
Anak lelaki saya sedang menempuh studi di National Taiwan University of Science & Technology (NTU ST, Taiwan Tech)
di Taipei, Taiwan. Ia mendapat akomodasi di kompleks universitas bersama lima mahasiswa lain dari Indonesia. Mereka masih muda-muda, dari beberapa universitas negeri di Indonesia.
Satu mahasiswa, 23 tahun, sedang studi S-2 bidang teknik sipil dengan biaya mandiri. Mahasiswa lain berusia 26 tahun, sedang studi S-3 bidang teknik komputer, mendapatkan beasiswa parsial dari universitas.
Empat mahasiswa lain, termasuk anak laki-laki saya, berusia 24-26 tahun, menempuh studi S-3 bidang teknik mesin. Semua mendapat beasiswa penuh dari universitas.
Saya bisa membayangkan, mereka akan mendapatkan gelar PhD dalam usia relatif muda. Mungkin sekitar 28 tahun, sudah akan menyelesaikan studinya.
Artinya, anak-anak Indonesia hebat dan pintar-pintar. Fenomena semacam ini tidak hanya di Taiwan. Mereka juga tersebar di sejumlah universitas ternama di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, serta beberapa negara lain.
Ada yang mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia melalui Program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), ada yang dari lembaga-lembaga pemberi beasiswa yang berafiliasi dengan negara penyandang dana. Belum lagi yang mendapat beasiswa langsung dari universitas.
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab besar, yaitu bagaimana mengakomodasi mereka setelah kembali ke Tanah Air. Sebab, kabarnya, banyak intelektual muda Indonesia enggan pulang karena sulit mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya, sementara di luar negeri kesempatan sangat luas.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya lebih banyak memberikan kesempatan kerja kepada lulusan luar negeri untuk mengisi posisi-posisi tenaga ahli, melalui perekrutan khusus. Walaupun bukan untuk diberi keistimewaan, artinya proses seleksi sesuai dengan peraturan tetap dijalankan. Saat ini, Kementerian BUMN memang cukup sering membuka lowongan untuk perusahaan di bawah naungan BUMN, tetapi transparansi dari proses perekrutan masih sering dipertanyakan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) seyogianya juga bisa menjaring lulusan dari luar negeri sebanyak mungkin, untuk mengisi posisi-posisi akademis sebagai tenaga pengajar atau ahli-ahli riset di lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. Dengan anggaran 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tentunya Kemendikbudristek bisa leluasa mengakomodasi para intelektual muda untuk berkiprah di negeri sendiri.
Semoga Kemendikbudristek mempunyai data memadai tentang demografi anak-anak Indonesia yang sedang belajar di luar negeri ini agar penempatan bisa sesuai kebutuhan dan keahlian.
Jangan biarkan para intelektual muda kita memilih negara-negara yang bisa memanjakan mereka.
Samesto NitisastroPraktisi SDM, Pesona Khayangan, Depok 16411
Renovasi Halte Transjakarta

Saya hanya ingin menambahkan informasi untuk berita di Kompas (29/11/2022) berjudul ”Halte Ikonik Tak Nyaman”. Dalam berita tersebut diinformasikan halte Transjakarta depan Gereja Koinonia, Jakarta Timur, menghalangi Monumen Perjuangan Jatinegara berupa seorang tentara dan anak kecil.
Sebelum ada halte tersebut, yang kini sudah hampir rampung pembangunannya, kita bisa menyaksikan keberadaan Monumen Perjuangan Jatinegara dari kejauhan, dari arah Matraman.
Tidak diketahui juga atas usul siapa, mengapa beberapa halte Transjakarta bentuknya ”ikonik”.
Dengan kehadiran monumen, sebenarnya kita bisa mengajarkan kepada ke generasi penerus tentang apa arti monumen tersebut, bagaimana sejarahnya, dan kenapa pemerintah membuat suatu monumen di lokasi tersebut (yang tentu saja tidak asal taruh).
Dikarenakan Monumen Perjuangan Jatinegara sudah tidak elok lagi bentuk, visual, dan lokasinya, sebaiknya dibongkar dan diletakkan di lokasi lain yang lebih sesuai untuk menonjolkan kehadiran monumen tersebut.
Ke depan, saya berharap BUMD-BUMD, demikian juga Pemprov Jakarta dan pemprov-pemprov di daerah lain, untuk belajar dari kasus ini. Jika hendak merevitalisasi suatu halte, bangunan, atau apa pun, sebaiknya memperhatikan situasi lingkungan secara menyeluruh.
Dengan demikian, tidak hanya memperhatikan estetika, visual, dan fungsi bangunan itu sendiri, tetapi juga keberadaan monumen ataupun bangunan lain yang ada di sekeliling bangunan yang hendak direvitalisasi.
Boyke Nainggolan Jl Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta 13460