Praktik dan jaringan mafia yang terungkap ke ruang publik sebenarnya hanyalah percikan kecil dari kondisi darurat negara republik ini yang berada dalam kepungan mafia selama bertahun-tahun.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Indonesia didirikan oleh ibu dan bapak pendiri bangsa sebagai negara kesatuan berbentuk republik. Dalam republik, negara bertindak sepenuhnya untuk kepentingan publik. Namun, kemunculan mafia telah merobek-robek cita-cita mulia pendirian negara republik ini sehingga kepentingan publik, terutama kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, terabaikan dari tujuan penyelenggaraan negara.
Republik untuk kepentingan publik ini dikepung oleh jaringan mafia yang beroperasi di hampir semua lini penyelenggaraan negara. Nomenklatur dan praktik mafia telah menjadi bagian inheren dari penyelenggaraan kehidupan bernegara, mulai dari mafia anggaran, pajak, tanah, tambang, batubara, minyak, beras, gula, daging, alat kesehatan, bantuan sosial, hingga mafia peradilan dan hukum. Hampir tiada ruang dalam penyelenggaraan negara yang terbebas dari praktik dan jaringan kejahatan mafia. Mafia peradilan menjadi representasi terburuk dari praktik dan jaringan kejahatan mafia yang begitu sistematik dan terinstitusionalisasikan dalam negara karena ”sebagian besar suap dibayarkan sebagai bagian dari jaringan kompleks pengaturan yang terorganisasi dengan baik, yang melibatkan sejumlah pelaku yang korup, bukan hanya segelintir individu yang nakal” (Assegaf 2002; Butt dan Lindsey, 2010).
Inilah praktik mafia peradilan yang merusak sendi-sendi Republik Indonesia sebagai negara hukum. Mafia tidak pernah patuh pada hukum legal, tetapi pada praktik ilegal yang ditempuh melalui jalan suap dan korupsi.
Praktik dan jaringan mafia yang terungkap ke ruang publik sebenarnya hanyalah percikan kecil dari kondisi darurat negara republik ini yang berada dalam kepungan mafia selama bertahun-tahun. Para penyelenggara negara pun, mulai dari tingkat lokal, regional, hingga nasional, mengakui adanya praktik mafia dan bahkan tak sedikit di antara mereka menjadi bagian dari mafia. Mereka sebenarnya mengabdi bukan kepada kepentingan negara dan rakyat, melainkan kepada kepentingan mafia.
Sesungguhnya, mereka itulah pengkhianat negara. Republik Indonesia yang didirikan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik justru dikhianati sendiri oleh mereka yang mestinya berbakti kepada negara, tetapi justru terlibat pada jaringan mafia untuk kepentingan dirinya dan kroninya. Mereka bukan saja mengkhianati amanah mulia para pendiri bangsa agar republik ini dirawat untuk kepentingan rakyat, melainkan juga menghambat ikhtiar bersama untuk memajukan Indonesia.
Optimisme tentang perwujudan Indonesia sebagai negara maju justru menghadapi hambatan internal dari mereka yang hanya berpikir untuk menikmati kesejahteraan dan kemewahan pribadi melalui kejahatan mafia di tengah kemiskinan dan kemelaratan rakyatnya. Publik, utamanya rakyat kecil, menjadi korban dari praktik mafia dalam negara. Praktik dan jaringan kejahatan mafia telah membuat gerak maju republik ini berjalan amat sangat lambat dan terseok-seok sehingga rakyat tidak segera dapat menikmati janji-janji kemerdekaan yang diamanahkan oleh pendiri bangsa lebih dari 77 tahun silam.
Agar Indonesia tidak berperilaku seperti negara mafia dan bahkan tidak pula terjatuh pada negara mafia itu sendiri, seluruh pemimpin harus berdiri di garda terdepan untuk menyelamatkan kondisi darurat Indonesia dari praktik dan jaringan kejahatan mafia. Usaha penyelamatan bersama ini dapat diwujudkan melalui peneguhan kembali komitmen nasional pada negara kesatuan Indonesia berbentuk republik yang diorientasikan untuk kepentingan publik.
Kehendak politik untuk mewujudkan impian Indonesia sebagai negara republik yang maju dan untuk kepentingan publik harus dimulai dari keberanian dan ketegasan moral seluruh pemimpin negeri untuk memimpin gerakan nasional pemberantasan praktik dan jaringan kejahatan mafia di seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa gerakan nasional ini, seluruh ikhtiar dan perjuangan panjang untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju hanya memberikan keuntungan kepada mafia, bukan kepada rakyat.
Praktik mafia terbukti merusak inti republik yang diabdikan untuk kepentingan publik, terutama rakyat kecil. Janji proklamator dan pendiri republik, Soekarno, pada 1 Juni 1945 bahwa ”tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka” harus menjadi kesadaran kolektif seluruh pemimpin untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, kekurangan gizi, dan keterbelakangan, dan sekaligus merealisasikan janji kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan rakyat kecil.
Keberpihakan pada dan perjuangan untuk rakyat kecil ini tiba-tiba mengingatkan memori lama pada pesan Ahmad Syafii Maarif di usia senjanya: ”Semuanya ini sudah di ujung pengembaraan. Semoga anak-anak muda Indonesia benar-benar mau membela rakyat kecil.” Pesan profetik ini berlaku inklusif, ditujukan kepada semua generasi muda lintas agama sebagai pemilik masa depan Indonesia, agar berpegang teguh pada cita-cita republik untuk kepentingan publik dan berjuang bersama untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.