Menilik Politik Hukum KUHP Baru
Sejumlah pasal diUU KUHP yang dipermasalahkan sebenarnya menunjukkan karakter demokratis yang lebih baik dibandingkan KUHP warisan kolonial Belanda. Namun, dibutuhkan peningkatan kapasitas penegak hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022 merupakan warisan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang penting di jagat pembangunan hukum nasional. Secara esensial, KUHP baru yang memikul misi dekolonisasi, demokratisasi, dan konsolidasi hukum pidana menjadi peristiwa penting dalam pengembangan hukum pidana nasional, terlebih-lebih di dalam konstruksi konstitusionalisme.
Akan tetapi, KUHP tersebut masih meninggalkan catatan penting, salah satunya memunculkan potensi penurunan skor indeks negara hukum yang tergolong buruk. Kondisi ini disebabkan adanya sejumlah pasal yang mengancam kebebasan berekspresi warga negara (Kompas, Indeks Negara Hukum Terancam, 8/12/2022).
Baca juga: Indeks Negara Hukum RI Terancam Memburuk Pasca-KUHP Baru
Bilamana kita telusuri catatan penting tersebut, timbul beberapa pertanyaan mendasar. Apakah benar KUHP baru lebih demokratis dibandingkan KUHP warisan kolonial? Apa yang menjadi fundamen dari politik hukum KUHP baru? Bagaimana mewujudkan keseimbangan antara kepentingan nasional, masyarakat, dan individu? Ketiga pertanyaan tersebut akan menjadi pokok pembahasan risalah ini agar dapat memecahkan kecemasan masyarakat.
Apabila kita observasi Pasal 218 hingga Pasal 220 yang menjadi kegalauan masyarakat, secara mendasar rumusan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden telah dilengkapi ketentuan proteksi kebebasan sipil. Ketentuan tersebut telah menunjukkan upaya menjaga kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini kritik, opini publik, maupun unjuk rasa dapat dilakukan.
Selanjutnya, proteksi terhadap kebebasan sipil tersebut dimanifestasikan ke dalam konstruksi adanya peniadaan tindak pidana, apabila perbuatan menyerang tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Proteksi selanjutnya, penuntutan hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan secara tertulis oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Di sisi lain, KUHP tersebut juga tetap menempatkan ketentuan-ketentuan di Pasal 240 hingga Pasal 241 yang mengatur mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. Pasal-pasal tersebut juga merupakan pasal-pasal kontroversial di ruang publik karena penghinaan kerapkali dianggap sama dengan opini yang keras ataupun narasi-narasi yang menghujam di dalam unjuk rasa, karena sifatnya yang subyektif. Meski demikian, pembentuk KUHP pun menerapkan proteksi yang sama dengan ketentuan-ketentuan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden, yakni dibutuhkan pengaduan dari pihak yang dihina.
Sehingga secara keseluruhan, ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan karakter demokratis yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP warisan kolonial Belanda. Namun secara lebih dalam, apabila kita perhatikan Pasal 218 hingga Pasal 220, serta Pasal 240 hingga 241, maka mekanisme proteksi terhadap kebebasan sipil tersebut akan efektif apabila memenuhi prasyarat utama, yaitu dibutuhkan kemahiran yang tinggi bagi penegak hukum dalam menafsir suatu perbedaan secara jitu antara kritikan tajam, komentar bernada satir, dengan perbuatan yang merendahkan martabat atau serangan terhadap kehormatan.
Mekanisme proteksi terhadap kebebasan sipil tersebut akan efektif apabila memenuhi prasyarat utama, yaitu dibutuhkan kemahiran yang tinggi bagi penegak hukum.
Dalam arti lain, untuk dapat mewujudkan prasyarat utama tersebut dibutuhkan peningkatan kapasitas penegak hukum terkait implementasi ketentuan-ketentuan pidana secara tepat. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah yang berat pasca pemberlakuan KUHP baru.
Hal ini dapat diibaratkan, negeri ini membutuhkan para penegak hukum memainkan sepak bola positif yang atraktif berlandaskan gaya total football Belanda. Untuk mewujudkan permainan yang atraktif tersebut dibutuhkan beberapa komponen fundamental, yakni mentalitas, intelegensi, gairah, apik, kreativitas, dan kepemimpinan (David Winner, 2000). Sehingga, pada akhirnya nanti mengkristal ke dalam sistem yang selalu kreatif dan berkembang. Dalam sudut pandang Johan Cruyff, legenda sepak bola Belanda, sistem tersebut wajib ditopang pemain yang berkemampuan tinggi, yang tidak mungkin dimainkan oleh pemain kelas rata-rata saja (Sindhunata, Total Football Bersama Gus Dur, Kompas, 18/12/2000).
Pada akhirnya nanti, prasyarat tersebut akan memunculkan pertanyaan yang aktual, apakah jeda waktu yang tersedia, yakni tiga tahun masa sosialisasi sebagaimana Pasal 624 dalam Ketentuan Penutup, telah akseptabel untuk membimbing atau menuntun penegak hukum selaras dengan KUHP baru?
Baca juga: Tanpa "Total Football", Belanda Tak Apa
Selanjutnya, tema yang tidak kalah penting juga adalah identifikasi terhadap elemen fundamen politik hukum di dalam KUHP. Apabila kita beri atensi kepada penjelasan di KUHP, pembentuk undang-undang telah menaruh beberapa fundamen penting, antara lain konsistensi, kemanfaatan, dan kepastian hukum, serta prinsip kebenaran, ketertiban, dan keseimbangan kepentingan baik nasional, masyarakat, dan individu.
Kita perlu observasi dengan saksama beberapa ketentuan KUHP. Antara lain, Pasal 218 hingga Pasal 220, Pasal 240 hingga Pasal 241. Kemudian, terkait Pasal 256 KUHP yang mengatur mengenai penyelenggaraan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi. Juga ketentuan yang berhubungan dengan penyebarluasan atau pemberitahuan berita bohong yang diatur di dalam Pasal 263 hingga Pasal 264 KUHP. Terus, ketentuan yang mengatur tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan di Pasal 300 hingga Pasal 305 KUHP. Ada lagi ketentuan berkaitan dengan perzinahan dan kohabitasi yang diatur di Pasal 411 dan 412 KUHP. Terakhir, berkaitan dengan ketentuan keamanan negara yang diatur di Pasal 188 hingga 190 KUHP.
Berorientasi keamanan
Bertolak atas ketentuan-ketentuan tersebut, terdapat kecenderungan terhadap politik hukum yang berorientasi terhadap keamanan dan ketertiban umum serta stabilitas masyarakat sehingga dapat ditegakkan secara efektif, meski terdapat upaya demokratisasi. Oleh karena itu, terdapa tiga hal substantif yang menopang orientasi tersebut.
Pertama, terhadap studi Mark Tushnet (2015) yang menunjukkan adanya kesamaaan KUHP nasional dengan pengalaman Singapura. Dalam hal ini, ketentuan pidana Singapura yang berintikan ketentuan mengenai fitnah, penghasutan, ketertiban umum, pers, internet, dan keamanan dalam negeri, didesain tidak saja untuk pengendalian kritik terhadap kebijakan pemerintah, namun juga untuk menjaga stabilitas keamanan dari kekacauan sosial.
KUHP yang berlaku saat ini tidak menghendaki adanya konsep liberal-sekularisme yang eksplisit maupun perubahan sosial yang cepat, ini mempengaruhi tetap dipertahankannya ketentuan yang konservatif.
Dengan demikian, kepastian hukum, stabilitas politik dan sosial perlu dijaga melalui dua tahap. Pertama, kebijakan anti korupsi dan instrumen hukum yang ketat untuk menjamin kepercayaan publik dan internasional terhadap pemerintahan karena berdampak kepada dimensi ekonomi. Maka, apabila kita mengobservasi KUHP nasional saat ini, secara mendasar menunjukkan karakter hukum yang non-liberal, atau karakter hukum yang tidak sepenuhnya menunjukan karakter liberalisme, yang mengoptimalkan
Kedua, dipertahankannya ketentuan tindak pidana terhadap agama, lalu ketentuan pengaturan terhadap kesusilaan di KUHP, sejatinya tidak hanya menunjukkan besarnya daya penetrasi negara di ruang privat warga, namun juga menunjukkan watak hukum yang konservatif. Dalam hal ini, konservatisme yang dipikul di dalam instrumen hukum pidana memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) melindungi institusi agama; (2) menjaga tatanan sosial yang sudah terbangun, dalam hal ini keluarga, moralitas, dan religiusitas; (3) menentang gerak perubahan sosial yang mengintai tatanan sosial yang telah mapan.
Pendek kata, KUHP yang berlaku saat ini tidak menghendaki adanya konsep liberal-sekularisme yang eksplisit maupun perubahan sosial yang cepat, ini mempengaruhi tetap dipertahankannya ketentuan yang konservatif seperti; tindak pidana agama dan kesusilaan. Sebaliknya, KUHP menunjukkan suatu karakter yang distingtif, yaitu bagaimana bangsa Indonesia melihat relasi negara dan agama. Dalam hal ini menempatkan pentingnya nilai-nilai religiusitas dan moral sehingga perlu dilindungi melalui perangkat hukum, di sisi lain pentingnya membuat pemilihan tegas antara negara dan agama, atau dengan kata lain disebut sebagai sekularisme lunak (Setyo Wibowo, 2018).
Baca juga: Penghinaan dan Hukum Pidana
Ketiga, kebijakan mempersenjatai Pancasila di Pasal 188 hingga 190 KUHP merupakan wujud nasionalisme defensif yang didesain memiliki kemampuan melumpuhkan ataupun melikuidasi ideologi atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain ketentuan tersebut menunjukkan adanya problem populisme yang terselubung.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa populisme merupakan ideologi yang tipis, sehingga secara faktual populisme nampak melekat dalam pada elemen ideologi lainnya, untuk mendukung proyek politik yang menarik perhatian masyarakat secara meluas (Cas Mudde, Cristóbal R Kaltwasser, 2017). Maka, dalam konteks Pasal 188 hingga 190 KUHP, populisme bersekutu dengan nasionalisme serta Pancasila itu sendiri sehingga membentuk karakter yang defensif.
Dengan demikian, bilamana kita umpamakan dalam sepak bola, politik hukum KUHP berdasarkan ketiga hal substantif tersebut mencerminkan strategi catenaccio. Suatu siasat sepak bola yang berangkat dari tradisi Italia yang dipopulerkan oleh pelatih Helenio Herrera di Inter Milan ketika berhasil meraih kesuksesan di Italia maupun Eropa, dan Enzo Bearzot di tim nasional Italia pada Piala Dunia 1982, yang mengandalkan gaya permainan sepak bola negatif, atau defensif. Catenaccio yang diartikan sebagai rantai atau grendel bertujuan untuk mengunci, melumpuhkan, dan menggagalkan serangan lawan sambil menunggu serangan balik yang efektif dengan mengandalkan kedisiplinan yang taktis (Jonathan Wilson, 2013).
Sebagai penutup, bertolak dari kebutuhan adanya peningkatan kapasitas penegak hukum untuk memahami KUHP terbaru yang mengusung politik hukum yang konservatif, maka secara mendasar dibutuhkan keseimbangan untuk mengimplementasikannya. Keseimbangan antara kepentingan nasional, masyarakat, dan individu tersebut dapat diwujudkan apabila tiga hal pokok berikut terpenuhi:
Baca juga: Pilihan Hukum dan Paradigma Dekolonisasi
Pertama, etos kerja yang optimal penegak hukum dapat ditingkatkan melalui pembaruan hukum acara pidana sehingga selaras dengan KUHP yang sudah diperbarui. Kedua, hakim sebagai poros utama dalam menafsirkan hukum pidana dituntut memiliki integritas, intelegensi, dan kreativitas di atas rata-rata, serta didorong menguasai kasus yang dihadapkan kepadanya sehingga putusannya berkualitas.
Ketiga, kendali masyarakat sipil perlu diefektifkan dan dikonsolidasikan untuk dapat meninjau celah kelemahan dari KUHP terbaru, agar KUHP tersebut tidak merugikan hak konstitusional warga. Dalam konteks ini, mobilisasi hukum dalam bentuk litigasi kepentingan publik yang mengacu kepada pembelaan hak-hak sipil atau konstitusional, yang berusaha merestrukturisasi lembaga atau kebijakan publik (Lehoucq, Taylor, 2019), merupakan opsi yang bisa dipertimbangkan oleh masyarakat sipil apabila KUHP tersebut berpotensi atau secara konkret merugikan hak konstitusional warga.
D Nicky Fahrizal, Peneliti Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta