Untuk memastikan Pemilu 2024 menghasilkan pemimpin yang berwawasan dan berkomitmen ekologi, perlu ambang batas ekologi yang berfungsi sebagai alat untuk menyeleksi para kandidat politik.
Oleh
DELLY FERDIAN
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Antropolog bernama Eric Wolf mempopulerkan istilah ekologi politik dalam banyak studinya tentang petani di Amerika Latin. Wolf menyebut bahwa ekologi politik itu adalah suatu cara untuk mengungkap peran penting sebuah peraturan atau hukum yang menentukan “siapa memiliki apa” dalam mengatur akses terhadap sumber daya alam yang terbatas.
Atas dasar keterbatasan sumber daya alam tersebut, banyak ilmuwan mulai terdorong untuk mencari cara untuk mengatasi keterbatasan sehingga ide-ide pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan mulai berkembang tahun demi tahun.
Artinya, dalam kacamata ekologi politik, tren politik dunia seharusnya bergerak menuju ke arah politik yang memperhitungkan keberlanjutan sumber daya alam. Hal ini tentu mengingat kondisi bumi yang makin mengkhawatirkan akibat krisis iklim.
Idealnya, ruang politis harus membangun dan merancang jalannya sendiri untuk menangani aneka persoalan, baik itu ekonomi, patologi sosial, juga politik pemerintahan yang tentu memperhitungkan nilai-nilai ekologis sebagai pedoman maupun batas atas agar tidak terjadi kerusakan.
Namun, pada kenyataannya, ruang-ruang politik acap kali menghindari keberlanjutan sumber daya alam karena faktor kepentingan oligarki yang cenderung ingin memanfaatkan sumber daya alam secara transaksional. Sumber daya alam nyatanya hanya dinilai sebatas lahan basah untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok atau juga untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan.
ICHWAN SUSANTO
Kerugian negara pada sumberdaya alam Indonesia. Disampaikan oleh Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kehutanan IPB University yang juga pakar pada litbang KPK dalam diskusi virtual 6 Mei 2020.
Pemilu dan ekologi
Dalam konteks politik praktis, isu-isu ekologi dinilai bukan isu yang populis. Isu ini dianggap tidak memberikan keuntungan elektoral bagi para kandidat politik yang akan bersaing pada kontestasi pemilihan umum (pemilu). Padahal, isu-isu penting ekologis kerap bersinggungan dan berkaitan dengan tahun-tahun politik itu sendiri.
Misalnya saja, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jambi pada 2017 menyebut bahwa setiap pilkada (pemilihan kepala daerah) usai, maka selalu ada izin baru untuk pembukaan lahan. Direktur WALHI Jambi pada saat itu, Rudiansyah, mengatakan, pembukaan izin lahan setiap usai pilkada merupakan bagian dari politik transaksional antara toke yang berkepentingan.
Seharusnya, pagelaran politik layaknya pemilu diartikan sebagai ajang beradu argumen maupun gagasan dan sebagai pusat atau hub dari ide ataupun gagasan yang berkaitan dengan ekologi dari berbagai pihak.
Pernyataan tersebut tentu menggambarkan bahwa ada kepentingan penguasaan sumber daya alam pada setiap pagelaran politik dilakukan. Hal ini juga bisa mengisyaratkan bahwa ada indikasi korupsi sumber daya alam di setiap kemenangan salah seorang kontestan politik.
Seharusnya, pagelaran politik layaknya pemilu diartikan sebagai ajang beradu argumen maupun gagasan dan sebagai pusat atau hub dari ide ataupun gagasan yang berkaitan dengan ekologi dari berbagai pihak, mulai dari level elite politik sampai dengan masyarakat di level tapak. Kemudian, gagasan yang terkumpul itu dapat diformulasikan sebagai sebagai janji maupun komitmen politik yang harus diimplementasikan dalam satu masa periode kepemimpinan politik. Begitulah seharusnya esensi dari ekologi politik itu sendiri.
Ambang batas ekologi
Untuk memastikan pagelaran politik seperti halnya pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung pada 2024 mampu menghasilkan pemimpin yang berwawasan dan berkomitmen ekologi untuk menjamin jalannya esensi ekologi politik dalam roda pemerintahan, maka perlu sebuah penyaring atau filter, yakni ambang batas ekologi (ecological threshold) yang berfungsi sebagai alat untuk menyeleksi para kandidat politik.
Beberapa hal yang harus menjadi indikator maupun aspek dari ambang batas ekologi ini, meliputi kapasitas maupun kapabilitas, track and record secara ekologi, serta visi dan misi yang berkelanjutan.
Seorang kandidat harus memiliki visi dan misi yang bersahabat dengan alam. Visi dan misi hijau yang berkelanjutan menjadi tolak ukur kelulusan seorang kandidat dari ambang batas ekologi.
Untuk aspek kapasitas dan kapabilitas, seorang kandidat harus memiliki kecakapan secara personal yang baik. Hal ini tentu sangat terkait dengan track and record personal kandidat secara umum, seperti pernah berkontribusi pada kegiatan yang berdampak positif, memiliki sederet prestasi yang berdampak bagi masyarakat, tidak pernah terlibat tindak pidana korupsi, dan banyak nilai-nilai lainnya.
Sedangkan untuk track and record ekologi, kandidat harus lolos dari pengalaman-pengalaman yang berdampak buruk kepada ekologi. Hal ini terkait dengan “apakah” kandidat pernah melakukan kegiatan yang merusak lingkungan melalui bisnis yang dijalankannya atau aktivitas yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Misalnya, bergelut pada bisnis yang tidak berkelanjutan atau tidak ramah lingkungan maupun pernah terlibat dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan yang tidak berpihak secara ekologis.
Terakhir, seorang kandidat harus memiliki visi dan misi yang bersahabat dengan alam. Visi dan misi hijau yang berkelanjutan menjadi tolak ukur kelulusan seorang kandidat dari ambang batas ekologi. Visi dan misi kandidat harus menjelaskan komitmen terhadap perlindungan ekologi secara tegas. Misal, kandidat membuat program perlindungan hutan alam tersisa dengan menerapkan sanksi tegas bagi para pelanggarnya, percepatan elektrifikasi dalam rangka transisi energi demi mengurangi pemanfaatan energi fosil, atau juga terkait dengan penanganan sampah, dan banyak lainnya.
Sekarang, nama-nama para bakal calon kandidat peserta pilpres telah berseliweran di media. Sebut saja sudah ada Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Erlangga Hartanto, Agus Harimurti Yudhoyono, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, dan banyak nama lain. Kemudian, silakan Anda nilai sendiri dengan kacamata ekologis, apakah nama-nama tersebut lulus ambang batas ekologis sehingga layak untuk memimpin bangsa ini menuju perubahan yang berkelanjutan?
Delly Ferdian, Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta