Sejarah masa kolonial Belanda di Pulau Bangka, ada keterkaitannya dengan sejarah perjuangan antikolonial di Pulau Timor. Baki Koi atau Bakikooi, penguasa (fettor) Takaip pada abad ke-19 dan pejuang hebat antikolonial.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Ketika mempelajari sejarah masa kolonial Belanda di Pulau Bangka, saya menemukan keterkaitannya dengan sejarah perjuangan antikolonial di Pulau Timor dan hal penting ini membuat saya membaca Inventaris Arsip Timor yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia pada 1998.
Melalui arsip Timor itu saya mengenal Baki Koi atau Bakikooi (namanya dalam arsip). Ia adalah penguasa (fettor) Takaip pada abad ke-19 dan pejuang hebat antikolonial Belanda di Pulau Timor (1855-1863). Keterangan tentang perlawanannya tertera dalam arsip bulan Juli 1855: “Masih tentang Takaip yang Fettor-nya bersama penduduk di Soengei Leo tidak rela tunduk kepada kekuasaan Belanda.”
Baki Koi terus membangun basis perlawanan. Ia cerdik menghindari penangkapan. Pada April 1856, Belanda mengerahkan pasukan infanteri ke Babau dan Pariti untuk menggempur benteng pertahanannya. Lagi-lagi, Baki Koi lolos. Ironisnya, ia ditangkap oleh orang-orang Bangka yang menjadi kolaborator kolonial.
Dua pemberontak asal Bangka, Amir dan adiknya, Hamzah, dibuang ke Kupang, Timor, sesudah mereka menyerahkan diri kepada Belanda. Di pembuangan, mereka menjadi kolaborator setia Belanda dan menerima gaji 50 gulden tiap bulan. Gaji mereka dinaikkan dua kali lipat atau sebesar 100 gulden, karena berhasil menangkap Baki Koi, musuh bebuyutan Belanda. Pada 2015 dan 2018, dua surat kabar yang masing-masing terbit di Pulau Bangka dan Pulau Belitung memuat wawancara dengan keturunan Hamzah di Kupang yang menguatkan fakta sejarah tentang peran strategis Amir dan Hamzah dalam operasi khusus penangkapan pejuang Timor itu: mereka memperoleh gelar kehormatan Ridder in de Orde van Orange-Nassau dari Belanda atas jasa mengakhiri perlawanan Baki Koi.
Amir dan Hamzah menaati teladan ayahnya, Barin, sampai akhir hayat sebagai abdi setia Belanda.
Memori hidup, memori kolektif, dan fakta sejarah rakyat Bangka melawan kolonialisme Barat dan kebiadaban bajak laut di Pulau Bangka menempatkan Amir, Hamzah adiknya, Barin ayahnya, dan Anggur kakeknya sebagai pengkhianat.
Bangka-Belitung adalah bagian negara Palembang sampai 1812. Setelah itu, wilayah ini menjadi sasaran kolonialisme Barat.
Di masa negara Palembang, Anggur dan Barin mengkhianati negaranya dan rakyat Bangka dengan menjadi sekutu musuh yang menginvasi Pulau Bangka, yaitu negara Riau Lingga. Pasukan Riau Lingga yang dipimpin Panglima Raman menghancurkan permukiman, merampas harta benda, membunuh, menangkap, dan menjual orang Bangka sebelum akhirnya dikalahkan pasukan negara Palembang pada 1804. Sultan Mahmud Badaruddin II memerintahkan Kemas Ismail, panglima pasukan Palembang, untuk mengejar ayah dan anak itu, tetapi mereka kabur bersama Panglima Raman ke Lingga. Anggur tewas di atas kapal, karena terluka parah.
Laporan resmi Thomas Horsfield kepada Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles pada 5 Agustus 1847 menunjukkan kerusakan dan kehancuran di Bangka akibat serangan pasukan negara Riau Lingga, yang dipimpin Panglima Raman. Pasukan ini juga terdiri dari bajak laut berbagai bangsa. Laporan Horsfield dimuat dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Vol. 2, No. VI, Juni 1848, dengan judul “Report on the Island of Banka”.
Pasukan bajak laut yang menguasai Koba menangkap orang Bangka untuk dijual dan merampok harta benda mereka. Pasukan ini menghancurkan permukiman, mulai dari Tanjung Berikat sampai Sungailiat. Kotawaringin dan Tempilang dijarah. Penduduk ditawan. Berdasarkan laporan Horsfield, Demang Singayuda adalah satu-satunya orang Palembang yang berhasil menyerang para bajak laut di sekitar Sungai Jering dan Kotawaringin untuk membebaskan tawanan. Orang Arab dan Cina bahu-membahu menghalau pasukan bajak laut.
Barin meninggalkan Lingga dan kembali tinggal di Pulau Bangka sesudah mendapat pengampunan Sultan Mahmud Badaruddin II. Sultan yang pemaaf mengangkatnya menjadi batin di daerah Jeruk. Ia lebih dikenal sebagai Batin Jeruk.
Ketika rakyat Bangka berperang melawan kolonial Belanda, Batin Barin sibuk bermain mata dengan penjajah. Tanda-tanda pengkhianatannya makin jelas sejak ia menyerahkan dua putra Demang Singayuda, Jaya dan Jamal, kepada pasukan Belanda.
Pada 1820, Demang Singayuda gugur melawan pasukan Belanda di Kotawaringin. Dua putranya diselamatkan oleh Cekong Muncul, panglima perangnya, yang membawa mereka ke daerah Jeruk. Alih-alih melindungi dua putra pahlawan Bangka dari musuh, Barin menyerahkan mereka kepada pasukan musuh di tengah situasi perang. Setelah itu ia berunding dengan Belanda melalui surat-menyurat hingga memperoleh gaji, jabatan, dan hak mengelola tambang timah.
Berbeda dengan Barin yang menutup mata dalam kemakmuran dan kesenangan,
Batin Tikal (bernama asli Syeh Ahmad, pelanjut nasab Syeh Yusuf Al Makassari) dihukum buang seumur hidup ke Manado pada 1851 hingga akhir hayatnya. Perjuangan panjangnya melawan kolonialisme Belanda dilanjutkan Baki Koi di Timor dengan melawan Belanda dan dua putra Barin, Amir dan Hamzah.