Indonesia dan Korupsi
Untuk mengatasi masalah korupsi, agenda perbaikan harus didasarkan pada kesadaran bahwa Indonesia adalah cita-cita luhur, nilai-nilai keutamaan, dan tata hidup bersama untuk kepentingan bersama.

Ilustrasi
Tajuk Rencana harian Kompas yang berjudul: ”Atas Nama Kuasa Politik” (24/11/2022), jika dibaca perlahan-lahan dan berulang, tertangkap demikian kuat rasa cemas redaksi. Atas nama politik, digambarkan dengan rinci bahwa suatu aturan dapat ditabrak.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah keadaan ini tengah mempertunjukkan apa yang menjadi sinyalemen beberapa kalangan yang menyebut ”segala sesuatunya kini menjadi mungkin”. Atas nama kuasa, apa pun dapat diterobos. Bukankah yang demikian ini merupakan pintu utama bagi masuknya korupsi? Benarkah demikian? Jika benar, apa yang sesungguhnya tengah dikikis? Mungkin suatu jalan keluar untuk memperbaikinya?
Baca juga: Atas Nama Kuasa Politik
Indonesia
Dalam banyak kesempatan, penulis selalu berusaha menunjukkan bahwa Indonesia sebagai suatu konsepsi sesungguhnya merupakan kata dengan makna yang dalam dan kaya. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang dapat dengan segera ditunjuk.
Pertama, Indonesia adalah sebuah cita-cita, tujuan luhur. Jika kita kembali jauh ke masa perjuangan melawan kolonialisme, akan terdapat jejak pikiran bahwa kata Indonesia pada dirinya merupakan konsep yang memuat watak antikolonial dan seluruh tata yang merendahkan manusia dan kemanusiaan. Indonesia juga merupakan cita-cita kemerdekaan, yakni masa depan di mana rakyat hidup dalam kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan kemuliaan, serta kebahagiaan.
Kedua, Indonesia adalah nilai-nilai keutamaan. Beberapa titik sejarah, jika ditelisik lebih dalam, berbagai peristiwa yang mengokohkan bangunan negara bangsa, seperti Sumpah Pemuda (1928), proklamasi kemerdekaan (1945), pembentukan negara yang ditandai dengan penetapan UUD 1945 dan pembentukan pemerintah(an), hingga pertempuran Surabaya, mungkin akan ditemukan bahwa Indonesia pada dasarnya adalah himpunan nilai-nilai keutamaan.
Jika yang kolonial merupakan keadaan yang membiarkan kerusakan atas kemanusiaan dan keadilan sebagai hal yang wajar untuk suatu periode yang panjang, Indonesia adalah himpunan nilai-nilai keutamaan yang hadir sebagai kehendak sejarah, yang tidak saja membuka kemungkinan untuk menghentikan yang kolonial, tetapi juga membentuk masa depan.
Indonesia adalah himpunan nilai-nilai keutamaan yang hadir sebagai kehendak sejarah, yang tidak saja membuka kemungkinan untuk menghentikan yang kolonial, tetapi juga membentuk masa depan.
Ketiga, Indonesia merupakan tata baru yang sepenuhnya berbeda dengan tata kolonial dengan segala turunan dan ikutannya. Pembukaan UUD 1945 memuat frasa penting yang mampu menjelaskan secara substansial apa sebenarnya yang menjadi fokus Indonesia, yakni ”... penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Indonesia dengan demikian merupakan tata hidup bersama, di mana tidak dimungkinkan penindasan manusia atas manusia, dan tidak dimungkinkan segala bentuk praktik yang merupakan perwujudan dari ketidakadilan.
Ketiga makna tersebut tentu tidak mencerminkan keseluruhan makna yang hadir sebagai Indonesia. Kita menyadari kompleksitas. Upaya menggambarkan tiga makna, hanyalah cara untuk memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan akumulasi pemikiran yang dapat digali dan dengannya lebih diketahui masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Di luar itu, penting pula disadari bahwa Indonesia memiliki awal. RE Elson menulis dalam The Idea of Indonesia: ”Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada, dan karena itu orang Indonesia pun belum ada.” Yang kita inginkan tentu Indonesia yang ada selama-lamanya, yakni suatu Indonesia yang menjelma sebagai kebenaran nyata dalam hidup rakyat sehari-hari.

Korupsi
Apakah gerak langkah negara bangsa yang diselenggarakan lebih dari 77 tahun telah sepenuhnya dapat dikatakan sesuai dengan apa yang dicita-citakannya? Ataukah, telah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sedemikian sehingga berlangsung proses (politik) yang dapat dikatakan dimaksudkan membuat koreksi atas apa yang dianggap telah menyimpang.
Kita bisa menengok kembali berapa peristiwa, seperti (1) ”kembali ke UUD’45” (1959), (2) peralihan kekuasaan pada medio 1960-an, dan (3) reformasi 1998. Semua itu dapat dikatakan sebagai peristiwa yang menyatakan diri sebagai langkah perbaikan atas apa yang dianggap menyimpang. Pertanyaan mendasar: jika dilihat sebagai keseluruhan proses, apakah kita mengalami gerak maju atau sebaliknya? Bagaimana cara kita sebagai bangsa memeriksanya?
Hal yang kera pkali sulit dihindari adalah apa yang hendak disebut di sini sebagai ”jebakan fisik”, yakni penilaian atas apa yang tampak, seperti bangunan fisik. Publik tentu sulit membuat penilaian nonfisik. Dalam konteks Indonesia, sebagai suatu ide tentang sebuah tata baru paska kolonial, keadaan yang seharusnya ditinjau adalah segi-segi prinsipil, fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, yang sangat penting untuk diperiksa dengan teliti adalah apakah segi-segi ideal sebagaimana terangkum dalam istilah Indonesia terus bergerak membaik dan makin baik atau sebaliknya?
Persis, seperti dituliskan sebagai syair lagu kebangsaan Indonesia Raya: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Agar dapat dibedakan antara tata lama (yang kolonial) dengan tata baru (alam merdeka). Misalnya, apakah dalam Indonesia masih terjadi ketidaksetaraan, sedemikian sehingga ada pihak yang merasa lebih berhak (berkedudukan lebih tinggi) dari yang lain. Pun patut kita bertanya, apakah dalam Indonesia masih berjalan ketidakadilan, dalam mana satu pihak beroleh perlakuan yang memudahkannya mengakses sumber-sumber kemakmuran, sementara sebagian yang lain tidak.
Oleh karena itu, yang sangat penting untuk diperiksa dengan teliti adalah apakah segi-segi ideal sebagaimana terangkum dalam istilah Indonesia terus bergerak membaik dan makin baik atau sebaliknya? Suatu refleksi mendalam yang jujur atas hidup bersama kita, tentu akan mengantarkan kepada pandangan bahwa yang sedang berlangsung adalah suatu ”kerusakan”. Soal pokoknya adalah apakah cara pandang kita menyaksikan adanya suatu ”kerusakan” atau ”pembusukan”, terhadap apa yang disebut sebagai ”yang ideal”?
Jika digunakan optik tersebut, akan tampak bahwa masalah mendasar dari Indonesia adalah korupsi. ”Istilah ’korup’ (corruptus-a-um) dan ’korupsi’ (corruptio) berasal dari bahasa Latin. Rupanya istilah itu merupakan bagian rumpun istilah yang menunjuk kebalikan dari nilai-nilai yang dipandang sebagai keutamaan...,’ (Herry Prijono, 2018: 522).

Dalam bunga rampai berjudul, Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya, Buah-buah Refleksi Daoed Joesoef untuk Membumikan Pembangunan Nasional, karya Daoed Joesoef (2018), termuat keterangan berikut: ”..., perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, mengindikasikan suatu potensi destruktif yang kian membesar sehingga bisa menggerogoti kinerja pembangunan, bahkan menghancurkan NKRI dari dalam, yaitu korupsi.” (p:102).
Budiman Tanuredjo, lewat Kolom Politik, ”Korupsi Tak Berujung”, menulis: ”Virus korupsi terus saja menginfiltrasi fondasi-fondasi negeri”, (Kompas, 24/9/2022). Sebelumnya Tajuk Rencana Kompas (14/9/2022), yang berjudul ”Korupsi Lagi, Lagi-lagi Korupsi”, menulis: ”Virus korupsi yang kian masif menyentuh ke semua lini kehidupan...”.
Semua dengan sangat jelas menunjuk korupsi sebagai masalah pokok yang mengancam keberlangsungan ”yang ideal” (Indonesia).
Lantas, bagaimana memberantas korupsi? Tajuk Rencana Kompas (14/9/2022) mengingatkan, ”Langkah pencegahan dan penindakan kasus korupsi rasanya sudah tak mencukupi lagi untuk membersihkan korupsi dari negeri ini.” Tentu yang dimaksud adalah korupsi dan pencegahannya dalam ruang hukum.
Baca juga: Korupsi Tak Berujung
Baca juga: Korupsi Lagi, Lagi-lagi Korupsi
Kinerja hukum akan sangat terkait dengan kinerja demokrasi. Dalam hal pemberantasan korupsi, ada masa di mana kinerja penegakan hukum mampu menerbitkan harapan masyarakat, dan ada pula masa sebaliknya, sebagaimana yang kini berlangsung. Dengan demikian, tampak bahwa pemberantasan korupsi sesungguhnya sangat bergantung pada kinerja demokrasi. Masalahnya, bagaimana jika demokrasi dikorupsi?
Sampai di sini kita seakan-akan tiba pada lingkaran setan. Namun, makin tampak bahwa tantangan korupsi jauh melampaui yang diperkirakan, yakni kerusakan atau pembusukan atas ”yang ideal”, yang dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang sedang dikikis adalah Indonesia itu sendiri. Yang sedang dikorupsi adalah Indonesia dengan segala maknanya.
Jika demikian halnya, dari mana harus memulai? Mengapa (selalu) terbuka ruang kesempatan bagi muncul dan berkembangnya korupsi kendati berbagai upaya telah dilakukan? Bahkan, mengapa korupsi mampu melebarkan ruang kesempatan, dan malah berbagai restriksi hukum mampu dikoreksinya? Akibatnya, pintu demokrasi untuk masuk ke arena publik menjadi lebih longgar sehingga yang bermasalah justru lolos, dan pada gilirannya mampu membentuk susunan tertentu yang dapat dikatakan mampu menghalau ”yang ideal”. Masih mungkinkah langkah perbaikan dilakukan?

Dari 2024 menuju 2045
Jika Indonesia (”yang ideal”) menjadi titik pusat dari semua agenda perbaikan, yang dibutuhkan adalah ”kembali” pada keutamaan. Kembali dalam hal ini adalah upaya meletakkan kembali ”yang ideal” dalam kedudukannya yang benar. Semua gerak bangsa berawal dari ”Indonesia” dan berujung kepada ”Indonesia”.
Artinya, motif dasar atau kehendak bangsa untuk maju, sepenuhnya didasarkan pada kesadaran bahwa Indonesia adalah cita-cita luhur, nilai-nilai keutamaan, dan tata hidup bersama untuk kepentingan bersama. Apa yang ingin dicapai tiada lain menjadikan segala yang termuat dalam konsepsi Indonesia menjadi kebenaran yang nyata yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan garis tersebut, bagi masyarakat kebanyakan (bangsa) yang dibutuhkan adalah kejelasan tentang arah yang hendak dicapai, kejelasan jalan atau rute yang hendak ditempuh, dan rasa yakin bahwa apa yang ingin dicapai pada waktunya akan bisa diraih. Ketiga hal tersebut diterjemahkan sebagai:
Pertama, rumusan negara tentang apa itu kepentingan nasional, sekurang-kurangnya hingga 2045. Kedua, terselenggaranya demokrasi yang sehat, sebagaimana yang dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945, karena demokrasi akan memastikan bahwa kekuasaan dari hukum dan bukan sebaliknya.
Ketiga, suatu kepemimpinan Indonesia, yakni kepemimpinan yang memiliki kemampuan menghimpun semua potensi dan kekuatan bangsa untuk dari padanya disusun suatu formasi Indonesia. Hanya dengan formasi itu bangsa tidak terbelah dan tidak saling menegasi, melainkan menjadi kekuatan sejarah yang mampu menghadirkan ”yang ideal” dalam bentuk kebenaran yang nyata.
Baca juga: Tak Cukup Pemberantasan Korupsi
Tentu ketiga hal itu tidak mungkin diharapkan dilakukan oleh satu pihak. Untuk menghadirkannya dibutuhkan kerja sama seluruh komponen bangsa. Dalam kaitan itulah, kita melihat momentum 2024 dapat menjadi kurun transisi.
Maksudnya adalah suatu periode di mana bangsa melakukan perbaikan yang bersifat cepat dan berjangka. Arah pokok perbaikan tersebut untuk menghasilkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, suatu kesadaran bersama, seluruh bangsa, bahwa agar tiap-tiap elemen bangsa dapat ambil bagian dalam perjuangan perbaikan kondisi bangsa, maka dibutuhkan kepentingan bersama atau kepentingan nasional. Para pemimpin, kaum cerdik pandai, dunia usaha, dan para aktivis sosial perlu ambil bagian secara aktif, menjadi lokomotif dalam merumuskan agenda bangsa.
Kedua, suatu proses demokrasi yang bersih dari ”intervensi politik, hukum dan ekonomi”. Proses ini hanya dimungkinkan jika: (a) para pemimpin politik memiliki tanggung jawab sejarah untuk menjadikan demokrasi yang sehat sebagai legacy; (b) para elite menghindari sejauh mungkin setiap keadaan yang menjadikan suara sebagai komoditas; dan (c) masyarakat akar rumput dalam kesadaran bahwa setiap suara menentukan hari depan bangsa. Ketiga hal tersebut diharapkan akan menjadikan momen Pemilu 2024 sebagai rahim bagi kelahiran demokrasi yang kepadanya rakyat dapat meletakkan harapan.
Ketiga, kehendak bersama bahwa pascapemilu yang dilakukan adalah gotong royong atau kerja kolaborasi untuk memastikan berlangsungnya langkah pemulihan. Segera setelah pemilu seluruh kekuatan kembali bersatu, mengakhiri perbedaan dan menyatukan kembali tujuan, bahu-membahu bekerja membangun negeri.
Mereka yang ada dalam pemerintahan bekerja sebaik-sebaiknya, dengan penuh rasa tanggung jawab dan berpegang pada moral bangsa. Mereka yang di luar pemerintahan menjalankan peran sebagai penyeimbang secara konstruktif melalui proses check and balance sehingga segala potensi penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dan dihindari. Dengan skema ini, kita optimistis korupsi tidak lagi punya ruang, dan Indonesia dapat bergerak maju menyongsong 2045.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri (IHN)

Sudirman Said