Mendekati akhir 2022, perang Ukraina-Rusia kian intens. Belum ada titik terang kapan perang itu akan berakhir. Harus ada perhatian pada keselamatan warga sipil.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AP/LIBKOS
Seorang warga berjalan di depan rumahnya yang terbakar seusai gempuran artileri Rusia di Bakhmut, wilayah Donetsk, Ukraina, Rabu (7/12/2022).
Keharusan memperhatikan kondisi warga sipil yang terimbas perang di Ukraina disuarakan oleh Kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan Martin Griffiths pada Sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (6/12/2022). Selain menewaskan 6.702 warga sipil, termasuk 424 anak-anak, perang sejak 24 Februari lalu itu juga menyebabkan lebih dari 14 juta warga Ukraina jadi pengungsi: 6,5 juta pengungsi di dalam negeri dan 7,8 juta pengungsi di Eropa.
Sungguh tak terbayangkan penderitaan pengungsi dengan segala keterbatasan—tanpa pemanas, listrik, dan air—di tengah musim dingin yang suhunya bisa anjlok minus 20 derajat celsius. Griffiths, diplomat asal Inggris, menyebut kondisi itu ”menambah dimensi lain yang berbahaya pada krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang”.
Setelah hampir sepuluh bulan perang di Ukraina meletus, diawali invasi Rusia ke negara itu, banyak infrastruktur sipil hancur. Fasilitas kesehatan, pembangkit listrik, saluran air, dan lain- lain tak luput dari gempuran. WHO memperkirakan sedikitnya 715 serangan pada sistem kesehatan Ukraina. Sejak Oktober, sistem energi juga mendapat serangan Rusia.
AFP/DIMITAR DILKOFF
Sepasang laki-laki dan perempuan menikmati santap malam di sebuah restoran yang diterangi dengan lampu lilin menyusul pemadaman listrik di pusat kota Kyiv, Ukraina, Selasa (6/12/2022).
Berdasarkan hukum humaniter internasional, infrastruktur sipil tidak boleh dijadikan target serangan. Semua pihak harus membuka lebar-lebar jalur bantuan kemanusiaan dan memastikan personel pemberi bantuan itu bisa menjangkau warga sipil yang terdampak perang. Para pekerja kemanusiaan di Ukraina bakal dihadapkan perang dalam waktu panjang.
Seperti diberitakan, memasuki pekan kedua Desember ini, perang Ukraina-Rusia semakin intens. Ancaman eskalasi pun tampak nyata. Selama dua hari berturut-turut pesawat nirawak yang diyakini milik militer Ukraina menghantam tiga pangkalan udara militer Rusia. Seperti pada kasus serangan di Jembatan Crimea, Oktober lalu, serangan seperti itu biasanya akan dibalas serangan masif Rusia ke Ukraina.
Dengan situasi saat ini, perang di Ukraina hampir dipastikan bakal berlanjut hingga 2023. Belum bisa diketahui bagaimana perang ini akan berakhir. Rusia ataupun Ukraina belum siap untuk meletakkan senjata, tulis The Economist dalam edisi ”The World Ahead 2023”. Di tengah kebuntuan meretas jalan perdamaian saat ini, muncul pandangan, perang Ukraina baru akan berhenti jika ada perubahan rezim di Kremlin.
AZ
Presiden Rusia Vladimir Putin (ketiga dari kiri) mendengarkan laporan Wakil Perdana Menteri Marat Khusnullin (kiri) saat meninjau Jembatan Kerch, Senin (5/12/2022). Jembatan Kerch menghubungkan wilayah selatan Rusia dengan Semenanjung Crimea. Pada 8 Oktober, ledakan bom truk terjadi di salah satu bagian jembatan.
Menarik, seperti dilaporkan, di tengah pesimisme mengenai cara mengakhiri perang di Ukraina, Indonesia terus mencoba ruang dialog Rusia-Ukraina. Hal itu dilakukan, misalnya, dengan mengundang duta besar Ukraina dan Rusia pada Bali Democracy Forum (BDF), Kamis ini.
Meski tak mengubah situasi di medan pertempuran, jika kedua dubes negara yang berperang itu datang, langkah itu menyuarakan pesan dan harapan bahwa entah kapan dan bagaimana caranya, perang di Ukraina harus segera diakhiri.