Menjelang pemberian tugas kebangsawanan bagi pemimpin kedelapan, rasanya pantas untuk mengingatkan pentingnya memilih kebangsawanan budi di atas godaan yang diwarnai gemerlapnya simbol-simbol politik jangka pendek.
Oleh
HERU PRASETYO
·5 menit baca
Acara ”Kebyar Budaya” yang megah dan merakyat bertajuk pernikahan putra Presiden Joko Widodo baru-baru ini mendapat banyak sambutan. Mayoritas kagum dan mengapresiasi dan ada yang menyebutnya royal wedding termegah dalam sejarah Indonesia. Sebuah istilah yang memicu kontroversi karena kata royal biasa disematkan kepada para bangsawan (nobility).
Almarhum ayah saya, Ir RM Sarjadi Hardjosoepoetro—semoga arwahnya beristirahat dalam damai—adalah seorang bangsawan pinggiran dari klan Mangkunegaran. Pernah ikut perang kemerdekaan sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan pengenyam pendidikan kesarjanaan pertanian.
Dalam banyak kesempatan, beliau sering menekankan kepada kami, anak- anaknya, tentang kebangsawanan dan demokrasi. ”Jangan terbuai oleh kebangsawanan darah, binalah adabmu berdasarkan kebangsawanan budi,” begitu nasihat yang menghunjam di hati kami.
”Setiap orang bisa jadi bangsawan,” katanya. ”Enggak usah jauh-jauh ke negara lain, sejarah kita punya seorang Ken Arok yang jadi Raja Singasari dengan nama Sri Rangga Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi dan menjadi bangsawan. Begitu pula Djoko Tingkir yang menjadi Sultan Adiwijaya di Pajang dan Sutawijaya yang menjadi raja Mataram yang pertama dan menurunkan para bangsawan Solo dan Yogya.”
Kebangsawanan darah itu diawali dengan diperolehnya kekuasaan melalui banyak cara. Dalam sejarah, ungkapan vox populi, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan) terbangun mengikutinya.
Dalam masyarakat feodal, vox dei dicari urutannya sebagai wahyu dari langit. Di masyarakat demokratis, vox dei-nya dicari urutannya dari diperolehnya dukungan dari rakyat.
Maka, di tataran wadag, yang tampak dan ditampakkan, kebangsawanan di ukur dari kekuasaan, imaji-imaji yang terkait dengannya, dan ikatan darah yang diturunkannya. Tidak sedikit contoh sejarah dan di kehidupan sehari-hari, kita jumpai bangsawan darah yang kelakuan dan sikapnya jauh dari hal-hal yang pantas dihormati dan dijadikan panutan hidup.
”Maka, janganlah kamu berhenti di tataran wadag, kejar dan dalami terus sampai ke tataran watak. Siapa pun engkau, jadilah bangsawan budi, jangan sekadar bangsawan darah,” demikian pesan ayah saya.
Lalu ia menguraikan pandangannya tentang kebangsawanan budi dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia dan cita-cita yang ditebus dengan darah saudara dan teman-temannya, masyarakat adil makmur yang diurai-sederhanakan dalam Pancasila itu.
”Tanggung jawab seorang yang mengaku bangsawan adalah leadership—kepemimpinan dengan ataupun tanpa otoritas formil, watak bukan sekadar wadag. Cita-cita kemerdekaan Republik ini perlu diusahakan secara lintas generasi, perlu persistensi, konsistensi dan estafet antar pemimpin yang ditugaskan rakyat dalam waktu terbatas”.
Jangka pendek vs jangka panjang
Singkat cerita, saya jadi lebih memahami isi buku The Good Ancestor (Roman Krznaric, 2020). Dalam buku ini, penulis menguraikan tantangan-tantangan riil para ”bangsawan budi” (pemimpin) zaman ini, mempertentangkan cara pikir jangka pendek (short termism) dengan kebutuhan untuk berpikir jangka panjang (thinking long term).
Godaan dari short termism di masyarakat saat ini sungguh teramat kuat: politik mengejar kekuasaan jangka pendek, pengukuran keuntungan bisnis, spekulasi saham, berpacu dalam media sosial, menggali pengaruh lewat event, segala serba instan, dan sebagainya.
Padahal, untuk jadi generasi yang mewariskan kemaslahatan jangka panjang diperlukan karakter kepemimpinan yang, antara lain, mumpuni dalam kerendah-hatian lintas waktu (deep time humility), cara berpikir mewariskan (legacy mindset), keadilan lintas generasi (inter generation justice), lingkup pandang holistik (holistic foresight), dan berpikir lintas batas (helicopter thinking, di buku ditulis cathedral thinking).
Tanggung jawab seorang yang mengaku bangsawan adalah leadership—kepemimpinan dengan ataupun tanpa otoritas formil, watak bukan sekadar wadag.
Saya jadi berpikir dan menalarkan bahwa kebangsawanan budi yang dimaksudkan ayah saya, pejuang kemerdekaan yang saintis dan profesional itu; yang memahami bahwa cita-cita kemerdekaan adalah sebuah tantangan jangka panjang lintas generasi. Mengacu pada watak dan sikap yang perlu dimiliki para bangsawan (baca: pemimpin bangsa dan masyarakat) yang tertimbang berat pada rentang masa jangka panjang.
Bukan hanya pada gelimang citra dari capaian jangka pendek saja
Prinsip-prinsip kebangsawanan budi yang lalu muncul di kepala saya antara lain adalah moral luhur yang kuat (integrity), terus belajar (inquisitive mind), hasrat mendengarkan (propensity to listen), keberanian memutuskan dengan empati (courage and compassion), bertanggung jawab lintas generasi (cross generation accountability).
Selain itu, menyambung yang baik membangun landasan bagi yang berikut (capacity to connect leaders in relay) dan daya pemersatu (ability to unite), yang semuanya menjadikannya bangsawan yang yakin dan dapat dipercaya (trusting and trustable).
Bangsawan dan negarawan
Ayah saya menginsepsikan prinsip kebangsawanan budi kepada anak-anaknya sepanjang hidupnya, bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan sikap hidupnya. Sebagai pegawai negeri sipil yang menolak tekanan korupsi dan hidup sederhana sampai wafatnya, prasetianya kepada kemerdekaan dan cita-cita Republik tak terbantahkan.
Bahkan saat harus merelakan anak bungsunya drop out sebagai mahasiswa karena tak mampu membiayainya lebih lanjut, setelah kakak-kakaknya jadi sarjana beasiswa dan masuk sekolah tentara.
Saya pun seakan baru tersadarkan bahwa kata ”bangsawan” sebenarnya dapat disejajarkan dengan kata ”negarawan”. Apabila ”negara” adalah sebuah konsep imajiner dari kehendak masyarakat untuk bergabung dalam struktur dan tatanan hidup secara lahiriah, secara wadag dan sebagai wadah, ”bangsa” adalah sisi batin dan isinya.
Sedemikian sehingga apabila kita mendambakan kenegarawanan sebagai sikap hidup dan kerja seorang pemimpin, sebenarnya batin kita mendamba ke kebangsawanan sebagai penggerak spiritualnya. Kenegarawanan dan kebangsawanan bukan sekadar kepemerintahan. Akanlah kita menjadi umat yang merugi saat kebangsawanan tidak dimaknai sebagai bangsawan budi.
Sungguh mulia dan jernih hasrat, cita-cita, dan kebijakan (wisdom) dari mereka yang berjuang melahirkan republik ini, bahkan mereka yang tidak tampil di panggung sejarah.
Kita telah menjalani jalur kemerdekaan Republik ini cukup jauh. Sudah ada tujuh tokoh mengemban tanggung jawab dari masyarakat yang belum lepas dari nuansa feodal berabad-abad, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.
Menjelang pemberian tugas kebangsawanan bagi pemimpin kedelapan, rasanya pantas untuk mengingatkan pentingnya memilih kebangsawanan budi di atas godaan (temptation) yang diwarnai gemerlapnya simbol-simbol politik jangka pendek (political short termism).
Ketergodaan yang secara sadar atau tidak membuat seseorang terinspirasi untuk membangun jalur kebangsawanan darah yang baru lagi.
Heru Prasetyo,Ketua Dewan Pembina Indonesia Business Links