimana kontribusi kaum perempuan dalam menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional ke depan? Dalam diktum pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi selalu dikaitkan dengan kenaikan nilai dan jumlah produksi barang atau jasa dalam kurun waktu tertentu.
Maka, komponen pengukur pertumbuhan ekonomi adalah produk nasional bruto (PNB) atau produk domestik bruto (PDB), yang merujuk pada data resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang bersifat unreported economy tentu tidak tercakup, termasuk di sini aktivitas shadow economy.
Padahal, berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), shadow economy diperkirakan menyumbang 8,3-10 persen dari PDB (2021).

Kelompok perempuan Sumber Makmur di Desa Dundang, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, mengikuti pelatihan pembuatan kemasan keripik dari umbi-umbian yang didukung oleh Wahid Foundation dan UN Women, Sabtu (7/10). Kelompok yang berdiri sejak tahun 2000 ini telah memulai usahanya dengan biaya sendiri demi perbaikan ekonomi keluarga.
Sayang sekali, aktivitas ekonomi perempuan, banyak yang masuk dalam kategori unreported economy, seperti usaha kaki lima, pembantu rumah tangga, buruh, kuli, petani, nelayan, dan lainnya. Belum ada data resmi, berapa jumlah perempuan di usaha ultramikro seperti itu.
Namun, mengonfirmasi BRI Research Institute (2021), ada 45 juta pelaku usaha ultramikro di Indonesia. Sebanyak 30 juta di antaranya belum tersentuh layanan keuangan formal.
Besarnya jumlah perempuan dalam usaha ultramikro itu menjadi kekuatan aktual jika mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara inklusif. Mereka perlu dioptimalkan seperti usulan riset Yaron, Yacob, Benjamin, dan Piprek (1997), dengan pendekatan formal dan informal.
Pendekatan formal dilakukan dengan kebijakan afirmatif dan mendampingi usaha perempuan melalui wadah resmi. Hal itu, misalnya, melalui lembaga keuangan, koperasi, jaminan dan perlindungan usaha, aksesibilitas, dan lainnya. Sementara pendekatan informal, mendampingi dengan basis nilai dan norma yang sudah lama hidup di masyarakat, seperti gotong royong, keguyuban, sanksi sosial, dan lainnya.
Besarnya jumlah perempuan dalam usaha ultramikro itu menjadi kekuatan aktual jika mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara inklusif.
Kesetaraan perempuan
Ada tiga penghela pertumbuhan ekonomi saat ini, yakni konsumsi, investasi, dan ekspor. Dalam komposisi konsumsi, tergambar pemantik utamanya, yakni kelas ekonomi menengah. Untuk investasi, merujuk data BKPM, pemantik utamanya industri manufaktur.
Sementara ekspor, mencatat sektor ekstraktif atau sektor berbasis sumber daya alam, seperti batubara, minyak sawit mentah (CPO), minyak mentah. timah, nikel; masih mendominasi dan bergerak signifikan.
Pertumbuhan tiga komponen tersebut tidak akan bergerak kuat, inklusif dan berkesinambungan, jika partisipasi perempuan juga hanya bergerak minimalis.
Tidak mengherankan, jika dalam kegiatan pendukung (side event) KTT G20 di Bali pada November lalu, seminar internasional tentang ”Transformasi Digital Inklusi Keuangan Perempuan, Anak Muda, dan SMEs untuk Mempromosikan Pertumbuhan Inklusif” merekomendasikan agar kokohnya resiliensi perempuan, terutama pada basis ekonomi masyarakat termarjinalkan, menjadi fondasi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi berkualitas ke depan.
Bahkan, usaha berbasis daring (internet) menjadi peluang yang bisa mendorong perempuan mengembangkan usaha di tengah transisi usaha global ke ekonomi digital.

Peserta kegiatan bertemakan "Berbagi Praktik Terbaik Tentang Pemberdayaan Ekonomi Perempuan" berfoto bersama seusai acara pembukaan. Acara diadakan Kementerian Sekretariat Negara bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Indonesia South-South Cooperation, dan Colombo Plan di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Senin (16/9/2019).
Apalagi, sejumlah riset menunjukkan 54 persen UMKM perempuan memakai internet, lebih besar dari pria yang hanya sekitar 39 persen. Perempuan dinilai lebih proaktif dalam mengambil langkah mengembangkan produk secara sektor, lokasi, dan jenis barang.
Rekomendasi itu sejalan dengan hasil riset Danareksa (2021) yang menemukan fakta adanya peningkatan akses perempuan ke sektor jasa keuangan, termasuk teknologi finansial/tekfin (financial technology/fintech). Perempuan yang memiliki produk keuangan pada 2020 mencapai 75,19 persen, meningkat 8,99 persen dari tahun 2016 yang sebesar 66,20 persen.
Riset itu juga mengabarkan, peranan perempuan dalam perekonomian yang meningkat juga ditopang oleh ketimpangan jender yang semakin mengecil. Kesetaraan jender di Indonesia semakin membaik, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang juga terus meningkat.
Riset itu juga mengabarkan, peranan perempuan dalam perekonomian yang meningkat juga ditopang oleh ketimpangan jender yang semakin mengecil.
Isu utama
Country Gender Assessment (CGA) yang dibuat Bank Dunia pada 2020, dalam Program Riset dan Analitis Kesetaraan Jender untuk Pertumbuhan Ekonomi, juga memberikan gambaran luas tentang kondisi kesetaraan jender dan pelbagai isu terkait perempuan.
Beberapa isu utama mengemuka. Pertama, Indonesia secara aktif berupaya meningkatkan daya saing dan menciptakan lapangan kerja melalui pelbagai kebijakan dan program pasar tenaga kerja.
Banyak program seperti itu bergerak bias, mengarah kepada pembedaan jenis kelamin dalam pekerjaan yang memicu perempuan digiring ke arah pekerjaan-pekerjaan dengan produktivitas dan tingkat upah yang lebih rendah.
Kedua, karena Indonesia sedang menjalani transisi menuju ke lebih banyak pekerjaan kelas menengah dan pertumbuhan yang lebih besar di bidang manufaktur dan jasa, hubungan antara pekerjaan dengan perawatan keluarga semakin mengemuka sebagai kendala jender.
Analisis Bank Dunia menyoroti tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan yang berdampak pada keluarga yang memiliki anak, terutama yang dibebankan kepada perempuan. Guna memenuhi kebutuhan perawatan itu, banyak perempuan keluar dari pasar tenaga kerja dan sebagian besar dari mereka kembali lagi menjadi pengusaha skala ultramikro atau pekerja mandiri.

Diskusi Pemberdayaan Perempuan untuk Percepatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia, Rabu (17/10/2018) di Jakarta.
Ketiga, perempuan menguasai usaha ultramikro. Menurut studi International Finance Corporation (IFC) yang merupakan lembaga di bawah Bank Dunia, ada 15 persen perempuan Indonesia yang memiliki usaha ultramikro, mikro, dan kecil, memiliki ”cita-cita pertumbuhan yang tinggi” dibandingkan dengan angka yang hanya 5 persen.
Banyak dari cita-cita pertumbuhan ini terhambat oleh akses yang lebih rendah terhadap kredit dan pasar, dibandingkan usaha yang dimiliki laki-laki. Membuka layanan keuangan mikro menjadi sangat penting untuk mendorong kewirausahaan perempuan.
Dengan adanya modalitas dan hambatan akses perempuan seperti itu, pendekatan kelembagaan formal dan informal menjadi solusi.
Selain itu, perlu pendekatan pendampingan dan formalisasi posisi perempuan dalam pasar tenaga kerja (Kabeer, 1999). Dalam pendekatan kelembagaan, kegiatan ekonomi perempuan perlu diwadahi oleh lembaga keuangan mikro formal.
Lembaga ini memiliki fleksibilitas dalam menjangkau masyarakat marjinal, dibanding lembaga keuangan lainnya.
Salah satunya, dengan memanfaatkan modal sosial berbasis pendekatan kelompok sebagai pengganti kolateral. Solusi ini tentu mampu
mengangkat derajat kaum perempuan di tingkat akar rumput.
Akhirnya, selamat Hari Ibu ke-94 dalam tema tahun ini: ”Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”.
Mukhaer PakkannaRektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta

Mukhaer Pakkanna