
Dari tempat saya di pinggir sungai, suasana terasa menggelap. Cuaca tengah berubah. Di kejauhan terdengar gemuruh badai dahsyat, bahkan sekali-kali terlihat halilintar menerangi langit sambil merobek ujung ufuk nun jauh di sana. Memang begitulah: bila di sana ada gemuruh, di sini terasa sumuknya, dan saya mulai khawatir kalau-kalau hujan badai di hulu itu bakal mengirim banjir bandangnya yang akan merusak taman kecil saya di sisi Sungai Ayung ini.
Saya khawatir, tetapi hanya diam. Namun ada orang yang membaca cuaca dan bertindak: memperkuat tembok pinggir sungai dan got umum jalan, agar banjir berlalu dengan begitu saja.
Menonton pembukaan pameran Arahmaiani di Tony Raka Gallery di Ubud, Bali, beberapa hari yang lalu, lalu berdiskusi dengannya, saya berpikir bahwa Yani –panggilannya—termasuk golongan terakhir ini. Dia menyadarkan kita tentang badai yang dia merasa tengah muncul di hulu, agar kita dapat menanggulanginya sebelum terlambat. Dia memperingatkan kita.
Lihat saja bagaimana pamerannya dibuka? Dengan pawai berputar-putar pembawa bendera-bendera berisikan lambang berbagai daerah Indonesia. Apakah estetis? Meskipun indah, bukanlah itu tujuannya. “Pawai” bendera-bendera daerah itu menyiratkan bahwa identitas daerah dapat diungkap dengan terbuka, asal dilarutkan dalam identitas yang lebih besar, yaitu keindonesiaannya. Menarik, kan?
Namun, setelah bertanya pada Arahmaiani, saya mengerti bahwa tujuannya jauh lebih luas lagi. Dia sudah pernah melakukan acara “pawai” keliling itu dengan bermacam-macam bendera lain di banyak negara. Melalui pawai bendera bangsa-bangsa dunia, dia mengangkat tema nasionalisme, tetapi nasionalisme itu diperhalus di dalam persaudaraan antar bangsa.
Melalui pawai bendera berisi lambang agama-agama besar dunia, dia membiarkan pengikut agama-agama mengangkat rasa identitas religius mereka, tetapi dia sekaligus mengajak agama-agama agar memperhalus dakwahnya dan bersatu secara spiritual. Jadi Yani sesungguhnya mengajak kita untuk mengakui dan mengungkap setiap lapis identiter kita, tetapi setiap kali dia melakukan hal itu untuk melampaui, menisbikan dan sekaligus mensublimkan identitas minor ke dalam identitas lebih tinggi–sebagai umat manusia.
Namun Yani adalah juga seniwati di dalam pengertian lebih tradisional. Pamerannya di galeri Tony Raka terdiri atas lukisan-lukisan yang tampil amat modernis: komposisi figur-figur melengkung semi-geometris berwarna datar. Sekilas tampak polos dan abstrak. Memukau. Namun, baru saja kita merasa diri terbawa rasa terpukau, kita memahami bahwa terselubung di situ sesuatu yang lain: harakat, yaitu tanda fisik huruf Arab.
Artinya, apa yang Yani jadikan lukisan tiada lain adalah kutipan-kutipan kalimat berhuruf Arab! Wah! Apakah dia hendak mensakralkan atau, siapa tahu, melecehkan aksara sarana pengajaran agama itu? Justru tidak. Yang dijadikan gambar adalah potongan-potongan kalimat berhuruf Arab di dalam versi huruf Pegon, yaitu tipe huruf Arab gundul yang lazim dipakai untuk bahasa Jawa pada periode “antara”, yaitu periode sesudah jatuhnya Majapahit dan sebelum berkuasanya pemerintahan kolonial pada abad ke-19.
Jadi, Yani tidak membicarakan agama, jauh dari itu. Dia memang sengaja menyerempet pemaknaan umum tentang agama, tetapi dia melakukan itu demi menyadarkan kita bahwa agama bukanlah sekadar huruf dan huruf Arab bukanlah juga agama. Huruf Arab hadir secara historis di luar dunia Arab sebagai sarana menulis biasa. Hal ini ditemukan di Indonesia, Persia, Turki dan tempat lainnya.
Melihat yang di atas ini, bukanlah kebetulan bila Yani termasuk seniwati kontemporer Indonesia kelas wahid. Dia mampu menghadirkan sulap-menyulap antara konstruksi estetis yang menawan di satu pihak dan makna konseptual berlapis di pihak lain. Konsepnya berbentuk karya visual yang indah sedangkan unsur visual karyanya mengandung aneka lapis maknanya di luar seni, seperti politik, ekologi, perjuangan kaum perempuan dan lain-lain.
Di tengah badai ultra-nasionalis yang melanda belahan utara dunia (Rusia, Amerika, Eropa, China) dan dihadapkan pada ancaman badai kiriman Timur Tengah dan India yang awan hitamnya terlihat di langit biru Indonesia, Yani tampil sebagai guru pengelana, pejuang asas kemanusiaan. Kemanusiaan memanglah satu satunya cara kita dapat menghadapi banjir kebencian yang terlihat turun dari hulu nun jauh di sana.
Kita perlu banyak guru lain seperti dia.