Menjawab Tudingan Supremasi Organisasi Profesi Dokter
Kalau benar ada ekses kewenangan pada organisasi profesi dokter, maka itu yang harus diperbaiki. Solusinya bukan dengan membuat rancangan undang-undang baru tanpa melibatkan organisasi profesi.
Oleh
DJOHANSJAH MARZOEKI
·3 menit baca
Belakangan ini muncul sinyalemen yang menuding organisasi profesi dokter sebagai lembaga supremasi atau superbody. Tudingan tak hanya disampaikan oleh sejumlah kalangan anggota DPR, tetapi juga dari beberapa dokter sendiri.
Organisasi profesi dokter dituding memiliki power luar biasa dan bertindak semena-mena kepada anggotanya. Organisasi profesi dokter juga dituding dengan sengaja, secara sistematis, dan terstruktur melakukan upaya pengerdilan terhadap dunia kedokteran Indonesia untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu.
Pandangan ini harus diluruskan. Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu biologi, suatu ilmu pasti alam. Suatu ilmu yang mengulas materi dan mekanisme, serta bersifat spesifik, bebas emosi manusia.
Begitu pula dokter dalam berpraktik dan menerapkan ilmu tersebut kepada manusia. Ada kewajiban bagi setiap dokter untuk mengikuti sumpah dan etika dokter yang bernuansa moral dan ilmiah. Masih ditambah lagi dengan peraturan-peraturan pemerintah tentang kesehatan.
Pemerintah membuat peraturannya berdasarkan kepentingan politik, kepentingan masyarakat umum. Sementara etika dan sumpah dokter khusus berlaku hanya untuk profesional dokter.
Ilmu kedokteran yang spesifik, serta sumpah dan etika dokter yang juga khusus itu, tentu yang menguasainya hanyalah mereka yang bergelut di bidang itu. Ya, para dokter itu sendiri atau badan-badan khusus lain. Bukan politisi atau profesi lain. Oleh karena itu, mulai dari pendidikan, praktik, hingga pengawasannya menjadi tanggung jawab para dokter itu sendiri. Itulah tanggung jawab profesi kedokteran.
Suatu kewajaran
Pemerintah tugas utamanya bersifat politik. Oleh karena itu, menteri kesehatan tidak akan menguasai pola-pola yang ada di dalam dunia kedokteran. Untuk itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan profesi kedokteran atau menjadikan organisasi profesi sebagai mitra dalam membuat kebijakannya. Ini mutlak diperlukan.
Organisasi profesi kedokteran, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kolegium , adalah tempat berkumpulnya akademisi kedokteran.
Wajar kalau mereka harus berperan dalam membangun dan mengawasi ilmu ini, dari hulu hingga hilir. Tak mungkin menyerahkan sepenuhnya kepada mereka yang tak mengerti bidang ini, kepada para politisi atau profesi lain. Tidak bisa.
ilustrasi
Peran yang dimainkan organisasi profesi dokter seperti IDI dan kolegiumnya, dari hulu sampai hilir, bukanlah suatu bentuk supremasi atau superbody, tetapi memang sudah seharusnya seperti itu, atau suatu kewajaran. Sangat disayangkan penggunaan istilah superbody untuk menggambarkan organisasi profesi IDI. Penggunaan istilah itu hanya akan menyulut kecurigaan terhadap organisasi profesi yang menjalankan perannya secara wajar.
Menyingkirkan peran organisasi profesi dalam kebijakan pemerintah adalah suatu kesalahan. Pemerintah dari negara mana pun tidak cukup mampu untuk membuat kebijakan yang komprehensif tanpa bantuan organisasi profesi.
Menyingkirkan peran organisasi profesi dalam kebijakan pemerintah adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Bertindak melebihi kemampuannya.
Di negara lain, seperti Amerika, juga ada Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC), Medical Board, dan lain-lain, yang bermitra dengan organisasi profesi.
Menyingkirkan peran organisasi profesi dalam kebijakan pemerintah adalah suatu kesalahan.
Ekses kewenangan
Di dunia akademik—dokter adalah akademisi—kritik berguna, dan itu bentuk dari kontribusi. Kalau ada kritik terhadap ekses kewenangan IDI dalam UU dan peraturan lain, sebaiknya kritik itu diperdebatkan dalam suatu forum resmi, untuk membuktikan apakah tuduhan itu benar atau salah.
Kalau benar ada ekses kewenangan pada organisasi profesi dokter, maka itu yang harus diperbaiki. Solusinya bukan dengan membuat rancangan undang-undang baru tanpa melibatkan organisasi profesi.
Djohansjah MarzoekiGuru Besar Emeritus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga