Sudah saatnya Bank Indonesia mengambil posisi memimpin dalam pengembangan inisiatif Green Swan agar tercipta ekosistem kebijakan yang komprehensif dalam mendukung keuangan berkelanjutan.
Oleh
A Prasetyantoko
·4 menit baca
Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK telah disahkan Kamis (15/12/2022). Dalam pendapat akhir presiden yang dibacakan menteri keuangan, pemerintah mengapresiasi Dewan Perwakilan Rakyat yang telah menginisiasi UU P2SK sebagai momentum reformasi sektor keuangan demi masa depan bangsa yang lebih sejahtera.
Omnibus Law Sektor Keuangan ini mencakup 17 UU, antara lain UU Bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan, UU Lembaga Penjamin Simpanan, hingga UU Perdagangan Berjangka Komiditi, UU Koperasi, dan UU Sistem Jaminan sosial. Dibandingkan Omnibus Law Cipta Kerja, reformasi perundangan sektor keuangan ini tak banyak menimbulkan perdebatan. Fokusnya justru bagaimana mengakselerasi implementasi melalui peraturan perundangan turunannya.
Salah satu tema menarik dan baru dari UU P2SK adalah bab dan pasal mengenai keuangan berkelanjutan, selain bab dan pasal mengenai keuangan digital dan uang (aset) kripto. Hal ini menunjukkan UU P2SK berorientasi pada perkembangan terkini di sektor keuangan.
Dalam hal keuangan berkelanjutan, UU P2SK merupakan tonggak penting transformasi hijau yang memungkinkan terbangunnya ekosistem sektor keuangan dalam merespons persoalan perubahan iklim yang menghantui dunia.
Ekosistem Keuangan Hijau
Perhatian UU P2SK terhadap isu berkelanjutan tampak pada Pasal 1 mengenai Ketentuan Umum nomor 25 yang menyatakan Keuangan Berkelanjutan sebagai sebuah ekosistem dengan dukungan menyeluruh berupa kebijakan, regulasi, norma, standar, produk, transaksi, dan jasa keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
UU P2SK merupakan tonggak penting transformasi hijau yang memungkinkan terbangunnya ekosistem sektor keuangan dalam merespons persoalan perubahan iklim yang menghantui dunia.
Secara khusus penerapan keuangan berkelanjutan diatur dalam Bab XVII yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengatur penerapan keuangan berkelanjutan bagi pelaku usaha sektor keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Bagian kedua mengatur kebijakan, dukungan, dan mekanisme koordinasi pengembangan keuangan berkelanjutan.
Dalam pasal 223, ayat (1), poin (d) disebutkan, dalam rangka pengembangan keuangan berkelanjutan, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI) melakukan koordinasi dalam menyusun taksonomi berkelanjutan. Selanjutnya, ketentuan mengenai taksonomi berkelanjutan akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 224, ayat (5) menyebutkan, guna mendukung pengembangan Keuangan Berkelanjutan, Kementerian Keuangan, OJK, dan BI membentuk Komite Keuangan Berkelanjutan. Menteri Keuangan bertindak sebagai koordinator komite yang selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Masalah keuangan berkelanjutan juga jadi tugas BI melalui kebijakan makroprudensial. Diatur dalam Bab VIA pasal 35A, “Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial dalam rangka turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta meningkatkan inklusi ekonomi dan keuangan, serta keuangan berkelanjutan”.
BI memiliki kewenangan dalam pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan keuangan berkelanjutan melalui instrumen kebijakan makroprudensial. Sementara itu, OJK punya kewenangan mengatur bursa karbon, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) poin (b).
Terbitnya kerangka hukum terkait keuangan berkelanjutan sangat relevan dengan momentum domestik maupun global. Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali (15/11/2022) menyepakati inisiatif transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dollar Amerika Serikat (AS) serta peluncuran kerangka transisi energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) di Indonesia.
Transisi sektor energi guna mempercepat penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara merupakan fokus utama. Namun dalam tahapan berikutnya, strategi pembangunan berkelanjutan juga akan mencakup reformasi sektor transportasi, industri, infrastruktur (building) dan aspek lain dengan tetap memperhatikan proses transisi yang berkeadilan. Semuanya itu tak lepas dari strategi pendanaan dan investasi yang akan memungkinkan tercapainya target di berbagai sektor.
Di tingkat global, sejak 2017, beberapa otoritas moneter dan keuangan menginisiasi jaringan bank sentral dan lembaga supervisi sektor keuangan dalam menciptakan sistem keuangan yang mendukung lingkungan yang dikenal sebagai Network of Central Banks and Supervisors for Greening the Financial System (NGSF). Hingga kini, NGFS beranggotakan 121 institusi (OJK salah satunya) dan 19 lembaga pemantau.
Semuanya itu tak lepas dari strategi pendanaan dan investasi yang akan memungkinkan tercapainya target di berbagai sektor.
Sebagai bagian dari komitmen itu, OJK memiliki taksonomi hijau edisi 1.0 tahun 2022 sebagai bagian dari Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap I (2015-2019) dan Tahap II (2021-2025). Berbagai kebijakan juga sudah dikeluarkan, diantaranya POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Aturan ini mewajibkan seluruh Sektor Jasa Keuangan (SJK) menerapkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan serta kewajiban penyampaikan kepada publik Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report). Selain itu ada juga POJK Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).
Kehadiran UU P2SK sudah semestinya menjadi pemicu lembaga keuangan untuk mengakselerasi pengembangan konsep keuangan berkelanjutan berikut turunan kebijakannya. Dalam kerangka makroprudensial, pada awal 2020 Bank of International Settlement (BIS) telah menerbitkan paper berjudul The green swan; Central banking and financial stability in the age of climate change, yang bisa menjadi rujukan pokok.
Sudah saatnya Bank Indonesia mengambil posisi memimpin dalam pengembangan inisiatif Green Swan agar tercipta ekosistem kebijakan yang komprehensif dalam mendukung keuangan berkelanjutan.