Untuk mempromosikan ekonomi digital di pedesaan, pemerintah harus mendidik pejabat tingkat pemerintah daerah sampai tingkat pedesaan, dengan keterampilan dan literasi digital, dengan mencipta pusat-pusat umum internet.
Oleh
Albert Widjaja
·5 menit baca
Salah satu perhatian Deklarasi G20 di Bali adalah, masyarakat perlu mengubah pola bekerja dan berpikir dari gaya ekonomi industri. Perubahan menuju ekonomi digital untuk mencipta revitalisasi yang inklusif pada peningkatan kualitas hidup pekotaan dan pedesaan. Dengan digitalisasi di pedesaan, petani dapat mencermati data hama, sehingga pengendalian hama dapat membawa hasil panen yang tinggi.
Deklarasi Sidang G20 Kepala Negara di Bali tanggal 15-16 November 2022 menyatakan, antara lain, bahwa adanya pandemi Covid-19 telah mempercepat transformasi motor kehidupan dengan pemanfaatan teknologi digital untuk memperluas praktek ekonomi digital.
Tranformasi digital tersebut menjadi penting karena ekonomi digital diperlukan memfasilitasi tercapainya target Sustainable Development Goals (Sasaran Pembangunan Berkelanjutan); antara lain pemberantasan kemiskinan, pemakaian energi bersih, pola kerja produktif dan pertumbuhan ekonomi yang menata nilai hidup.
Ekonomi digital bercirikan transformasi dari kegiatan ekonomi tradisional yang terkotak-kotak menjadi kegiatan jejaringan produktivitas sebagai hasil dari keterkaitan prakarsa antara manusia, bisnis, internet dan data, yang mengarah pada penciptaan nilai ekonomi yang bersifat inklusif bagi semua orang tanpa kecuali.
Menjangkau pasar
Menurut Martins dan Olivira (2010) dari Portugal, masyarakat negara berkembang sebetulnya sudah bisa dan mudah memanfaatkan teknologi digital yang menyediakan informasi yang mengandung pengetahuan, keterampilan berbisnis, kearifan berpikir, dan prakarsa inovasi, untuk mencipta nilai bagi kemakmuran hidup. Manusia tak perlu lagi menunggu petuah dari orang orang tua untuk mencipta produktivitas ekonomi.
Namun teknologi digital tidak hanya menyangkut proses teknik otomatisasi, tetapi juga memberi informasi tentang bagaimana menjalankan bisnis, melakukan perdagangan, mencipta produk dan jasa yang menghasilkan profitabilitas, serta keakraban sosial memperkaya kehidupan dengan sesama.
Untuk mewujudkan sistem ekonomi digital yang inklusif, perlu ada perhatian dari pemerintah pusat dan daerah.
Namun untuk mewujudkan sistem ekonomi digital yang inklusif, perlu ada perhatian dari pemerintah pusat dan daerah, pengusaha dan akademisi untuk berbagi kompetensi sosial ekonomi dengan menyediakan komputer (dengan internet) di tempat umum. Fasilitas tersebut nantinya dapat dipakai masyarakat yang belum mampu, baik pada lingkungan pekotaan maupun pedesaan, sehingga tercipta peluang inklusif memperkuat ekonomi digital yang membawa kemakmuran.
Profesor Shkarlet, Rektor National University Chernihiv Politechnic, Ukraina pun telah menerangkan perbedaan gaya berbisnis pada era industri sekarang ini dan era ekonomi digital. Yakni pertama, ciri organisasi internal perusahaan pada era industri yang sulit mencair, bersifat tersentralisir dan mengutamakan hirarki, departemen cenderung tertutup terhadap departemen yang lain. Sedangkan ciri organisasi pada perusahaan di era ekonomi digital bersifat berjejaring, terbuka dan saling kerjasama satu sama lain, dengan komunikasi yang mengandung pengetahuan dan aspirasi kreativitas dan inovasi.
Kedua, lingkungan ekonomi pada era industri mengandung ketidakpastian yang rendah sehingga bekerja alon-asal-kelakon menjadi kepuasan tersendiri, lalu kegiatan bisnis bersifat produksi massa, serta jarang tercipta inovasi. Sedangkan lingkungan ekonomi pada era ekonomi digital, mengandung ketidak pastian tinggi, sehingga setiap orang harus bekerja cepat, memproduksi menurut permintaan konsumen yang beraneka-ragam dan berbeda permintaannya dari waktu ke waktu, sehungga peluang bisnis menjadi luas.
Pentingnya revitalisasi lingkungan pedesaan dan kota kecil bukan sekedar menaikkan “bendera” atau basa-basi tanggung jawab sosial. Namun secara fundamental bertujuan mengendalikan arus urbanisasi, yang mencipta “hollow village” (desa yang kosong), serta kemiskinan masyarakat desa yang dipindahkan ke masyarakat perkotaan.
Dengan demikian, tanggung jawab pemberdayaan atau revitalisasi pembangunan pedesaan tidak hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah dearah, tetapi juga perlu menjadi keterpedulian dunia akademis untuk membangun keilmuan yang holistic bagi masa depan karirnya.
Pazarbasiglu (2020) dari Bank Dunia mengatakan, bahwa ekonomi digital inklusif juga mencakup penciptaan keuangan pedesaan digital, yang memfasilitasi permintaan dan penawaran dana pedesaan, dengan dana murah. Maka dapat diharapkan keuangan digital dapat mengatasi diskriminasi geografis pada akses keuangan, yang selama ini menghambat revitalisasi pedesaan bagi petani kecil, sehingga perlu dibalik, dengan memfasilitasi interaksi produktif tiga sektor pedesaan; yaitu, sektor produksi pertanian, perdagangan pedesaan, dan keuangan pedesaan.
Menurut Benyam dkk (2021) dari Simon Frasor University, British Columbia; ekonomi digital dapat memberdayakan pembangunan pedesaan, perkuat revitalisasi ekonomi pedesaan, perkokoh strategi sustainable development. Umpamanya, bila petani disediakan akses bersama teknologi digitalisasi, maka petani dapat mencermati data gangguan hama menjelang panen sehingga inisiatif pemeliharaan tanaman secara digital dapat menhasilkan panen yang tinggi.
Namun revitalisasi ekonomi pedesaan sering diremehkan pengusaha dan akademisi, dilakukan setengah hati oleh pemerintah, padahal revitalisasi ekonomi pedesaan berperan kunci mengatasi krisis pangan yang menjadi keprihatinan kepala negara pada Sidang G20 di Bali serta pimpinan PBB.
Strategi revitalisasi pedesaan bertujuan mengembangkan kemakmuran industri pertanian, peremajaan ekologi, peradaban dengan modernisasi masyarakat desa dan kota kecil, serta dapat lebih jauh berdampak pada kemakmuran masyarakat urban. Namun untuk mempromosikan ekonomi digital di pedesaan, program pemerintah harus mendidik pejabat tingkat pemerintah daerah sampai tingkat pedesaan, dengan keterampilan dan literasi digital, dengan cara mencipta pusat-pusat umum “internet + kota kecil” dan “internet + pedesaan”.
Pusat internet tersebut akan menfasilitasi konektivitas dengan mitra-mitra yang dekat lokasinya maupun geografi yang luas, dan menjadi sumber pembelajaran dan inspirasi bagi semua pihak yang terlibat, serta menjadi motor penggalakan e-commerce pedesaan, dan “rural express” dengan biaya murah.
Sementara pemerintah pusat maupun daerah perlu mencipta kebijakan publik untuk mmpercepat digitalisasi masyarakat desa. Tujuannya, menciptakan sistem layanan informasi terintegrasi untuk kegiatan pertanian, kegiatan perdagangan produk pertanian, serta digitalisasi layanan manajemen pedesaan seperti kesehatan dan transformasi, yang mencakup baik layanan publik maupun layanan swasta.
Dengan demikian, aspirasi G20 yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi digital yang inklusif, tidak hanya mencakup kalangan masyarakat pada gedung gedung tinggi di perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat dengan gubug-gubug persawahan didesa. Ekonomi digital dengan jaringan internet akhirnya tidak hanya semarak pada jalur komunikasi perkotaan, tetapi juga internet sampai pada “kilometer terakhir” di pedesaan yang terisolir.
Albert Widjaja, MBA, Ph.D, Dosen FEB UI, Member ISMS, Penulis buku Strategi dan Transformasi Digital; Artificial Intelligence.