Peluang dan Tantangan Perbankan 2023
Ancaman resesi global semakin nyata dan jika tidak diantisipasi dengan baik akan merembet pada perekonomian nasional, termasuk industri perbankan. Lantas, bagaimana peluang dan tantangan bank pada 2023 nanti ?
Tahun 2023, diperkirakan menjadi tahun yang tidak mudah bagi perekonomian global dan pelaku bisnis di berbagai industri tanpa terkecuali. Lembaga internasional telah memberi alarm waspada, roda perekonomian dunia sedang menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pandemi Covid-19, resesi, inflasi, dan konflik geopolitik, dalam waktu yang bersamaan. Ancaman resesi global semakin nyata dan jika tidak diantisipasi dengan baik akan merembet pada perekonomian nasional, termasuk industri perbankan.
Lantas, bagaimana peluang dan tantangan bank pada 2023 untuk mengatasi ancaman resesi global tersebut?
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 mengalami penurunan ke kisaran angka 2,8-3,2 persen. Dampaknya ialah IMF juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 dari 5,2 persen menjadi 5 persen.
Bagaimanakah dengan kondisi perbankan nasional? Saat ini, industri perbankan 2022 kian menunjukkan tren kinerja positifnya. Terlihat dari profitabilitas triwulan-III 2022 perbankan yang cukup fantastis.
Hal itu karena peningkatan permintaan kredit, pendapatan bunga, penurunan beban bunga, fee based income (FBI) yang meningkat, dan penempatan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang terukur.
Baca juga : Ekonomi Indonesia 2022 dan Prospek 2023
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit perbankan per September 2022 tumbuh menjadi Rp 6.274,9 triliun atau 11 persen secara tahunan (year on year/ YOY). Dana pihak ketiga (DPK) pada September 2022 tumbuh 6,77 persen (YOY) menjadi Rp 7.647 triliun.
Di sisi lain, likuiditas industri perbankan pada September 2022 pada posisi yang memadai dan terjaga. Rasio alat likuid/ non-core deposit (AL/NCD) tercatat 121,62 persen, dari sebelumnya pada Agustus 2022 sebesar 118,01 persen. Alat likuid/DPK (AL/DPK) naik menjadi 27,35 persen dari Agustus 2022 sebesar 26,52 persen. Kredit bermasalah (NPL) 2,78 persen atau cukup terkendali, yaitu di bawah ambang batas 5 persen.
Manfaatkan momentum
Tahun depan, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi perbankan. Pertama, dari sisi liabilitas perbankan akan menghadapi risiko peningkatan biaya dana (cost of fund) akibat gelombang pengetatan moneter oleh negara-negara di dunia untuk memerangi gempuran inflasi.
Hingga tahun ini, industri perbankan masih menikmati panen raya dana murah. Beban bunga dibandingkan DPK mengalami tren menurun dari 4,66 persen (2019) menjadi 3,42 persen (2020), 1,99 persen (2021); dan 1,00 persen (Juni 2022).
Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan dari posisi 3,50 persen menjadi 3,75 persen (Agustus), 4,25 persen (September), 4,75 persen (Oktober), 5,25 persen (November), dan diperkirakan menaikkan kembali hingga akhir tahun serta 2023 mendatang. Kenaikan suku bunga acuan tersebut menyebabkan peningkatan cost of fund bagi bank.
Kenaikan suku bunga acuan oleh BI tersebut dipicu atas langkah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed, yang telah menaikkan fed fund rate (FFR) sebesar 75 basis poin menjadi 3,75-4,00 persen, Rabu (2/11/2022). Dan ekonom memprediksi sampai akhir tahun tingkat suku bunga The Fed akan mencapai 4,75 persen.
Kenaikan suku bunga The Fed berdampak pada penyusutan likuiditas global, yang dapat memperlambat pemulihan ekonomi seluruh kawasan negara di dunia. Untuk bisnis, kredit yang lebih ketat menghasilkan biaya pinjaman lebih tinggi, mengurangi profitabilitas dan insentif investasi, serta likuiditas di pasar menjadi makin ketat.
Mengingat dampak kenaikan suku bunga The Fed yang diikuti suku bunga BI, maka bank harus lebih selektif dalam menjalankan fungsi intermediasinya dengan tetap memperhatikan mitigasi risiko. Oleh karena itu, bank dapat fokus pada pembiayaan program-program prioritas pemerintah pusat ataupun daerah serta sektor- sektor yang prospektif.
Kedua, dari sisi aset, perbankan berisiko mengalami peningkatan NPL. Hal ini karena program relaksasi kebijakan restrukturisasi terhadap kredit yang terdampak pandemi Covid-19 akan berakhir pada Maret 2023. Jika OJK tidak memperpanjang beleid ini, NPL perbankan yang sudah menurun di bawah 3 persen berisiko kembali meningkat di atas ambang batas aman. Oleh sebab itu, bank harus memberikan porsi beban pencadangan hingga pada level terkover.
Kondisi ini menandakan tren pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut dan kian menguat.
Peluang ke depan
Di samping tantangan yang muncul, selalu ada peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh perbankan atas kondisi Indonesia saat ini.
Peluang tersebut, pertama, potret perekonomian Indonesia triwulan-III 2022 masih tumbuh impresif sebesar 5,72 persen (YOY). Bahkan, produk domestik bruto (PDB) harga konstan jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi, yakni Rp 2.976,8 triliun.
Kondisi ini menandakan tren pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut dan kian menguat. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,39 persen, artinya mesin pertumbuhan dari segi rumah tangga yang selama Covid-19 berdampak sudah kembali pulih dan normal.
Ekonomi nasional yang membaik berkorelasi positif dengan kinerja perbankan.
Industri perbankan mempunyai peranan penting dalam perekonomian sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan dana masyarakat ke dalam investasi aset produktif sehingga mendorong produktivitas sektor riil, akumulasi kapital, dan pertumbuhan output agregat.
Kedua, merealisasikan ragam kesepakatan besar di ajang G20 di Bali beberapa waktu yang lalu. Komitmen investasi Rp 75 triliun dari 11 negara menjadi modal positif bagi perekonomian nasional. Selain itu, terdapat beberapa hasil pembahasan di tingkat pimpinan dalam Presidensi G20 yang menjadi angin segar iklim pelaku bisnis, termasuk bank.
Kesepakatan G20 terkait bidang ekonomi dan keuangan antara lain; komitmen memajukan Peta Jalan G20 pada pembayaran Lintas Batas Negara (CBP), penyelesaian Techprint G20 2022 yang merupakan inisiatif bersama G20 Indonesia dengan BIS Innovation Hub atas solusi praktis dan layak untuk central bank digital currency (CBDC).
Selain itu, memperkuat jaring pengaman finansial global, mendorong bank pembangunan multilateral, serta membentuk dana perantara keuangan (FIF) sebesar 1,37 miliar dollar AS. Inisiasi tersebut ditujukan untuk memperkuat pembiayaan pembangunan guna mendukung pemulihan ekonomi.
BI memutuskan memperpanjang pelonggaran rasio loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) kredit untuk pembiayaan properti dan pembiayaan kendaraan bermotor (KKB) menjadi paling tinggi 100 persen.
Ketiga, perbankan diharapkan fokus pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). UMKM merupakan sektor pemenang yang mampu resilien dari berbagai kondisi krisis. Terlihat peran dan kontribusi UMKM yang masih menyumbang 73 persen total tenaga kerja nasional, 37,3 persen PDB nasional dengan transaksi Rp 4.235 triliun (data Akumindo, ABDSI, serta Kemenkop dan UKM, 2021).
Menurut penulis, sektor-sektor UMKM prospektif pada 2023 yang tumbuh antara lain agribisnis, telekomunikasi, farmasi, listrik gas air, makanan dan minuman, ritel dan e-commerce, produk pembersih, alat kesehatan, serta pariwisata.
Data OJK menyebutkan rasio NPL produktif nasional periode Juni 2022 sebesar 3,29 persen. Sektor-sektor yang memiliki NPL di atas rasio NPL nasional, antara lain sektor perikanan, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, penyediaan akomodasi makan dan minum, transportasi, pergudangan dan komunikasi, real estat, serta usaha persewaan dan jasa perusahaan.
Keempat, relaksasi kebijakan dari regulator dalam mendongkrak fungsi intermediasi bank.
BI memutuskan memperpanjang pelonggaran rasio loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) kredit untuk pembiayaan properti dan pembiayaan kendaraan bermotor (KKB) menjadi paling tinggi 100 persen. Artinya, down payment (DP) atau uang muka kredit properti (untuk semua jenis properti, mulai dari rumah tapak, rumah susun, hingga ruko) dan KKB cukup nol persen.
Aturan ini berlaku bagi bank yang memenuhi kriteria NPL ataupun non performing financing (NPF) tertentu, dan efektif per 1 Januari hingga 31 Desember 2023. Diharapkan adanya kebijakan ini bisa mendorong penyaluran kredit properti dan kendaraan bermotor di perbankan. Namun, bank perlu berhati-hati serta memastikan arus kas calon debitor bisa terpantau dan terkontrol sehingga ketepatan angsuran dapat terjaga.
Kelima, transformasi digital banking. BI memproyeksikan nilai transaksi layanan perbankan digital meningkat 30,19 persen secara tahunan (YOY) hingga mencapai Rp 53,144 triliun selama tahun 2022.
Layanan digital banking adalah layanan atau kegiatan perbankan dengan menggunakan sarana elektronik atau digital milik bank, dan/atau melalui media digital milik calon nasabah dan/atau nasabah bank, yang dilakukan secara mandiri.
Hal ini memungkinkan calon nasabah dan/atau nasabah bank memperoleh informasi, melakukan komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan, dan penutupan rekening. Termasuk memperoleh informasi lain dan transaksi di luar produk perbankan, antara lain nasihat keuangan (financial advisory), investasi, transaksi sistem perdagangan berbasis elektronik (e-commerce), dan kebutuhan lainnya dari nasabah bank.
Perlu komitmen kuat dari bank terkait pembiayaan sektor environmental, social, dan governance (ESG) yang mencakup berbagai aspek.
Transformasi bank menjadi digital banking membuat proses bisnis dan layanan semakin lebih cepat sekaligus efisien meskipun di tahun-tahun pertama, rasio beban investasi infrastruktur teknologi lebih besar dibandingkan dengan pendapatan operasional (BOPO). Selain itu, diharapkan digital banking dapat berkontribusi pada pengembangan ekosistem keuangan guna mempercepat peningkatan inklusi keuangan.
Keenam, mendorong bank pada pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) melalui pembiayaan hijau (green financing). Perlu komitmen kuat dari bank terkait pembiayaan sektor environmental, social, dan governance (ESG) yang mencakup berbagai aspek.
Guna mendorong komitmen pelaku bisnis menerapkan konsep ekonomi hijau (pembiayaan hijau), pemerintah perlu menggiatkan pemberian insentif kepada bank ataupun pelaku bisnis yang ramah lingkungan dan disinsentif bagi bisnis yang merusak lingkungan.
Harapannya, pada 2023, perbankan dapat memanfaatkan tantangan menjadi momentum peluang untuk pemulihan, penguatan, serta pertumbuhan ekonomi Indonesia maju dalam menghadapi dinamika kondisi resesi global. Semoga.
Chandra Bagus Sulistyo Group Head of Government Program, Division of Small Business and Program BNI