Kondisi geopolitik, krisis energi, dan resesi ekonomi di sejumlah negara diperkirakan masih akan berlangsung pada tahun 2023. Hal ini perlu diperhatikan oleh investor ritel, selain kondisi ekonomi di AS.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·4 menit baca
Ada banyak faktor yang memengaruhi investasi pada tahun 2023 mendatang. Sebagian masih merupakan faktor yang terjadi pada tahun 2022.
Salah satunya, faktor eksternal berupa ketidakpastian geopolitik akibat terjadinya invasi Rusia ke Ukraina yang belum juga selesai. Ketegangan ini menjadi salah satu penyebab pasokan gas di kawasan Eropa terganggu. Akibatnya, musim dingin dilalui lebih dingin lagi.
Italia, misalnya, akan menghadapi kekurangan pasokan gas sebanyak 5 miliar-6 miliar kubik pada musim dingin 2023, bahkan sampai 2024, jika tidak ada regasifikasi baru. Pasokan gas ke Italia yang semula 40 persen dari Rusia turun menjadi 10 persen, digantikan dengan pasokan dari Aljazair dan negara-negara Nordik.
Di Eropa, tidak hanya harga energi yang meningkat pesat. Harga gas juga sudah naik 111 persen dari tahun 2021. Tagihan listrik pun naik 60 persen, menurut data Indeks Harga Energi Rumah Tangga.
Kenaikan harga energi ini membuat inflasi melonjak. Inggris mengalami inflasi 11 persen pada Oktober, tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Pada November, angkanya sedikit turun menjadi 10 persen. Inflasi di zona Eropa diperkirakan akan mencapai 10 persen pada November.
Inggris sudah jatuh ke dalam resesi, yaitu pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. Pada tahun 2023 mendatang, diperkirakan Rusia, Italia, dan Jerman juga akan mengalami resesi. Krisis energi diperkirakan masih akan terjadi pada tahun 2023.
Bagaimana dengan kawasan Asia? Inflasi tinggi di Sri Lanka telah membuat negara itu jatuh ke dalam resesi. Pertumbuhan ekonominya terkontraksi 10 persen antara Juli dan September tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara pada April hingga Juni 2022 terjadi kontraksi 8,4 persen.
Selain faktor eksternal, hal lain yang perlu diperhatikan investor ritel adalah langkah bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed). Suka atau tidak suka, perjalanan sejarah telah membentuk bank sentral AS ini menjadi sumber likuiditas global.
Sejak tahun 2022, Fed telah menaikkan suku bunga secara bertahap untuk melawan inflasi. Inflasi di AS terjadi karena permintaan barang yang sangat tinggi, tetapi pasokan tidak mencukupi.
Sepanjang pandemi Covid-19, Fed mengucurkan stimulus tak terbatas. Akibatnya, gaji naik dan tabungan masyarakat bertambah, tetapi barang tidak tersedia. Pabrik pemasok, seperti yang berlokasi di China, belum sepenuhnya beroperasi akibat pandemi. Permintaan barang yang tinggi diperparah dengan kelangkaan kontainer.
Untuk melawan inflasi, Fed menaikkan suku bunga dan membuat nilai tukar dollar AS menguat terhadap mata uang lain, termasuk rupiah. Sejak awal tahun, dollar AS menguat hampir 9 persen.
Ibaratnya, selembar uang kertas 100 dollar yang disimpan di bawah bantal pada awal tahun bernilai lebih tinggi pada akhir tahun ini. Bank Indonesia dan bank sentral lain pun menaikkan suku bunga untuk membuat mata uangnya juga menarik.
Jika tidak, investor akan lebih tertarik untuk berinvestasi pada aset berdenominasi dollar AS dan meninggalkan aset berdenominasi non-dollar AS.
Bayangkan kalau ada investor yang berinvestasi saham PT ABC Tbk di Indonesia. Ketika merealisasikan keuntungannya dari rupiah ke dollar AS, untungnya akan berkurang sekitar 9 persen karena selisih nilai tukar.
Pada pertemuan yang berlangsung pertengahan Desember lalu, Fed menyiratkan tidak lagi mengambil cara front loading atau menaikkan tingkat suku bunga dengan cepat, tetapi akan lebih memperhatikan data.
Nada Fed menjadi lebih lunak atau dovish dibandingkan pertemuan sebelumnya. Diperkirakan Fed akan terus bertahan pada bunga 5,1 persen sepanjang 2023.
Masih ada kesempatan menaikkan tingkat suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin pada pertemuan Februari dan Maret. Fed New York juga memperkirakan, probabilitas AS akan mengalami resesi pada Oktober mendatang sebesar 38,06 persen.
Para analis di beberapa sekuritas memperkirakan, hingga akhir tahun 2023 rata-rata kurs dollar masih sekitar Rp 15.700-an. Selain itu, harga komoditas yang selama ini menjadi andalan dan penopang tidak terlalu jebloknya rupiah juga akan menurun dan tidak setinggi tahun 2022.
Tantangan lain adalah tertundanya pembukaan perekonomian China. Negara ini banyak dikritik karena kebijakan zero Covid. Pasalnya, jika China terlambat membuka kembali pabriknya, geliat ekonomi di kawasan juga akan berkurang karena ”motor” terlambat dinyalakan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan akan sedikit melemah meskipun kemungkinan mengalami resesi sangat kecil. Berbagai lembaga internasional memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 4,7 hingga 5,1 persen.
Tahun 2023 yang masuk tahun politik biasanya akan diwarnai peredaran uang lebih banyak. Uang yang asal-usulnya kurang jelas ini di sisi lain akan menjaga daya beli masyarakat.
Sektor saham yang masih dapat diandalkan pada tahun 2023 antara lain perbankan yang mendapat keuntungan dari suku bunga tinggi sehingga marginnya menjadi lebih besar.
Sektor saham yang masih dapat diandalkan pada tahun 2023 antara lain perbankan yang mendapat keuntungan dari suku bunga tinggi sehingga marginnya menjadi lebih besar.
Emiten yang terkait dengan pengadaan kendaraan listrik juga dapat diperhatikan. Katalisnya adalah dorongan pemerintah untuk membangun ekosistem kendaraan listrik demi menekan emisi karbon.
Saham dari sektor komoditas, seperti minyak sawit dan batubara, juga masih akan menarik walaupun kemungkinan harga pasaran minyak sawit dan batubara tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Sebaliknya, saham dengan komponen impor atau biaya dalam dollar yang besar tampaknya menjadi kurang menarik.
Walaupun hanya investor ritel, tetap penting untuk mencermati perkembangan situasi pada tahun baru yang sebentar lagi datang.