Bencana Pendidikan, Krisis Guru dan Dosen PNS
Jika kebijakan memperbanyak guru/dosen PPPK diteruskan, sesungguhnya pemerintah sedang menggali lubang untuk memerosotkan kualitas pendidikan nasional secara sistemik. Ini berbahaya untuk ketahanan bangsa dan bernegara.

Ilustrasi
Laporan Kompas pada Hari Guru Nasional (25/11/2022) mengenai ”Pengangkatan Satu Juta Guru PPPK Karut-marut” mencerminkan bahwa dunia pendidikan kita saat ini mengalami masalah mendasar, yaitu krisis guru pegawai negeri sipil.
Krisis guru terjadi, padahal guru unsur utama dalam pendidikan. Ada gedung sekolah dengan fasilitas yang lengkap dan kurikulum yang bagus, tetapi kalau tidak ada guru, pendidikan tidak akan terwujud.
Sebaliknya, tak ada gedung sekolah dan tak ada kurikulum, asalkan tersedia guru yang bagus; proses pendidikan akan dapat berlangsung dengan baik, karena guru yang bagus bisa mengajar di mana saja: di rumah warga, di balai desa, atau bahkan di bawah pohon. Mereka juga dapat membuat kurikulum sendiri sesuai kebutuhan setempat.
Contoh pengutamaan guru itu dilakukan oleh negara-negara kecil tetapi pendidikannya unggul, seperti Singapura dan Finlandia. Mereka memiliki kualitas pendidikan bagus karena amat memperhatikan kualitas dan kesejahteraan guru.
Para pejabat kita sering menjadikan Finlandia sebagai acuan, tetapi lupa memperhatikan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Finlandia terhadap guru, bahwa guru di Finlandia merupakan profesi yang prestisius karena sejajar dengan profesi dokter dan insinyur. Mereka yang masuk ke sekolah calon guru sama pintarnya dengan yang masuk ke fakultas kedokteran dan teknik.
Baca juga : Pengangkatan Satu Juta Guru PPPK Karut-marut
Baca juga : Satu Juta Guru PPPK Tetap Prioritaskan Guru Honorer
Pengutamaan guru juga dilakukan Jepang. Pada saat Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak karena bom atom, pertanyaan Kaisar Hirohito bukan berapa jumlah jenderal tersisa, melainkan berapa jumlah guru yang tersisa. Ia percaya, dengan ketersediaan guru yang tersisa, Jepang akan bangkit kembali membangun negeri dan unjuk kekuatan ke dunia luar, dan itu telah terbukti saat ini.
Sayang, kepedulian pada nasib guru tak tumbuh dari pemimpin bangsa kita. Lahirnya UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen sempat menjadi oase bagi perbaikan nasib guru. Setelah lahirnya UU ini, animo dan passing grade yang masuk ke LPTK (perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan calon guru) meningkat. Banyak lulusan sepuluh besar SMA/SMK masuk ke LPTK.
Mereka berharap akan menjadi guru PNS dan mendapatkan tunjangan profesi guru sehingga nasib mereka membaik dengan menjadi guru. Namun, hasrat untuk mendaftar ke LPTK turun lagi ketika pemerintah pelit mengangkat guru PNS dan memperbanyak guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Status ini dipandang kurang prestisius sehingga kurang mengundang minat lulusan SMA/SMK terbaik untuk masuk ke LPTK.

Seorang guru honorer menyampaikan aspirasi di depan gedung DPR RI, Jakarta, Senin (07/11/2022).
Jadi, tren kualitas input di LPTK yang sempat naik sejak keluarnya UU Guru dan Dosen sekarang turun lagi. Dalam jangka panjang, masifikasi perekrutan guru-guru PPPK akan mendegradasi kualitas LPTK dan dampak akhirnya memerosotkan kualitas pendidikan.
Kecenderungan menurunnya rekrutmen guru PNS terjadi pascareformasi politik 1998. Bahkan, pernah pada suatu masa tidak ada pengangkatan guru PNS sama sekali. Kondisi yang sama juga terjadi di perguruan tinggi negeri (PTN) di seluruh Indonesia yang semakin minim mengangkat dosen PNS.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono sempat terjadi pengangkatan guru-guru honorer menjadi PNS, yang kemudian memicu para lulusan LPTK berlomba-lomba menjadi guru honorer dengan harapan dapat diangkat menjadi PNS. Sekarang, rekrutmen guru PNS itu amat minim karena kebutuhan guru diatasi dengan guru PPPK. Padahal, pengangkatan guru PPPK mestinya hanya merupakan solusi darurat, bukan solusi permanen.
Mengapa harus PNS?
Mengapa harus guru dan dosen PNS? Bukankah guru/dosen PPPK juga aparatur sipil negara (ASN) dan lebih efisien? Betul, kalau kita hanya melihat dari segi efisiensi anggaran saja. Namun, melihat pendidikan tidak cukup hanya dari aspek ekonomi, banyak hal yang lebih mendasar untuk dipertimbangkan.
Pertama, PNS sampai hari ini merupakan status yang masih diburu lulusan terbaik dari PTN/PTS karena memberikan kenyamanan hidup, jaminan hari tua, jaminan pengembangan karier, memperoleh tunjangan/fasilitas ini-itu, dan tak terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) sejauh tak melakukan pelanggaran berat. Status PNS itu membuat mereka tenang dan lebih konsentrasi menjalankan tugas di sekolah/kampus.
Fisik mereka ada di sekolah/kampus, tetapi pikiran dan hati menerawang ke mana-mana mencari masa depan yang lebih baik.
Wajar jika para lulusan terbaik PTN/ PTS mengejar status PNS, termasuk menjadi guru/dosen PNS. Mereka yang masuk menjadi guru/dosen PNS adalah orang-orang yang saat kuliah nilai akademiknya tinggi, sedangkan mereka yang tak lolos menjadi guru/dosen PNS menurunkan ekspektasi mereka dengan jadi guru/dosen honorer dan kelak berjuang agar dapat lolos sebagai ASN PPPK.
Kedua, guru/dosen PPPK amat tak menarik bagi lulusan PTN/PTS terkemuka karena tak memberikan kenyamanan hidup, status kepegawaian tak jelas, rawan PHK atau tak diberi jam mengajar jika tak disukai pimpinan, tak memperoleh tunjangan hari tua, tak ada pengembangan karier, dan tak dapat fasilitas ini-itu; sehingga mereka tak bisa konsentrasi 100 persen di sekolah/kampus.
Fisik mereka ada di sekolah/kampus, tetapi pikiran dan hati menerawang ke mana-mana mencari masa depan yang lebih baik. Wajar apabila yang mendaftar sebagai guru/dosen PPPK adalah mereka yang tidak lolos menjadi guru/dosen PNS atau tidak memiliki nyali masuk ke sektor swasta yang lebih menantang.
Jadi, ada dua problem yang dihadapi guru/dosen PPPK, yaitu masalah kualitas dan status yang tak jelas. Secara kualitas, mereka bukan lulusan terbaik PTN/PTS terkemuka. Status mereka sebagai pegawai kontrak rawan PHK dan tingkat kesejahteraannya juga pas-pasan, tak ada tunjangan lain kecuali tunjangan profesi guru bagi yang sudah lolos sertifikasi.

Oleh karena itu, jika kebijakan memperbanyak guru/dosen PPPK itu diteruskan, sesungguhnya pemerintah sedang menggali lubang untuk memerosotkan kualitas pendidikan nasional secara sistemik. Ini amat berbahaya untuk ketahanan bangsa dan bernegara karena bencana yang akan dimunculkan jauh lebih dahsyat daripada gempa di Cianjur lalu.
Bangsa ini akan semakin bodoh dan menjadi sasaran empuk kolonialisasi produk-produk manufaktur maupun buaya dari luar dan mudah diadu domba.
Ketiga, secara obyektif kita memang kekurangan guru dan dosen PNS. Data Badan Kepegawaian Negara (2021) menunjukkan jumlah guru PNS hanya 1.345.201 orang, sedangkan dosen PNS hanya 75.430 orang.
Padahal, saat ini kita memiliki 436.353 sekolah, terdiri dari 171.509 sekolah negeri dan 264.744 sekolah swasta. Adapun PTN yang dikelola Kemendikbudristek saja mencapai 209, baik dalam bentuk akademi, sekolah tinggi, institut, maupun universitas. Dengan jumlah guru PNS hanya 1,3 juta dan dosen PNS 75.430, jelas tak memadai untuk terselenggaranya pendidikan yang berkualitas.
Jangan dilupakan bahwa tanggung jawab penyediaan guru dan dosen PNS bukan hanya untuk sekolah negeri dan PTN, melainkan juga untuk sekolah swasta dan PTS meskipun sifatnya hanya bantuan. Sebab, sekolah dan PTS itu hadir juga membantu menjalankan tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua sekolah negeri saat ini mengalami kekurangan guru PNS.
Jangan dilupakan bahwa tanggung jawab penyediaan guru dan dosen PNS bukan hanya untuk sekolah negeri dan PTN, melainkan juga untuk sekolah swasta dan PTS meskipun sifatnya hanya bantuan.
Mengatasi kekurangan guru PNS dengan mengangkat guru PPPK jelas bukan solusi permanen untuk menghindari bencana pendidikan. Demikian pula mengatasi kekurangan dosen PNS di PTN-PTN, terutama perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) dengan menyerahkan ke PTN untuk mengangkat dosen universitas/institut masing-masing juga kurang tepat karena akan menambah beban masyarakat.
Seorang guru besar dari Jawa Tengah saat pertemuan Majelis Guru Besar PTNBH di UI, 25 November 2022, menyatakan, PTN-nya membutuhkan dana Rp 300 miliar untuk bayar gaji dosen universitas, tetapi subsidi pemerintah hanya Rp 100 miliar. Lantas siapa yang harus menanggung yang Rp 200 miliar?
Tak terelakkan, dana itu dibebankan pada mahasiswa dengan cara menaikkan SPP. Jadi lepas tangannya pemerintah dalam rekrutmen dosen PNS di PTNBH itu akan menambah beban masyarakat yang harus membayar SPP lebih mahal. Efeknya, semua PTN/PTNBH kini mengalami kesulitan mendapatkan calon dosen baru yang berkualitas. Mereka yang pintar-pintar memilih berkarier di sektor swasta atau jadi PNS di kementerian teknis lain yang lebih prospektif.
Di satu prodi teknik sipil PTN terkemuka, misalnya, ada yang tinggal memiliki enam dosen senior dan jarak dengan generasi di bawahnya terlalu jauh. Secara kelembagaan, prodi ini tidak sehat dan tidak mungkin mampu bersaing di tingkat global karena keterbatasan dosen yang kompeten. Fenomena ini masif terjadi di seluruh PTN kita.

Belajar pada Orde Baru
Pemerintah perlu belajar dari pemerintahan Orde Baru dalam penyiapan tenaga guru dan dosen. Saat mengalami keuntungan dari harga minyak (dekade 1970-an), pemerintah mengangkat guru secara besar-besaran untuk ditempatkan di seluruh SDN dan SD inpres yang saat itu didirikan di semua desa/kelurahan.
Saat pemerintah memperoleh keuntungan dari ekspor kayu (dekade 1980-an), pemerintah merekrut guru SMP secara besar-besaran untuk ditempatkan di SMPN-SMPN yang didirikan di tiap kecamatan dan diperbantukan ke SMP-SMP swasta. Sementara perekrutan guru-guru SMA dan SMK secara besar-besaran terjadi di dekade 1990-an untuk mengisi SMAN/SMKN yang didirikan di setiap kecamatan.
Pada masa-masa itu, di semua PTN juga terjadi perekrutan tenaga dosen PNS baru setiap tahun. Bahkan, banyak pula dosen PNS yang diperbantukan ke PTS (dosen DPK). Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa guru dan dosen adalah tiang utama untuk membangun negeri ini. Oleh karena itu, pengangkatan guru dan dosen PNS diprioritaskan.
Ada pola pikir yang keliru di kalangan pengambil kebijakan saat ini. Dalam satu dekade terakhir selalu ada pengangkatan calon PNS baru, tetapi formasi terbanyak justru untuk kementerian/lembaga (K/L) layanan publik, bukan untuk layanan dasar (pendidikan, kesehatan).
Jika pemerintah menyadari bahwa kualitas layanan dasar akan menentukan kualitas layanan publik, kebutuhan tenaga PNS untuk layanan dasar mestinya dapat prioritas untuk dipenuhi.
Jika pemerintah menyadari bahwa kualitas layanan dasar akan menentukan kualitas layanan publik, kebutuhan tenaga PNS untuk layanan dasar mestinya dapat prioritas untuk dipenuhi. Layanan publik karena sifatnya dinamis lebih tepat dilakukan PPPK agar apabila kurang perform, kontraknya bisa diputus dan diganti yang lebih kompeten.
Namun, yang terjadi di sini justru sebaliknya. K/L yang melakukan layanan publik dipenuhi tenaga PNS, sebaliknya guru, dosen, dokter, perawat justru diisi PPPK. Padahal, kualitas layanan dasar itu amat dipengaruhi tingkat kompetensi, pengalaman, dan totalitas layanan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Prasyarat ini sulit terpenuhi oleh guru/dosen PPPK karena ketidakjelasan status dan rendahnya kesejahteraan.
Masih ada waktu dua tahun bagi pemerintahan Joko Widodo untuk mengoreksi kebijakan agar tak terjadi bencana besar di sektor pendidikan. Pertama, kurangi rekrutmen CPNS untuk K/L yang melakukan layanan publik dan formasinya dialihkan untuk CPNS bagi calon guru, dosen, dokter, dan perawat.
Kedua, mengingat jumlah guru dan dosen yang pensiun setiap tahun cukup banyak, pengisian formasi guru dan dosen PNS itu perlu dilakukan tiap tahun agar proses regenerasinya tak terputus. Ketiga, menghentikan proses privatisasi PTN menjadi PTNBH seperti diamanatkan dalam RUU Sisdiknas, bahwa maksimal delapan tahun setelah disahkannya RUU Sisdiknas, semua PTN harus berubah status menjadi PTNBH.
Pengalaman PTNBH yang ada saat ini, setelah PTN terkemuka berubah jadi PTNBH, makin sulit mendapatkan calon-calon dosen yang berkualitas karena status dan kesejahteraan dosen universitas/institut tidak membanggakan, kalah dengan kesejahteraan dosen PTS.
Darmaningtyas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa

Darmaningtyas