Pangan Berkelanjutan Berbasis Lokalitas
Indeks Ketahanan Pangan 2022 menunjukkan, Indonesia masih menghadapi tiga beban malnutrisi, yaitu gizi kurang, obesitas, dan kurang gizi mikro atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi. Apa strategi untuk mengatasinya?

Dalam berita utama edisi 9 Desember 2022, harian Kompas memberitakan bahwa separuh lebih penduduk Indonesia atau 187,7 juta orang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Berita ini menghunjam dalam ke jantung kita, terutama jika mengingat bahwa bangsa ini sesungguhnya dianugerahi kekayaan biodiversitas yang sangat besar, di darat dan di laut.
Pertanyaannya, mengapa besarnya kekayaan alam yang semestinya dapat menjadi sumber pangan lokal itu tak sejalan dengan kecukupan pangan bergizi penduduk kita?
Sejak lama, masalah pangan di Indonesia sulit terlepas dari kerapuhan sistem pangan dan penggunaan lahan. Orang Indonesia cenderung mengonsumsi dan selalu kembali pada pangan homogen atau makanan pokok tunggal, terutama beras.
Kecenderungan ini berimplikasi terhadap kebijakan pemerintah dari masa ke masa terkait produksi, lahan pertanian, tata niaga, dan penyediaan prioritas jenis pangan, yang sebagian besar berorientasi pada beras.
Di sisi lain, daya dukung lingkungan kita seiring waktu terus menurun. Studi yang dilakukan Food and Land Use Coalition (FOLU) pada 2021 menyebutkan, di negara ini 40 juta penduduk bergantung pada keanekaragaman hayati untuk penghidupan mereka.
Baca juga: Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal
Sekitar 11 juta pekerja dan keluarganya bergantung pada industri kelapa sawit, yang menghasilkan 20 persen dari pendapatan ekspor nasional, tetapi juga merupakan salah satu pendorong utama deforestasi. Sistem pangan dan tata guna lahan Indonesia menyumbang kerugian sekitar 62,7 miliar dollar AS per tahun dalam bentuk kerusakan yang diakibatkan pada manusia dan lingkungan.
Deforestasi, kebakaran hutan dan gambut, serta perubahan penggunaan lahan bertanggung jawab atas setidaknya 55 persen emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Dampak lainnya, tingkat kehilangan dan pemborosan pangan per kapita Indonesia adalah tertinggi di dunia.
Sistem pangan berkelanjutan
Dengan kerugian dan dampak eksploitasi lingkungan sebesar itu, ironisnya, satu dari empat anak Indonesia masih mengalami kekurangan gizi.
Indeks Ketahanan Pangan 2022 menunjukkan, Indonesia masih menghadapi tiga beban malnutrisi, yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas, dan kurang gizi mikro atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi. Tantangan terbesar bukan lagi pada kurangnya karbohidrat, seperti beras, melainkan defisiensi zat gizi mikro, akibat kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani, dan kacang-kacangan.
Di Kalimantan Tengah, akibat degradasi hutan, terutama setelah pelaksanaan program Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar tahun 1996-1997, banyak warga suku Dayak di pedalaman kini tak lagi berladang.
Sistem berladang dengan metode kearifan lokal yang dulu menuntun mereka untuk mendapatkan sumber makanan bergizi dari hutan tersingkir seiring perubahan sosial ekonomi sebagai dampak degradasi hutan (Kompas, 29/8/2022).

Food estate di Desa Makateri Kecamatan Katikutana, Sumba Tengah, NTT.
Namun, di tengah kian krusial isu ketahanan pangan menyusul dampak pandemi Covid-19, hingga saat ini belum terasa ada kebijakan besar di negeri ini tentang bagaimana membangun sistem pangan berkelanjutan. Sebuah kebijakan yang tak hanya ramah lingkungan dan adaptif dengan perubahan iklim, tetapi juga mengutamakan keragaman gizi.
Padahal, di tingkat global, seiring menguatnya kekhawatiran terkait dampak perubahan iklim, kesadaran dunia terhadap pentingnya ketahanan pangan berkelanjutan dan bergizi makin menguat. Ini seperti tecermin dari hasil-hasil COP27 2022 di Mesir, November lalu, di mana Indonesia menjadi bagian penting di dalamnya.
Pertemuan tersebut merekapitulasi dua hal penting di bidang pangan. Pertama, para pihak sepakat mengadaptasi perubahan iklim dan mengintegrasikan upaya pemulihan ketahanan pangan dan pertanian dengan konservasi ekosistem terkait air, seperti sungai, akuifer, hutan, dan danau.
Kedua, perlunya peningkatan perhatian dan mobilisasi para pelaku sistem pangan terhadap pentingnya pangan bergizi.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sendiri menyebut ketahanan pangan dan gizi adalah penjaminan yang lebih luas daripada sekadar efisiensi dan ketersediaan pangan. UU ini juga menjamin kepastian keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan bermutu dan bergizi seimbang, merata, dengan memanfaatkan sumber daya dan budaya lokal.
Indonesia sesungguhnya diberkati dengan biodiversitas yang kaya, termasuk ragam pangan lokal, yang berpotensi sebagai sumber pangan berkelanjutan.
Empat strategi
Indonesia sesungguhnya diberkati dengan biodiversitas yang kaya, termasuk ragam pangan lokal, yang berpotensi sebagai sumber pangan berkelanjutan. Negeri ini memiliki 77 jenis sumber karbohidrat tanaman pangan, 389 jenis buah-buahan, 77 jenis sumber protein, dan 228 jenis sayuran (Sumadhi dan Mallipu, 2021).
Sumber-sumber pangan potensial yang justru tenggelam oleh beras dan terigu. Meningkatkan produksi dan konsumsi pangan lokal akan mendukung rencana pemerintah menuju pangan berkelanjutan tanpa harus merusak hutan.
Pola makan berbasis pangan lokal memiliki potensi untuk mengurangi emisi GRK, degradasi hutan, risiko makanan rusak selama proses transportasi, selain juga meningkatnya rasa memiliki terhadap identitas lokal, dan akses masyarakat perdesaan terhadap makanan sehat semakin tinggi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus fokus pada empat strategi. Pertama, memperpendek rantai pasokan makanan antara petani dan konsumen dengan mengampanyekan pangan lokal. Konsumsi pangan lokal memainkan peran kunci dalam memastikan kelancaran distribusi makanan antara petani dan konsumen, menurunkan harga pangan, sekaligus meningkatkan kualitas makanan.
Kedua, meningkatkan produktivitas hasil melalui pertanian regeneratif. Pertanian regeneratif adalah salah satu titik kritis dalam mendukung lebih banyak sistem pertanian berkelanjutan melalui penggunaan pupuk organik, pengelolaan tanah dan ternak secara bertahap, sehingga dapat mendorong produksi pangan bergizi dan menurunkan emisi GRK.

Ada lima potensi manfaat dari penerapan pertanian regeneratif, yakni membaiknya kembali kesehatan tanah, meningkatnya kualitas udara, produk pertanian lebih beragam, peningkatan produktivitas pangan, dan keuntungan ekonomi dari bergairahnya kegiatan perdagangan produk pertanian.
Ketiga, memanfaatkan teknologi dan data. Pangan lokal berkelanjutan berbasis diet sehat membutuhkan sistem pangan lokal yang disesuaikan dengan kondisi geografis, demografis, dan karakteristik budaya Indonesia yang bervariasi.
Dasbor sistem pangan berbasis kabupaten dapat menyediakan data yang bisa diandalkan bagi pembuat kebijakan lokal, sekaligus gambaran lengkap tentang sistem pangan mereka (dan kabupaten tetangganya), yang bisa membantu mereka untuk mengidentifikasi potensi masalah dan menyinergikan langkah bersama.
Di tingkat nasional, dasbor akan memberikan gambaran lengkap sistem pangan negara dan membantu pembuat kebijakan dalam menetapkan prioritas produksi pangan guna mendorong gizi dan kesehatan.
Keempat, dan hal ini paling penting, pemerintah harus berkomitmen kuat untuk mempertahankan dan merestorasi keanekaragaman hayati dan hutan Indonesia.
Dengan terjaganya keanekaragaman hayati dan hutan, Indonesia akan mempunyai modal besar dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan, berbasis lokal, dan bergizi, kini dan ke depan.
Memprioritaskan pangan bukan berarti mengorbankan hutan. Keduanya dapat berjalan secara beriringan. Keseimbangan ini harus selalu menjadi fokus pemerintah dalam membuat program kerja dan kebijakan negara.
Eristyana Yunindio, Sari Program Associate Adolescent Nutrition Global Alliance for Improved Nutrition

Eristyana Yunindio