Narasi kebencian, penghinaan, radikalisme, dan intoleransi bebas disuarakan dan dilakukan oleh pemuka agama karena merasa dirinya pihak mayoritas dan memiliki banyak pengikut.
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·3 menit baca
Dalam beberapa kali penerbitan di Kompas, ada tulisan-tulisan tentang prestasi di bidang olahraga, baik oleh putra-putri bangsa Indonesia secara umum maupun mahasiswa Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, secara khusus.
Prestasi STIN acap diklaim hasil binaan Badan Intelijen Negara (BIN), bahkan dalam foto tampak para pejabat BIN dengan seragam kemiliterannya hadir dalam upacara penghormatan atas prestasi olahraga tersebut.
Jika kita mundur lebih jauh ke belakang, banyak artikel yang terbit di Kompas, yang berhubungan dengan pandangan atau opini dari BIN ataupun kepala BIN dalam berbagai topik. Mulai dari persoalan Covid-19, harga minyak goreng, hingga kelangkaan bahan bakar minyak.
Baru-baru ini, Agus Sujatno yang dulunya perakit bom panci Cicendo, setelah bebas dari penjara, malah menjadi pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat. Dari berita Kompas yang saya baca, maaf kalau keliru, keterangan dan analisis tentang peristiwa tersebut diperoleh dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT), Densus 88, dan Menko Polhukam.
Sampai saat ini, di Kompas belum pernah saya menemukan dan membaca artikel BIN tentang berbagai kerawanan teror di Indonesia. Padahal, aksi klitih di Yogyakarta dan aksi penyerangan yang dilakukan geng-geng motor di beberapa kota yang menggunakan senjata tajam, serta tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa adalah benih-benih terorisme yang tumbuh subur di Indonesia saat ini.
Mereka tidak takut aparat dan hukuman. Bahkan, di Yogyakarta, malam setelah pukul 22.00, melalui iklan di radio, warga diimbau untuk tidak keluar rumah.
Narasi kebencian, penghinaan, radikalisme, dan intoleransi bebas disuarakan dan dilakukan oleh pemuka agama karena merasa dirinya pihak mayoritas dan memiliki banyak pengikut. Terorisme sekarang sudah menjadikan aparatur negara sebagai target, selain masyarakat minoritas. Mengerikan, bukan?
Zaman Presiden Soeharto berkuasa, saya ingat bagaimana intelijen memata-matai rakyatnya sendiri sehingga ada peringatan untuk hati-hati berbicara. Sekarang zaman sudah berbeda, tetapi perang di antara sesama warga negara menjadi kewajaran.
Djoko Madurianto SunartoJl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Nasib Pemain Naturalisasi
Meski kompetisi nasional harus dihentikan sementara karena Tragedi Kanjuruhan, di sisi lain ada peristiwa Piala Dunia yang pas untuk memikirkan nasib para pesepak bola kita.
Selama ini Indonesia menggebu-gebu menarik para pemain asing untuk membela nama Indonesia melalui program naturalisasi. Kita sangat diuntungkan dengan kesediaan mereka membela Merah Putih dengan pindah kewarganegaraan.
Pemain-pemain seperti Elkan Bagott (Ipswich), Jordi Amat (Johor), Sandy Walsh (Zulte Waregem), terakhir ada lagi dua pemain Ivan Jenner dan Rafael Struick, entah dari klub apa, menjadi warga negara Indonesia.
Namun, jadi pemain andal waktunya ternyata tidak lama. Nasib mereka ada di tangan pelatih. Begitu tidak dipilih pelatih, mereka tidak bisa bertanding. Apalagi, pada usia 30-an, permainan mereka juga menurun.
Saya tidak tahu bagaimana nasib pemain-pemain naturalisasi masa lalu. Sebutlah yang memilih hidup di Indonesia, seperti Cristian Gonzales (Uruguay), Diego Michiels, Irfan Bachdiem, Stefano Lilipaly, Raphael Maitimo, Sergio van Dijk (Belanda), Viktor Igbonefo, Greg Nwokolo (Nigeria), atau Ilija Spasojevic (Montenegro).
Memang itu urusan pribadi masing-masing, tetapi ada baiknya memikirkan masa depan mereka setelah menjadi warga negara Indonesia. Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan warganya, termasuk sesudah mereka tak terpakai.
Renville Almatsier Jl Ki Hajar Dewantara, Ciputat, Tangsel 15411