Kemelut upah minimum sejatinya harus diakhiri untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Meski besaran kenaikan upah cukup sensitif bagi keberlangsungan usaha, di sejumlah negara tetap menaikkan upah minimum tinggi.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Penetapan upah minimum setiap tahun kerap diwarnai tarik ulur antara buruh/pekerja dan pengusaha. Buruh menuntut upah tinggi untuk mengimbangi biaya hidup yang terus merangkak naik, sementara pengusaha ingin kenaikan upah minimum tak terlalu tinggi agar tak memberatkan biaya operasional perusahaan.
Dalam penetapan upah minimum 2023, buruh menuntut kenaikan lebih dari 10 persen. Sementara pengusaha menginginkan pemerintah kembali menerapkan formula PP No 36/2021 sehingga kenaikan tidak terlalu besar.
Berdasarkan formula PP itu, kenaikan upah minimum pada 2022 hanya 1,09 persen. Maka, jika formula sama diaplikasikan untuk upah minimum 2023, tingkat kenaikannya diperkirakan hanya 1-3 persen.
Untuk meredakan tarik ulur ini, pemerintah mengambil jalan tengah dengan mengeluarkan Permenaker No 18/2022 yang menetapkan kenaikan tak lebih dari 10 persen. Jalan tengah ini diharapkan bisa menampung kepentingan ketiga pilar sekaligus: pemerintah, dunia usaha, dan buruh/pekerja.
Kemelut upah minimum 2023 sejatinya harus segera diakhiri untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Meski besaran kenaikan upah cukup sensitif bagi keberlangsungan usaha, nyatanya di sejumlah negara tetap mengambil risiko untuk menaikkan upah minimum tinggi.
Pemerintah Malaysia, misalnya, menetapkan kenaikan upah minimum 25 persen, dari 1.200 ringgit (273 dollar AS) menjadi 1.500 ringgit (341 dollar AS), berlaku per 1 Mei 2022. Penetapan upah minimum ini dilakukan oleh pemerintah yang diberi kewenangan me-review upah minimum setiap dua tahun sekali (ASEAN Briefing, 6/6/2022).
Peran pemerintah dalam menetapkan upah minimum juga terlihat di Amerika Serikat. Bedanya, di AS penetapan upah minimum tak dilakukan setiap tahun, tetapi berdasarkan keseimbangan kekuatan politik di Kongres. Dalam 20 tahun terakhir, AS hanya lima kali melakukan perubahan upah minimum.
Selain ditetapkan secara politis oleh pemerintah, upah minimum juga dibuat dengan kriteria tertentu. Richard Dickens, dalam publikasi IZA (World Evidence Based Policy Making, 2015), menuliskan sejumlah kriteria penetapan upah minimum: berdasarkan formula (Indonesia, Luksemburg, Belanda), berdasarkan keputusan bipartit buruh-pengusaha (Denmark, Finlandia, Swedia), dan berdasarkan median upah (Perancis, Inggris, Selandia Baru).
Indonesia yang menuju negara berpendapatan tinggi sepatutnya perlu memiliki visi pengupahan buruh agar tak tertinggal jauh di bawah pendapatan per kapita nasional.
Dengan kriteria penetapan upah minimum yang cukup beragam itu, satu hal cukup menarik untuk dicermati ialah besaran nilai rasio upah antara upah minimum dan pendapatan per kapita.
Rasio upah di sejumlah negara maju, seperti Perancis, Jerman, dan Jepang, berada di sekitar angka satu, mencerminkan besaran upah minimum yang setara dengan pendapatan per kapita berdasarkan ukuran paritas daya beli (PPP). Di Perancis 1,02, yang berarti upah minimum sedikit di atas pendapatan per kapita. Di Jerman 0,98 dan Jepang 0,97, yang berarti upah minimum sedikit di bawah pendapatan per kapita.
Di Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia, rasio upah masih jauh di bawah satu. Ini menunjukkan upah minimum masih jauh di bawah pendapatan per kapita. Angkanya, Thailand 0,40, Malaysia 0,40, Vietnam 0,39, dan Indonesia 0,34. Secara faktual, rasio upah yang jauh dari satu mencerminkan bahwa kemajuan perekonomian yang dicapai suatu negara belum banyak dinikmati buruh.
Visi pengupahan
Indonesia yang menuju negara berpendapatan tinggi sepatutnya perlu memiliki visi pengupahan buruh agar tak tertinggal jauh di bawah pendapatan per kapita nasional. Mimpi Indonesia menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan pada 2045 sepatutnya juga diikuti besaran upah buruh yang setara dengan pendapatan per kapita atau rasio upah mendekati satu.
Kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (termasuk buruh) adalah harapan Presiden Jokowi yang disampaikan pada pidato pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024.
Proses transformasi ekonomi itu perlu dilakukan sejalan dengan peningkatan kapabilitas SDM, terutama peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan.
Untuk meraih mimpi Indonesia berpendapatan tinggi perlu transformasi ekonomi dari negara yang bergantung pada kekayaan alam berbasis komoditas ke negara berbasis industri, produksi, dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi.
Proses transformasi ekonomi itu perlu dilakukan sejalan dengan peningkatan kapabilitas SDM, terutama peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan. Secara faktual, itu sekaligus mengisyaratkan bahwa pola pikir penetapan upah minimum untuk sekadar sebagai instrumen jaring pengaman perlu diubah.
Diksi jaring pengaman, seperti tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 Permenaker No 18/2022 bahwa ”upah minimum adalah upah bulanan terendah ditetapkan gubernur sebagai jaring pengaman”, perlu diubah menjadi turut mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial.
Razali Ritonga,Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown University, AS