Akulturasi budaya yang memperkaya lokalitas yang khas adalah modal tak ternilai. Kota-kota di Maroko, misalnya, tak hanya didominasi Arab-Islam. Ada jejak kolonial Perancis, populasi Yahudi, suku asli, dan pengaruh Asia.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Maroko, negara di ujung utara Benua Afrika, mencuri perhatian publik berkat sepak terjang tim nasionalnya di Piala Dunia 2022. Bagi masyarakat Indonesia, viralnya topik tentang Maroko ikut membangkitkan kenangan pada perjuangan menjadi negara merdeka lebih dari setengah abad lalu dan keberagaman khazanah budaya yang menjadi kekhasan kedua negara bersahabat ini.
Menyambangi Maroko pada awal 2020, rasanya bangga saat melihat langsung Jalan Soekarno di kota Rabat, ibu kota negara itu. Selain Soekarno, ada pula ruas Jalan Jakarta dan Jalan Bandung. Soekarno, Jakarta, dan Bandung memang memiliki arti tersendiri bagi Maroko.
Jejaknya di antaranya dimulai di Bandung saat dihelat Konferensi Asia Afrika pada 1955, yang salah satu agendanya adalah dukungan bagi negara-negara terjajah untuk meraih kemerdekaannya. Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Maroko dari Perancis pada 2 Maret 1956. Kedatangan Presiden Soekarno pada 1960 ke Rabat merupakan kunjungan perdana kepala negara sebuah negara berdaulat ke Maroko pascakemerdekaan.
Penghargaan dan sambutan pertemanan akrab dari Maroko sampai saat ini terwujud dalam aturan bebas visa bagi setiap kunjungan warga negara Indonesia. Hubungan ekonomi, pendidikan, dan kerja sama kota kembar tetap setia dijalin.
Medina secara lebih spesifik menjadi sebutan untuk kota tua yang didominasi budaya Arab-Islam. Meski begitu, pengaruh Afrika, Eropa, khususnya Spanyol dan Portugal, serta Asia berbaur di sana.
Di Jakarta, hubungan akrab Indonesia-Maroko ditandai dengan penamaan Jalan Casablanca sebagai salah satu poros akses tersibuk di wilayah Jakarta Selatan. Kerja sama kota kembar kemudian ditingkatkan menjadi sister province antara Jakarta dan Casablanca Settat (kawasan metro Casablanca) mulai 18 April 2018.
Sebagai negara yang sama-sama terkelompok dalam negara berkembang, Indonesia dan Maroko memiliki banyak hal yang dapat saling dipelajari.
Secara umum, kedua negara memiliki masyarakat yang sebagian besar beragama Islam. Meskipun demikian, Islam bukan satu-satunya pengaruh kuat di kedua negara. Indonesia dan Maroko sama-sama memiliki keberagaman budaya lokal ditambah pengaruh kolonialisasi berabad-abad.
Maroko kini menjadi tempat hidup damai sedikitnya 2.000 orang Yahudi. Bahkan, pernah ada 200.000 orang Yahudi tinggal di sana sebelum negara Israel berdiri tahun 1948. Lebih dari 100 tahun lalu, seorang kulit hitam keturunan budak bernama Ahmed ben Moussa menjadi penguasa Maroko dan tinggal di Istana Bahia di Marrakech.
Menelusuri kota-kota Maroko, seperti di Casablanca, banyak sisi berbeda ditemukan di kota terbesar dan pusat ekonomi ini. Ada kawasan yang didominasi bangunan tinggalan Perancis pada awal 1900-an. Area yang cantik, tetapi belum semuanya terkelola dengan baik, itu mirip dengan Kota Tua di Jakarta Barat. Di sepanjang Pantai Tahiti di tepian Samudra Atlantik, ada bagian kota yang tertata, modern, dan bersih.
Kota-kota di Maroko memang tenar dengan kota tuanya. Di luar kota tua tinggalan kolonial Perancis, ada banyak kawasan yang berusia jauh lebih tua sebagai buah dari perpaduan multikultur yang sangat berharga.
Medina atau kota tua terbesar dapat ditemui di Kota Fes yang diyakini telah berusia 1.000 tahun. Medina secara lebih spesifik menjadi sebutan untuk kota tua yang didominasi budaya Arab-Islam. Meski begitu, pengaruh Afrika, Eropa—khususnya Spanyol dan Portugal—serta Asia berbaur di sana.
Mazid, pemandu wisata saat berada di Fes, tahun 2020 menyebutkan, medina di kota itu memiliki tembok keliling hingga 17 kilometer. Ada lebih dari 12.000 jalan kecil alias gang-gang bak labirin tak berujung yang bisa menyesatkan siapa saja yang tak mengenal kota tersebut.
Di antara gang kecil yang lebarnya bisa hanya setengah meter saja ini, ada oase air mancur, aliran sungai, kompleks masjid dan kampus berusia ratusan tahun, hunian serta pasar. Kota tanpa kendaraan bermotor ini surga bagi pejalan kaki dan kendaraan tradisional tanpa emisi, yaitu keledai dan gerobaknya.
Di kota berbeda, yakni Marrakech, ada medina dengan Jemaa el-Fnaa atau alun-alun lapang penuh atraksi mengejutkan. Turis pasti terheran-heran dengan deretan kepala kambing siap santap atau tarian ular kobra bersama para pawangnya di sana. Jemaa el-Fnaa juga menjadi tempat perjumpaan lebih dekat dengan suku asli Maroko, yaitu Berber. Ciri mereka, terutama kaum perempuan, ada tato di dagu dan dahi. Di alun-alun itu, mereka sering menawarkan layanan tato henna bagi turis.
Berber adalah suku asli Maroko. Meski demikian, keturunan Berber ada yang berkulit lebih terang atau putih, lebih gelap atau hitam seperti sebagian besar orang Afrika, ada pula yang coklat layaknya orang Arab.
Peleburan budaya selama berabad-abad dengan penjajah Eropa dan kedekatan dengan Arab ataupun bangsa Asia telah memengaruhi Berber tanpa membuatnya kalah atau hilang. Berber sendiri tetap menjadi kebanggaan Maroko, yang terlihat dari bahasa suku tersebut yang masih menjadi salah satu bahasa nasional di sana.
Berbagai budaya saling berinteraksi dan memengaruhi tanpa ada yang benar-benar dominan selain hasil akulturasi berupa budaya khas Maroko itu sendiri. Melihat itu, Indonesia dapat berbangga diri karena memiliki keragaman serta kekhasan dari Sabang sampai Merauke yang tak kalah dibanding Maroko.
Catatan UNESCO, Maroko sukses mengelola aset kota tua dan kekayaan budayanya sebagai tujuan wisata. Sepanjang tahun 2019, lebih dari 10 juta wisatawan asing masuk ke negara seluas sekitar 711.000 kilometer persegi tersebut. Pada tahun yang sama, Badan Pusat Statistik mencatat ada 16,1 juta wisatawan asing ke Indonesia yang total luas wilayahnya 1,9 juta kilometer persegi atau hampir tiga kali lipat Maroko.
Membandingkan dengan Maroko, bisa jadi masih sedikitnya turis asing ke Indonesia karena negara ini tergolong masih baru dalam memanfaatkan pesona kota-kota tua dan budaya khas dari berbagai daerah untuk menggerakkan industri wisatanya. Daya tarik wisata tentu saja hanya satu sisi potensi dari kekayaan kekhasan lokal di setiap kota, di setiap negara.
Keberagaman yang terbentuk dari perpaduan berbagai budaya adalah warisan kekayaan yang menjadi aset tak ternilai. Modal besar yang tak bakal habis itu masih menunggu untuk dikelola di sektor lain, termasuk memupuk kepercayaan diri, bukan sebagai pemantik konflik bangsa sendiri. Maroko tetaplah Maroko yang khas meskipun ada jejak Perancis dan bangsa-bangsa lain di sana. Demikian pula Indonesia, punya jejak pembentuk keunikannya sendiri.