Repatriasi ”Pithecanthropus” Tidak Sendirian
Sinyalemen Museum Naturalis yang skeptis terhadap kemampuan Indonesia untuk menjaga koleksi fosil tidak masuk akal. Saat ini sudah banyak ahli Indonesia terutama ilmu paleoantropologi yang mampu menjaga fosil bersejarah.
Hasrat Pemerintah Indonesia untuk merepatriasi sejumlah warisan budaya yang disimpan di Belanda patut didukung bersama.
Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid, melalui surat tertanggal 1 Juli 2022, telah meminta kepada Gunay Uslu selaku Sekretaris Negara Bidang Kebudayaan dan Media Belanda untuk mengembalikan delapan benda budaya yang saat ini dirumahkan di Belanda.
Salah satu di antaranya fosil manusia purba Pithecanthropus erectus temuan Eugene Dubois dari Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Fosil tersebut ditemukan dalam penggalian arkeologis di endapan purba Pegunungan Kendeng Utara tahun 1891.
Meski permintaan ini disetujui Uslu, tak urung terbit sikap skeptis dari Museum Naturalis di Leiden sebagai konservator fosil ini di Belanda. Mereka khawatir akan masa depan Pithecanthropus jika dikembalikan ke Indonesia.
Aspek konservasi dan kelangsungan penelitiannya bagi masyarakat saintifik dunia setelah repatriasi dipertanyakan. Benarkah demikian?
Fosil manusia yang sangat kondang berjuluk ”The Java Man” itu sejatinya adalah penemuan pertama sisa-sisa manusia purba di dunia. Belum ditemukan satu bukti pun tentang fosil manusia setua Pithecanthropus dengan kepurbaan sekitar 500.000 tahun saat itu.
Baca juga: Justifikasi Kembalinya "Pithecanthropus"
Dus, atap tengkorak, tulang paha kiri, dan dua buah gigi-geligi dari Trinil adalah himpunan bukti pertama tentang evolusi manusia, yang hadir terlalu dini di bumi Jawa ketika dunia belum siap menerima. Temuan sejenis baru ditemukan di Mauer, Jerman, pada tahun 1907. Selain itu, tengkorak Broken Hill pada 1921 dan Sinanthropus pekinensis dari China pada 1927. Kehadiran Pithecanthropus erectus telah mendahului zamannya.
Oleh karena itu, penemuan ini mempunyai arti penting bagi Indonesia, yakni menandai lahirnya ilmu paleoantropologi, ilmu tentang manusia purba. Trinil adalah pionir. Penemuan berlanjut secara marak sejak 1931 melalui penggalian pada meander Bengawan Solo oleh C ter Haar dan WFF Oppenoorth di Ngandong, Blora.
Tahun-tahun berikutnya, spesimen lain secara sporadis ditemukan di Situs Sangiran (Sragen dan Karanganyar, 1934), Perning (Mojokerto, 1936), Sambungmacan (Sragen, 1974), Patiayam (Kudus, 1979), Selopuro (Ngawi, 1987), Semedo (2005), dan juga Bumiayu (2019). Konteks evolusi manusia telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu lokasi evolusi manusia utama di dunia, selain di Afrika dan Eropa.
Hijrah ke luar negeri
Jika saat ini Pithecanthropus telah berada di Leiden, kondisi ini sangat terkait dengan situasi kolonisasi Belanda di Indonesia akhir abad ke-19. Banyak spesialis ilmu kebumian berkebangsaan asing, terutama Belanda, yang saat itu bekerja di Jawa.
Mereka adalah para spesialis yang tergabung dalam Jawatan Pertambangan Hindia Belanda (Dienst van den Mijnbouw in Nederlandsch-Indie), institusi akbar masa itu yang bertugas menjalankan manajemen tambang dan eksplorasi mineral, penelitian geologi, dan vulkanologi.
Dalam bingkai pemetaan Pulau Jawa, endapan-endapan paleontologis dan arkeologis pun dicermati. Dinamika penelitian lapangan mereka yang akrab dengan perlapisan bumi nyatanya telah membawa berbagai penemuan fosil manusia.
Sebelum menemukan Pithecanthropus di Trinil, Dubois telah menemukan sebuah pecahan rahang bawah yang pendek dan kekar, dengan sebagian gigi pra-geraham, di endapan Plestosen Tengah di Kedungbrubus (Madiun), pada 1890. Ditafsirkan berusia sama dengan temuan dari Trinil, sekitar 500.000 tahun. Dubois memberi label Pithecanthropus A bagi temuan ini.
Ternyata, Belanda bukan satu-satunya negara penyimpan fosil manusia asal Indonesia.
Semua hasil penggalian Dubois di Jawa dan Sumatera telah dibawa ke Belanda pada 1897. Termasuk di dalamnya dua tengkorak fosil manusia Wadjak dan juga dua gigi manusia modern awal dari Lida Aer, Sumatera Barat, berusia 73.000 tahun, yang diidentifikasi akhir-akhir ini dari koleksi Dubois.
Di lain pihak, 11 atap tengkorak Pithecanthropus soloensis dari Ngandong, yang awalnya juga dibawa dan disimpan di Belanda, telah dipulangkan kembali ke Indonesia oleh Prof T Jacob beberapa dekade lalu. Repatriasi fosil manusia pernah dengan sukses dilakukan.
Bukan satu-satunya
Ternyata, Belanda bukan satu-satunya negara penyimpan fosil manusia asal Indonesia. Pada tahun 1940-an, sebanyak delapan fosil manusia dari situs akbar Sangiran juga hijrah ke luar negeri. Fosil Homo erectus berlabel Sangiran 1 hingga Sangiran 8, temuan awal fosil manusia dari Sangiran tahun 1936- 1938, telah dibawa paleontolog dan geolog GHR von Koenigswald ke Jerman dan saat ini berada di Museum Senckenberg, Frankfurt.
Selain jenis Homo erectus, di antara delapan fosil tersebut juga terdapat fosil ”Manusia Jawa Kekar”, yang terkenal dengan nama Meganthropus paleojavanicus A (Sangiran 6) dan B (Sangiran 8). Sepenggal cerita kemanusiaan paling awal dari situs ini telah senyap bermukim di Jerman hingga sekarang.
Alhasil, Pithecanthropus erectus di Leiden bukanlah satu-satunya warisan budaya berkonteks evolusi manusia yang saat ini berada di luar negeri. Mereka hijrah ke Eropa dibawa para penemunya, dalam kondisi kolonisasi di Indonesia saat itu.
Jika sekarang repatriasi dimintakan, akankah hanya untuk spesimen Pithecanthropus erectus temuan Dubois semata? Tidakkah perlu diupayakan pula pemulangan kembali temuan lain di Leiden dan Frankfurt, yang sudah dan hampir seabad meninggalkan tanah kelahiran?
Sinyalemen Museum Naturalis yang skeptis terhadap kemampuan Indonesia untuk menjaga koleksi tersebut sangat tidak masuk akal bagi situasi kemajuan ilmu paleoantropologi dan SDM pengawalnya di Indonesia saat ini.
Sebab, saat ini sudah banyak ahli Indonesia bagi ilmu paleoantropologi dan ilmu kebumian lainnya, yang kebanyakan adalah lulusan Eropa, yang sanggup menjaga dan meletakkan posisi fosil-fosil tersebut bagi pengembangan pengetahuan di bidang evolusi manusia.
Pemerintah RI pun telah menyediakan berbagai museum modern dengan laboratorium konservasi yang aman, antara lain di Museum Manusia Purba Sangiran. Repatriasi fosil-fosil ini akan melengkapi bukti masa lalu perjalanan manusia Indonesia, setidaknya dalam periode 1,8 juta tahun terakhir.
Harry Widianto,Peneliti Ahli Utama/Profesor Riset pada Pusat Riset Arkeometri, BRIN