Mengelola Harapan Hadapi Ekonomi 2023
Lembaga-lembaga internasional memprediksi terjadinya resesi global pada 2023. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan komunikasi berkualitas memiliki peranan penting untuk bisa meredam guncangan yang terjadi.

ilustrasi
Perekonomian akan selalu mengalami siklus bisnis. Perekonomian akan menghadapi kondisi inflasioner, keseimbangan ekonomi makro, dan resesioner.
Dalam beberapa dekade lalu—ketika hubungan ekonomi antarnegara, regional, dan kawasan belum sekuat saat ini— siklus ekonomi sangat ditentukan persoalan konsumsi, produksi, dan kebijakan pemerintah secara domestik.
Siklus ekonomi yang terjadi tidak begitu besar amplitudonya saat itu. Bahkan, situasi keseimbangan (ekuilibrium) menjadi situasi ”normal”.
Adanya gejolak (shock) akan membuat kondisi perekonomian menjadi tak seimbang (disekuilibrium) atau ”tak normal”. Kebijakan pemerintah yang bersifat mengonter siklus tersebut pada umumnya dilakukan untuk mengembalikan kondisi perekonomian pada keseimbangan ekonomi makronya.
Jika perekonomian berada pada kondisi inflasioner, dilakukan kebijakan yang bersifat kontraktif. Sebaliknya, jika perekonomian pada kondisi resesioner, dilakukan kebijakan yang bersifat ekspansioner.
Era globalisasi telah mendorong keterkaitan yang kuat antara perekonomian suatu negara dan negara lain, suatu regional dan regional lain, serta suatu kawasan ekonomi dan kawasan ekonomi lain. Dampaknya, gejolak ekonomi akan sering terjadi karena sumber gejolak bukan hanya internal, melainkan juga eksternal, dengan frekuensi dan kekuatan yang sering kali lebih kuat.
Baca juga : Ekonomi Indonesia 2022 dan Prospek 2023
Barangkali ini akan mengubah paradigma berpikir. Jika sebelumnya perekonomian yang ”normal” adalah keseimbangan ekonomi makro; maka kini situasi ketidakseimbangan ekonomi makro akan lebih sering dihadapi dan itu menjadi situasi ”normal” yang baru.
Kondisi seperti ini juga menuntut kecepatan bertindak (reaktif), bahkan proaktif, dari para pengelola ekonomi. Tindakan seperti ini, mengacu pada kaum Keynesian, bersifat menstabilkan (stabilizing).
Namun, tindakan stabilizing ini harus dilakukan dengan hati-hati karena ada jarak waktu (time lag) antara kebijakan dan dampaknya, di mana kondisi ekonomi bisa saja sudah berubah.
Dalam hal ini, menurut kaum Monetaris, kebijakan pemerintah bisa justru bersifat tidak menstabilkan (destablizing) karena pelaksana kebijakan tak pernah tahu posisi siklus perekonomian pada saat dilakukan kebijakan, berapa waktu yang dibutuhkan untuk membuat konsep kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, hingga sampai ke dampaknya (policy lag).

Perkembangan pemikiran ekonomi era ”Klasik Baru” Robert Lucas dkk telah memberikan masukan bagi pemerintah agar tidak hanya sekadar memperhatikan kondisi siklus ekonomi, tetapi juga memperhatikan ”harapan rasional ” pelaku ekonomi yang bersifat ke depan (forward). Artinya, perilaku para pelaku ekonomi saat ini ditentukan oleh kebijakan ekonomi pemerintah ke depan.
Sebagai contoh, pernyataan pimpinan Bank Sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan walaupun kenaikan suku bunga itu sendiri belum terjadi pada waktu itu. Ini menyebabkan para investor memindahkan investasinya ke AS.
Mengontrol harapan rasional ini lebih sulit daripada harapan yang bersifat adaptif, yang mengacu pada apa yang akan dilakukan saat ini dan banyak dipengaruhi kejadian sebelumnya. Perilaku yang bersifat harapan rasional ini akan lebih mudah diperkirakan pemerintah jika perilaku pemerintah dianggap ”kredibel” dan konsisten dalam menerapkan kebijakan untuk mengatasi situasi siklus ekonomi.
Pemberitaan terkait pernyataan pejabat pelaksana kebijakan ekonomi menjadi faktor yang penting dalam memengaruhi harapan rasional pelaku ekonomi yang lain, seperti konsumen, pengusaha, dan pelaku perdagangan internasional.
Guncangan perekonomian dunia yang terjadi saat ini, menurut dia, bukanlah ”kaleng-kaleng”.
Pesimistis atau optimistis
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sering kali mengemukakan kepada publik mengenai situasi ekonomi dunia saat ini berupa potensi terjadinya stagflasi dan ketidakpastian yang akan melanda dunia.
Gejolak ekonomi tersebut mulai dari terkontraksinya ekonomi dunia (termasuk Indonesia) akibat Covid-19; dampak pemulihan ekonomi yang tak berbarengan antara negara maju, negara miskin, dan berkembang; serta kenaikan harga energi dan pangan akibat terganggunya rantai pasok karena perang Rusia-Ukraina. Selain itu, potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed secara agresif memaksa bank sentral negara lain menaikkan suku bunga acuan juga.
Menurut Sri Mulyani, salah satu keputusan penting yang dihasilkan dalam pertemuan para menkeu dan gubernur bank sentral G20 adalah menghilangkan penyebab ancaman stagflasi berkaitan dengan kelangkaan dan membubungnya harga pangan dan energi.
Karena penyebabnya adalah perang Rusia-Ukraina, maka perang itu harus dihentikan. Namun, siapa yang harus menghentikan? Keputusan penghentian perang sangat bergantung kepada Rusia dan Ukraina beserta sekutunya.
Mengacu pada situasi ancaman stagflasi dan ketidakpastian global itu, Sri Mulyani juga mengemukakan situasi terburuk adalah kemungkinan terjadinya stagflasi di Indonesia.

Guncangan perekonomian dunia yang terjadi saat ini, menurut dia, bukanlah ”kaleng-kaleng”. Lembaga-lembaga internasional juga memprediksikan terjadinya resesi global pada 2023. Menurut Sri Mulyani, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki peranan penting untuk bisa meredam guncangan yang terjadi di tengah potensi semakin meningkatnya suku bunga investasi ke depannya.
APBN harus mampu memainkan peran sebagai peredam guncangan (shock absorber) agar perekonomian tetap kuat dan berdaya tahan. Menurut Sri Mulyani, dalam mendesain APBN, pemerintah sangat mempertimbangkan kondisi perekonomian global agar mampu meredam guncang- guncangan itu. Saat ini ekonomi Indonesia cukup terjaga, ditandai terjaganya pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen.
Belum lama ini mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan Menkeu Sri Mulyani agar tak menakut-nakuti masyarakat terkait arah perekonomian 2023 yang suram. Menurut Kalla, Indonesia berbeda dengan banyak negara lain karena tak mengalami krisis energi dan pangan. Sebab, negara ini bisa menghasilkan komoditas itu secara mandiri.
Dalam dunia yang semakin transparan saat ini, informasi mengenai fakta yang berupa berita baik dan buruk semakin sulit ditutupi. Akses terhadap informasi begitu mudah didapat. Berita dan fakta akan sangat cepat diterima masyarakat dari berbagai kalangan.
Dalam dunia yang semakin transparan saat ini, informasi mengenai fakta yang berupa berita baik dan buruk semakin sulit ditutupi.
Dalam situasi informasi yang semakin transparan, masyarakat akan belajar semakin cepat mengenai kebenaran informasi. Ini yang menjadi taruhan bagi kredibilitas pemerintah.
Sekali kredibilitas pemerintah terhadap fakta dan tindakan jatuh, akan sulit kembali mengembalikannya. Harapan rasional yang akan terbentuk dan dapat diprediksi pengambil kebijakan sangat dipengaruhi kualitas informasi yang disampaikan.
Berkaitan dengan hal itu, persoalannya bukan pada nada pesimistis atau optimistis kepada publik, melainkan lebih pada kredibilitas pemerintah dalam mengemukakan fakta dan kebijakan ekonomi yang akan dilakukan.
Ibaratnya seperti dalam teori permainan komunikasi, kebijakan bukan one shoot game yang hanya sekali terjadi, melainkan repeated game yang selalu berulang antara pemerintah dan pelaku ekonomi yang lain. Di sini pentingnya tetap waspada dalam memperhatikan situasi ekonomi dunia dan dampaknya terhadap perekonomian domestik dengan komunikasi yang berkualitas.
YB SuhartokoDosen Ekonomi Pembangunan, Keuangan dan Perbankan; serta Magister Ekonomi Terapan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta