Hilirisasi Hasil Tambang Timah Masih Lemah
Pemerintah terus mendorong hilirisasi hasil tambang guna menciptakan nilai tambah. Namun berbeda dengan nikel, kebijakan penghentian ekspor logam timah belum saatnya dilakukan.
Pemerintah terus mendorong hilirisasi hasil tambang guna menciptakan nilai tambah. Namun berbeda dengan nikel, kebijakan penghentian ekspor logam timah belum saatnya dilakukan.
Isu hilirisasi hasil tambang terus merebak. Sebagai contoh, Kompas mengangkat berita: “Perkuat Hilir Sebelum Stop Ekspor Timah” dan “Hilirisasi Timah Perlu Waktu” di akhir September 2022 lalu. Dilarang tidaknya ekspor timah amat tergantung pada kapasitas serapan komponen turunan timah batangan (ingot) di pasar domestik.
Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba menyatakan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian hasil tambang. Sangat dipahami bahwa mineral logam merupakan sumber daya alam kita yang tidak terbarukan. Oleh karena itu, pemanfaatan dan tata kelolanya harus dioptimalkan untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi bagi industri dalam negeri.
Timah Mineral Strategis
Harga timah di pasar global melambung karena pemulihan ekonomi pascapandemi dan besarnya permintaan dari industri global. Permintaan yang tinggi akan memberi dampak luas ke perekonomian Indonesia. Secara ideal, hilirisasi harus tetap berjalan guna menjamin keberlangsungan produksi dan perdagangan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa Indonesia memiliki harta karun mineral terbesar nomor dua di dunia. Harta karun yang dimaksud adalah timah. Posisi Indonesia terhadap cadangan timah saat ini masih di bawah China. Ada 2,23 juta ton cadangan logam timah di Indonesia, sebesar 91 persen berada di Kepulauan Bangka Belitung.
Pada 21 September 2021, harga timah di London Metal Exchange (LME) tercatat sebesar US$34.020 per ton. Dengan demikian, harga timah telah melonjak 86,56 persen dalam setahun terakhir. Harga timah bahkan sempat menyentuh puncaknya pada US$35.720 per ton pada saat kita merayakan Hari Kemerdekaan di tahun yang sama.
Mengutip Bloomberg, pabrik peleburan di China, negara produsen timah terbesar di dunia memangkas produksi sekitar 12 persen dari total produksi, sehingga memberikan tekanan pada pasokan global.
Setelah melarang ekspor nikel, pemerintah dalam waktu tidak terlalu lama akan menghentikan ekspor timah. Terlihat bahwa pemerintah mulai semangat menata dan membenahi dunia pertambangan timah. Sasarannya adalah meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan penguatan dominasi mineral ini oleh negara.
Indonesia pun ingin berkiprah dan mempertegas posisinya dalam percaturan bisnis timah dunia. Di kemudian hari, Indonesia berambisi menjadi penentu harga logam timah global yang selama ini ditemtukan oleh LME.
Dunia pertambangan timah terdiri dari tiga aspek, yaitu penambangan, peleburan, dan penjualan. Aspek yang pertama melibatkan 537 izin usaha pertambangan (IUP) dengan 25 perusahaan timah yang aktif memproduksi komoditas ini. Selain itu, berkembangnya kolektor bijih timah berskala besar, masih maraknya penambangan ilegal, IUP timah yang tumpang tindih dengan zonasi lain, dan kerusakan lingkungan. Dampak penambangan yang terakhir ini telah menyebabkan kerusakan 123 ribu hektar lahan kritis. Kesemuanya ini telah menambah kompleksitas industri komoditas ini.
Pada aspek peleburan terdapat kelebihan kapasitas smelter. Dari 120.000 ton per tahun kapasitas terpasang smelter, 50.000 ton per tahun milik PT Timah Tbk, sedangkan sisanya sebesar 70.000 ton per tahun berasal dari swasta. Di lain pihak, rerata produksi timah Indonesia baru sekitar 70.000 ton per tahun. Alhasil, sekitar 87 persen produksi timah Indonesia diekspor, sedangkan sisanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Selain itu, hasil tambang rakyat dari IUP timah masuk ke smelter swasta melalui kolektor.
Beberapa ciri pada aspek penjualan adalah sebagian besar timah masih diekspor dan belum mampu diserap pasar dalam negeri, serta perdagangan logam timah baik ekspor maupun domestik harus melalui bursa. Selama satu dasawarsa terakhir, terjadi peningkatan transaksi perdagangan timah dalam negeri, dari 900 ton menjadi 3.500 ton.
Peruntukan timah di pasar global adalah 47% untuk solder, 18 persen timah kimiawi, 13 persen Tinplate, 10 persen baterai asam timbal, 6 persen untuk paduan tembaga, dan sisanya 6 persen untuk kebutuhan lain-lain. Indonesia juga saat ini belum mampu menjadi pengendali harga timah dunia.
Timah Mineral Kritis
Dalam konteks timah di Kepulauan Bangka Belitung sebagai mayoritas produksi, sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi. Saat ini pemerintah sedang berusaha keras mencegah kebocoran pada bisnis timah. Data resmi menyebutkan setiap tahun PT Timah (Persero) Tbk menderita kerugian Rp 2,5 triliun karena penambangan ilegal oleh masyarakat.
Saat ini pemerintah sedang menata pertambangan ilegal. Bagi masyarakat yang terlibat dalam praktik penambangan ilegal dapat mengurus perizinan pertambangan agar menjadi legal. Pemerintah daerah menyediakan tempat pengurusan perizinan.
Keseriusan pemerintah perlu diikuti dengan pengembangan ekosistem industri hulu dan hilir timah Indonesia yang berorientasi pada pemanfaatan mineral timah di masa mendatang yang berdampak global. Hilirisasi timah memang perlu waktu karena perlu menarik investasi, mendirikan pabrik, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan daya saing industri. Suatu ekosistem industri timah yang maju, berkeadilan, dan memberikan manfaat optimal bagi pelakunya memang sangat dibutuhkan. Walakin, dengan tetap menegaskan keberadaan dan penguasaan negara atas pengelolaan serta pemanfaatan mineral ini.
Mineral timah dapat dikatakan kritis karena sebanyak 78.189 ton atau 22 persen produksi timah dunia berasal dari Indonesia, nomor dua terbesar setelah China. Secara ekonomi, pada 2019 mineral ini menyumbang Rp 2,05 triliun penerimaan bukan pajak timah dan Rp 3,8 triliun setoran pajak. Selain itu, pada tahun yang sama, terdapat investasi industri timah sebesar US$14 juta yang menyerap 21.266 tenaga kerja.
Kebocoran bisnis timah dan dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal telah membuat mineral timah juga menjadi kritis. Cadangan timah dua besar global berada di China yang mencatat 23 persen diikuti Indonesia sebesar 17 persen. Hal ini menjadi semakin kritis karena diperkirakan tahun 2046 timah Indonesia akan habis dan cadangan terbesar saat ini hanya ada di Kepulauan Bangka Belitung.
Hilirisasi Timah Perlu Waktu
Selain kepastian penguasaan oleh negara, kewajiban hilirisasi dan aspek yang sangat pro lingkungan perlu menjadi perhatian ke depannya. Walaupun hanya sebesar 7 persen kebutuhan timah untuk komponen baterai kendaraan listrik, hilirisasi di industri ini perlu didorong. Kemudian, produksi timah diarahkan untuk kebutuhan perangkat elektronik seperti solder yang bisa mencapai 51 persen. Namun industri terkait timah seperti tinplate dan tin chemical perlu digalakkan. Dengan adanya kebutuhan pasar domestik, maka permintaan akan naik dan harapannya harga timah akan jauh lebih tinggi.
Indonesia adalah eksportir timah terbesar dunia. Pada 2020 di tengah pandemi Covid-19, Indonesia mampu mengekspor hingga 65.000 ton logam timah. Sedangkan pada 2021 jumlah ekspor melonjak menjadi 74.000 ton. Sementara serapan untuk kebutuhan dalam negeri hanya 5 persen dari produksi nasional.
Beberapa kesimpulan terkait isu hilirisasi logam timah adalah sebagai berikut. Pertama, penghentian ekspor timah bukan karena telah adanya smelter. Larangan dapat dilakukan bila industri hilir penampung hasil tambang, terutama solder sudah siap dan memenuhi skala ekonomi. Kedua, sementara pengembangan industri hilirisasi timah dilakukan secara bertahap, Indonesia tetap menjadi bagian dari rantai pasok global timah.
Ketiga, walaupun Indonesia merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia, tetapi LME yang menentukan kebijakan harga. Keempat, hilirisasi industri timah selama ini tidak berjalan karena bahan baku solder tidak berkembang di tanah air, akibat kendala volume produksi dan pemenuhan standarisasi oleh produsen barang elektronik dari manca negara. Kelima, pilihan sementara adalah tetap membuka keran ekspor timah batangan, sambil menunggu industri hilir timah dalam negeri siap dan mampu menjadi Offtaker secara kalkulasi bisnis.
Akhirnya, beberapa langkah strategis perlu diambil oleh otoritas. Pertama, pemerintah perlu mendorong dan memperkuat kehadiran industri solder, komponen elektronik, baterai kendaraan listrik, dan industri hilir turunan produk timah lainnya. Kedua, penataan ulang IUP dan perlakuan yang tegas terhadap penambangan ilegal perlu segera dilakukan.
Ketiga, pemerintah terkait perlu mengawal reklamasi sisa lahan tambang dengan pengendalian ketat. Keempat, perlu segera dikembangkan ekosistem industri timah beserta pemain pendukungnya. Perlu dipastikan terciptanya ekosistem industri hilir agar ada yang menampung produksi timah di hulu.
Mohammad Hamsal
Dosen Program Doktor Manajemen BINUS Business School dan pengurus Indonesia Strategic Management Society.
Email: Mhamsal@yahoo.com