Media, Tahun Politik dan Permainan
Sah-sah saja media mengambil posisi politik, tetapi pemihakan seperti itu tak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (2006). Sejarah membuktikan, media yang berpihak, yang partisan, telah kehilangan kepercayaan publik.
Seperti apa wajah media di Indonesia pada 2023? Akankah media di Indonesia mengambil posisi independen pada tahun kontestasi politik 2023-2024?
Jika media cenderung partisan, apakah ada cara untuk menegasinya? Bagaimana pula kondisi media di tengah kelesuan perekonomian global?
Wajah media di Indonesia pada tahun 2023 tak akan berbeda dengan masa ketika pemilu dilakukan pada 2014 dan 2019. Masih ada media yang mencoba untuk independen pada masa Pemilu 2014 dan 2019, tetapi lebih banyak media yang cenderung berpihak kepada salah satu kontestan pemilu.
Sah-sah saja mengambil posisi politik, tetapi pemihakan seperti itu sebenarnya tak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (2006). Sejarah sudah membuktikan, media yang berpihak, yang partisan, telah kehilangan kepercayaan publik dan tak lama bertahan di pasaran.
Siapa yang tak ingat kedigdayaan koran Suara Karya yang pada masa Orde Baru (terbit sejak 1971) merasakan sebagai koran pemerintah, dengan dukungan tinggi dari Golkar (yang tak mau disebut partai politik saat itu). Hari ini Suara Karya tinggal kenangan, tidak lagi hidup di antara kita karena juga masa Orde Baru telah lama usai.
Kita juga ingat koran Jurnal Nasional (terbit sejak 2006) yang muncul saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden ke-6 RI. Koran ini kerap disebut memiliki kedekatan khusus dengan SBY ataupun Partai Demokrat, pengusungnya. Koran ini bertahan selama delapan tahun. Namun, setelah era SBY selesai, koran ini pun meredup dan menghilang (tutup pada 2014).
Sejarah sudah membuktikan, media yang berpihak, yang partisan, telah kehilangan kepercayaan publik dan tak lama bertahan di pasaran.
Hari ini kita bisa menyebut media-media di bawah Grup MNC adalah media yang partisan karena pemiliknya, Hary Tanoesoedibyo, menggunakan media dalam grup ini untuk mendukung kepentingan politik dirinya dan Partai Perindo yang dipimpinnya. Kita juga melihat bagaimana Grup Media mengabdi pada kepentingan Surya Paloh dan Partai Nasdem yang ia pimpin.
Dari survei yang dilaporkan Digital News Report 2022 olahan Reuters Institute, untuk laporan tentang Indonesia, dari sisi brand (jenama) media yang dikenal publik, Metro TV masih masuk sebagai nomor tiga, sedangkan Seputar Indonesia RCTI masuk sebagai nomor tujuh. Namun, dalam kategori jenama yang bisa dipercaya publik, kedua nama ini tak ada dalam kategori tersebut.
Menegasi media partisan
Kita juga mengetahui bahwa setelah kontestasi pemilu berakhir pada 2014 dan 2019, banyak jurnalis atau karyawan perusahaan media yang partisan tersebut kemudian berpindah ke media lain. Artinya, jika mereka memiliki peluang untuk berpindah, mereka akan melakukannya. Fenomena ini mengindikasikan para karyawan media yang profesional akan merasa gerah bekerja pada media yang partisan tersebut.
Syukurlah di era demokrasi sekarang ini, media arus utama sebagaimana disebut di atas bukan lagi pemilik suara satu-satunya. Kita pun mengetahui, selain masih ada media lain yang bersikap independen, publik pun memiliki media sosial masing-masing yang juga sering dipergunakan untuk menyuarakan isi hati seseorang ataupun publik. Jadi, di sini tak ada lagi suara tunggal yang mewarnai jagat media kita.
Liputan media yang partisan pun dengan mudah ditolak atau dimunculkan narasi tandingannya. Era editor media yang dianggap tahu segala apa yang dibutuhkan pembaca atau audiensnya tak lagi berlaku. Cuitan para warganet Indonesia mudah membuat gaduh tentang berbagai hal, termasuk politik.
Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis November 2022 memprediksi, pemilih muda (17-39 tahun) dalam Pemilu 2024 akan mencapai 190 juta orang (60 persen). Dengan kecenderungan mereka adalah para pengguna media sosial, kita bisa membayangkan betapa riuh rendah perhelatan pemilu mendatang.
Di satu sisi kita merasakan terjadinya ”demokratisasi komunikasi” dan informasi tak lagi dimonopoli media arus utama, ataupun para elite politik; tetapi di sisi lain kita juga berhadapan dengan fenomena misinformasi, disinformasi yang dilakukan para politikus terhadap lawan-lawan politik.
Sebagai warga kita pun harus awas, sadar, peka terhadap fenomena ini, dan kita pun harus membekali diri kita dengan kemampuan untuk mendeteksi mana konten asli (genuine) atau konten yang merupakan fabrikasi (palsu).
Harus diakui hal ini tidak mudah dilakukan mengingat kemampuan untuk mengedit foto, video, membuat teks narasi yang mengecoh, kini dimiliki oleh semakin banyak orang.
Baca juga : Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik
Belum lagi teknologi yang disebut sebagai deep fake yang bisa menghasilkan narasi audio dan video yang seolah-olah asli, padahal itu adalah fabrikasi yang didapat dari hasil mesin pintar (machine learning) membaca ratusan hingga ribuan pidato seseorang dan mesin ini bisa menghasilkan narasi tertentu yang berbeda sama sekali dari yang dilakukan oleh sosok tertentu.
Di sisi lain para aktivis yang memerangi misinformasi, disinformasi, pasti akan bekerja keras untuk menghadapi informasi yang menyesatkan itu. Ini juga bukan pekerjaan mudah karena menghadapi informasi menyesatkan itu ibarat baru memadamkan api di satu titik, api di titik-titik lain pun bermunculan.
Kita pun sudah lama diingatkan agar kontestasi politik di Pemilu 2024 tak menggunakan politik identitas yang membuat bangsa kita jadi terbelah-belah. Ketika sudah terbelah, sulit menyatukannya. Meski demikian, indikasi untuk menggunakan politik identitas pun sudah mulai kita lihat di sana-sini. Saat agenda kampanye pemilu resmi belum lagi diumumkan, kampanye terselubung sudah terjadi di mana-mana.
Ilustrasi
Faktor lesunya perekonomian
Sejak pertengahan November 2022, kita membaca banyak kabar terkait pemutusan hubungan kerja di sejumlah perusahaan berbasis digital. Sejumlah jenama yang tadinya mencuat di pasar terpaksa harus merampingkan diri atau bahkan tutup di tengah persaingan ekonomi yang luar biasa keras. Media pun menghadapi tantangan yang sama.
Situasi ekonomi saat ini memang tak mudah. Sejumlah surat kabar menutup diri dalam beberapa tahun terakhir. Transformasi digital di industri media rupanya juga menjadi suatu bagian dari seleksi pasar terhadap media mana yang bisa bertahan melayani publik. Media yang telah berusia beberapa dekade pun tak selamat dari ancaman penutupan karena faktor ekonomi.
Kondisi ini sudah terjadi di Amerika Serikat (AS) pada dekade pertama abad ke-21, tetapi kini banyak media di AS yang sudah bisa beradaptasi dengan kondisi pasar yang baru. Di Indonesia, kelihatannya masih membutuhkan penyesuaian-penyesuaian baru terhadap kondisi pasar saat ini, sambil mencari solusi-solusi kreatif dalam menghadapi tantangan yang tidak mudah ini.
Namun, lesunya perekonomian nasional dan global seharusnya tak menutup ruang kreativitas yang bisa dikembangkan perusahaan media. Media dituntut menjadi lebih terbuka dengan audiensnya, melihat audiens bukan semata barisan statistik di dalam layar. Media juga dituntut menggunakan sejumlah teknologi baru, sejauh memadai untuk kebutuhan media dan audiensnya.
Lucy Kng, profesor ahli ekonomi media dari Swedia, bahkan mengatakan bahwa ke depan mungkin berita sudah ada yang ditulis dalam bentuk coding.
Transformasi digital di industri media rupanya juga menjadi suatu bagian dari seleksi pasar terhadap media mana yang bisa bertahan melayani publik.
Kita juga mengetahui perusahaan media hari ini berhadapan dengan perusahaan platform raksasa yang mendominasi pendistribusian konten media, dan tarik-menarik antara kepentingan media pembuat konten dan perusahaan platform ini masih terus terjadi. Ada upaya untuk membuat kondisi ini menjadi lebih adil, tetapi jalan ke sana tidaklah mudah dan membutuhkan pengaturan yang detail (Sudibyo, 2022). Media di sejumlah negara Eropa dan Australia sudah berhasil bernegosiasi, tetapi untuk situasi di Indonesia masih harus dilihat beberapa waktu ke depan.
Arena jurnalistik Bourdieu
Sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), menjelang akhir masa hidupnya mengembangkan salah satu konsep yang menarik dan ia sebut sebagai journalistic field (arena jurnalistik). Ia menyebutkan konsep soal arena jurnalistik sebagai suatu keseharian yang dilakukan jurnalis ataupun organisasi media dalam menghadapi arena sosial politik di mana media juga ikut terlibat di dalamnya. Bourdieu mengakui, media sendiri memiliki sejumlah ketergantungan dalam dirinya, baik terhadap pengiklan, parpol, maupun lainnya.
Sebagaimana arena lain, media juga hidup bersama mereka yang berkontestasi untuk merebut kekuasaan; antara mereka yang hendak mempertahankan kekuasaan dan mereka yang hendak merebut kekuasaan. Namun, bagi Bourdieu, arena ini harus dilihat sebagai suatu permainan dengan aturan-aturan tertentu yang digunakan sesuai kesepakatan. Dalam arena itu mereka yang bertarung akan memanfaatkan kapital (modal) yang dimiliki, baik kapital ekonomi, sosial, budaya, simbolis, maupun paduan dari beberapa kapital tersebut.
Dengan menggunakan cara pandang Bourdieu ini, kita bisa melihat bahwa kontestasi Pemilu 2024 akan mendudukkan media sebagai salah satu aktor penting yang turut berkontestasi, tetapi ia terikat dengan doxa (aturan-aturan main). Dan dari pertarungan itu kita akan melihat siapa yang unggul, dan kapital apa yang paling membuatnya jadi pemenang dalam pertarungan itu?
Apakah karena dukungan kapital ekonomi (kekayaan, dukungan uang), kapital sosial (afiliasi atau jaringan, keluarga, warisan budaya atau warisan, agama), kapital budaya (pengetahuan, selera, estetika, dan preferensi kultural tertentu, bahasa, narasi, dan suara)?
Jika kita membicarakan media sebagai bagian dari keadaban publik, kita berharap media harus menjadi penyampai informasi yang independen (tidak didikte pihak lain).
Media harus memberikan informasi seluas-luasnya atas para kandidat yang bertarung (bukan hanya capres atau cawapres, melainkan juga calon anggota legislatif di pusat dan daerah, serta calon anggota DPD) sehingga masyarakat nantinya akan memilih sosok yang memang diyakini memiliki kemampuan sebagai pemimpin daerah, pemimpin nasional, dan juga akan mewakili Indonesia dalam pergaulan di dunia internasional.
Lebih dari itu semua, hendaklah kita melihat pemilu tidak lain dari suatu permainan demokrasi, permainan di mana kita mengupayakan yang terbaik untuk berperan, tetapi dibutuhkan jiwa sportif jika melihat kandidat yang kita dukung ternyata belum beruntung.
Nicolaus Drijarkara, salah satu pelopor pendidikan filsafat di Indonesia, pernah mengemukakan, ”Bermainlah dalam permainan, tetapi jangan main-main. Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.”
Ignatius Haryanto Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Banten