Tren penurunan inflasi sangat penting sebagai tambahan bantalan daya beli dalam negeri untuk menghadapi ketidakpastian global di tahun 2023 mendatang.
Oleh
ARI KUNCORO
·5 menit baca
Keputusan besaran kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat atau The Fed dalam pertemuan terakhir 13-14 Desember ini menjadi perhatian dunia. Pasalnya, beberapa tanda resesi dunia mulai tampak, terutama di zona Euro, sehingga kenaikan yang berlebihan untuk kesekian kalinya akan mempercepat dunia memasuki jurang resesi.
Kendati demikian, prospek resesi, terutama di AS, belum jelas karena di tengah indikasi penurunan kegiatan ekonomi, beberapa indikator justru menunjukkan adanya ekspansi. Dampak lain dari kenaikan suku bunga The Fed adalah terlalu kuatnya dollar AS. Hal ini terutama dikarenakan kehati-hatian para pemodal internasional yang mengambil sikap "cash is the king".
Penguatan mata uang dollar AS merupakan beban tambahan bagi pembayaran impor serta cicilan pokok dan pinjaman negara-negara berkembang dan emerging markets karena hampir semua transaksi global masih berdenominasi dollar AS.
Indikasi awal resesi global terlihat dari penurunan harga minyak mendekati 70 dollar AS per barel. Pada mulanya harga minyak masih mencoba bertahan di kisaran 80 sampai 90 dollar AS per barel. Namun, pelemahan permintaan dunia akibat antisipasi resesi dan penurunan kegiatan ekonomi karena kebijakan mitigasi Covid-19 di China membuat harganya berada di kisaran bawah pada ruang antara 70 dan 80 dollar AS per barel.
Kendati demikian, prospek resesi, terutama di AS, belum jelas karena di tengah indikasi penurunan kegiatan ekonomi, beberapa indikator justru menunjukkan adanya ekspansi.
Di Eropa, tanda-tanda awal resesi lebih kentara daripada di AS. Di Inggris misalnya, sisi produksi sudah 4 bulan berturut-turut terpuruk di zona kontraksi (di bawah angka 50) akibat penurunan permintaan masyarakat dan kenaikan suku bunga untuk kredit modal kerja. Indeks manajer pengadaan (purchasing manager index/PMI) sedikit naik ke 46,5 untuk November dari 46,2 pada Oktober. Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2022 tercatat minus 0,2 persen. Sementara itu inflasi tetap berada dalam zona dua digit, bahkan naik dari 10,1 persen pada Oktober ke 11,1 persen di bulan November.
Di zona Euro, angka PMI juga tetap dalam zona kontraksi. Walaupun ada kenaikan dari 46,4 di bulan Oktober ke 47,1 pada November, indeks ini sudah 5 bulan berturut-turut mengalami kontraksi. Masih lebih baik dari Inggris, karena pertumbuhan ekonomi zona ini, walaupun lambat, masih dalam zona positif. Tercatat ada perlambatan dari 0,8 persen di triwulan II ke 0,3 persen di triwulan III-2022. Dampak positif dari perbaikan sisi produksi (PMI) adalah inflasi yang menurun dari 10,6 di bulan Oktober ke 10 persen di bulan November.
Indikator awal di AS masih ambigu. Berbagai ramalan mengindikasikan, resesi akan terjadi di pertengahan 2023. Satu indikator penting yang mengarah ke sana adalah angka PMI. Indeks PMI tiba-tiba berbalik dari zona ekspansi 50,4 di bulan Oktober ke kontraksi 47,7 di bulan November.
Pertanda resesi lain adalah sudah terjadinya inverted yield curve di mana imbal hasil untuk obilgasi pemerintah bertenor jangka pendek lebih tinggi dari yang bertenor jangka panjang. Para pemodal, karena ketidakpastian yang tinggi, beralih ke instrumen investasi finansial jangka pendek. Imbal hasil untuk obligasi treasury bertenor 2 tahun tercatat 4,384 persen berbanding dengan 3,692 persen untuk obligasi treasury bertenor 10 tahun.,
Berlawanan dengan pertanda resesi di atas, pertumbuhan tahunan ekonomi AS di triwulan III-2022 justru mencapai 2,9 persen, setelah dua bulan berturut-turut sebelumnya mengalami pertumbuhan negatif 1,6 dan 0,6 persen. Tekanan inflasi indeks harga kosumen (IHK) turun ke 7,7 persen pada Oktober dari 8,2 persen pada September. Di belahan bumi yang lain, sebagai manufacturing hub China juga mulai merelaksasi kebijakan zero covid-nya. Kedua negara ini sebagai lokomotif berpotensi menstimulasi kembali aktivitas ekonomi dunia.
Berbagai ramalan mengindikasikan, resesi akan terjadi di pertengahan 2023. Satu indikator penting yang mengarah ke sana adalah angka PMI.
Menjelang pertemuan The Fed, perkembangan di atas menimbulkan perdebatan apakah selama ini kebijakannya terlalu hawkish. Dari berbagai headline di AS, tampaknya The Fed akan berubah (pivot) melunak memberikan sinyal kenaikan berikutnya pada Desember adalah 50 basis poin disusul dengan 25 basis poin di awal 2023.
Sinyal pelunakan ini kemudian ditanggapi dengan sinyal serupa oleh berbagai bank sentral di dunia, di antaranya bank sentral Inggris (BOE), bank Sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Kanada (BOC).
Namun, sinyal itu dapat saja berbeda dengan realisasinya nanti. Potensi peningkatan inflasi di AS masih tetap ada. Selain pertumbuhan yang cukup tinggi, data kesempatan kerja menunjukkan kelangkaan pasokan tenaga kerja. Tingkat pengangguran relatif rendah, masih tidak berubah pada tingkat 3,7 persen di bulan September dan Oktober. Inilah argumen yang mendukung agar The Fed tetap hawkish.
Di sisi lain, harga minyak dunia yang turun tajam karena kekhawatiran terhadap prospek resesi dunia menguatkan argumen agar The Fed lebih lunak dalam meredam inflasi. Harga BBM di SBPU di AS sudah kembali mendekati 3 dollar per galon. Data inflasi berdasarkan IHK memang belum keluar. Informasi alternatif menunjukkan inflasi tahunan indeks perdagangan besar November tercatat 7,4 persen, turun dari 8,1 persen di bulan lalu.
Ini memberikan harapan The Fed akan dapat pivot ke jalur kenaikan basis poin yang lebih rendah dari yang selama ini dilakukan.
Indeks dolar AS pada puncaknya di akhir September 2022 sempat mencapai 114, kemudian turun ke sekitar 104 dengan adanya sinyal pelunakan The Fed. Walaupun dollar AS tetap kuat dengan indeks masih di atas 100, ini memberi ruang bernapas bagi mata uang negara-negara lain di dunia. Mata uang Euro menguat kembali dari titik terendahnya 0,9584 dolar AS per Euro pada akhir September ke 1,0051 dolar AS per Euro pada awal Desember.
Sementara mata uang Inggris Poundsterling juga menguat dari 1,0681 dolar per pound ke 1,2667 dolar per pound. Rupiah pun tidak ketinggalan, menguat ke kisaran Rp 15.500-15.600 per dollar AS pada minggu pertama Desember setelah bertengger di kisaran Rp 15.700-15.800 sejak awal November.
Implikasi dalam negerinya, tekanan inflasi yang diimpor berpotensi menurun. Fleksibilitas kebijakan pengendalian ekspektasi inflasi dan ekspektasi nilai tukar akan lebih besar dibandingkan dengan skenario jika The Fed tidak melunak dan indeks dollar terlalu kuat.
Tekanan inflasi tahunan bulan November sudah menurun ke 5,42 persen dari 5,71 persen di bulan sebelumnya. Selain momentum pemulihan ekonomi, tren penurunan inflasi ini sangat penting sebagai tambahan bantalan daya beli dalam negeri untuk menghadapi ketidakpastian global di tahun 2023 mendatang.