Kondisi global demokrasi boleh saja mengalami kemerosotan. Namun, demokrasi Indonesia harus tetap bisa menjadi contoh yang bersinar dalam situasi demokrasi dunia yang tidak menggembirakan sekarang ini.
Oleh
Rizal Sukma
Β·4 menit baca
Belakangan ini, nasib demokrasi kerap menjadi bahan perbincangan dan sumber keprihatinan banyak pihak. Di seluruh dunia, demokrasi dinilai sedang mengalami kemunduran (decline). Menurut Economist Intelligence Unit (EIU), saat ini demokrasi sedang berada pada titik terendah sejak tahun 2006 (The State of Global Democracy, 2022).
Banyak negara, yang tadinya sedang dalam proses transisi maupun konsolidasi demokrasi, alih-alih menjadi demokrasi sepenuhnya (full democracy), kini malah mengalami stagnasi atau bahkan regresi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi sedang mengalami krisis.
Keresahan para ilmuwan politik mengenai persoalan ini, antara lain tecermin dalam judul-judul buku yang mengesankan kondisi demokrasi yang sedang suram. Misalnya, How Democracy Ends (Runciman, 2018), How Democracies Die (Levitsky & Ziblatt, 2018), Backsliding: Democratic Regress in the Contemporary World (Haggard and Kaufman, 2021), dan Democratic Deconsolidation in Southeast Asia (Mietzner, 2021). Studi-studi itu menunjukkan bahwa kemerosotan demokrasi juga terjadi di negara-negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat (AS).
Keresahan juga tampak nyata di kalangan pendukung dan pejuang demokrasi, khususnya di kalangan masyarakat sipil (civil society). Berbagai kritik dialamatkan pada menguatnya kecenderungan semangat otoritarianisme, menyempitnya civic space, menurunnya toleransi negara terhadap sikap kritis dan kritik, serta dorongan untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan hukum secara diskriminatif (rule by law) dan bukan berdasarkan hukum (rule of law). Berbagai evaluasi mengenai keadaan demokrasi saat ini juga menunjukkan bahwa masalah di atas sedang melanda banyak negara demokratis.
Indonesia, yang kerap memandang dirinya sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, juga dihadapkan pada masalah merosotnya demokrasi ini. Masyarakat sipil Indonesia, misalnya, mengkritik keras sejumlah perkembangan yang dinilai dapat melemahkan demokrasi, seperti wacana memperpanjang masa jabatan Presiden, tingginya kasus korupsi yang melibatkan para politisi dan pejabat pemerintahan, disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai membatasi hak-hak warga atau tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, dan berbagai masalah serius yang menjerat lembaga dan aparat penegak hukum.
Sekarang ini, dinamika yang muncul terkait penetapan partai-partai politik peserta Pemilu 2024 dapat menjadi persoalan serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. Sejumlah tuduhan dialamatkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat yang dinilai tidak jujur dalam melakukan verifikasi partai politik. Pemilu yang bebas, adil, dan jujur adalah pilar demokrasi terpenting.
Oleh karena itu, integritas penyelenggara pemilu sangat penting artinya bagi terjaganya kepercayaan publik terhadap demokrasi. Jika penyelenggara pemilu dianggap tidak lagi amanah dalam menjalankan tugasnya, hal itu akan menurunkan kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Kalau ini terjadi, masa depan demokrasi di Indonesia akan semakin suram.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua KPU Hasyim Asyari dan para perwakilan pimpinan partai politik peserta Pemilu 2024 beserta plakat npmor urutnya dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Demokrasi Indonesia sudah barang tentu tidak sempurna. Namun, Indonesia selama ini dipandang sebagai contoh yang cukup berhasil dalam menjalani proses transisi ke konsolidasi demokrasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Indonesia juga dipandang sebagai negara yang menggugurkan tesis keliru yang mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa berkembang dalam masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil membuktikan bahwa Islam dan demokrasi adalah assets, bukan liabilities. Namun, karakteristik demikian mulai jarang kita dengar. Pembicaraan mengenai demokratisasi Indonesia belakangan ini mulai diwarnai oleh narasi mengenai stagnasi, regresi, autokratisasi, re-otoritarianisasi dan sejumlah predikat kemunduran demokrasi lainnya.
Jadi, berbagai capaian demokratisasi selama ini wajib dipertahankan dan konsolidasi demokrasi harus tetap menjadi agenda utama dalam pembangunan politik Indonesia. Untuk itu, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Semua pihak, misalnya, harus menghentikan berbagai usulan dan wacana yang dapat merusak fondasi demokrasi. Semua pihak perlu menyadari dan meyakini bahwa demokrasi adalah sistem yang sesuai bagi Indonesia yang pluralistik.
Partai politik perlu mencari solusi untuk mencegah money politics dalam pemilu. Pemerintah perlu menyadari bahwa civil society yang vibrant dan media yang independen adalah prasyarat penting bagi kelangsungan demokrasi.
Kondisi global demokrasi boleh saja mengalami kemerosotan. Namun, demokrasi Indonesia harus tetap bisa menjadi contoh yang bersinar (shining example) dalam situasi demokrasi dunia yang tidak menggembirakan sekarang ini.